MEMBACA SEMANGAT
ZAMAN:
Memantapkan
Peran Sastra dalam Membangun Karakter Bangsa
Heru Marwata
(Jurusan Sastra Indonesia FIB UGM)
Abstrak
Perubahan
dunia berlangsung begitu cepat. Berbagai fenomena dan pemikiran silih berganti
menempatkan diri sebagai kecenderungan umum dalam kehidupan. Di tengah derasnya
bermacam arus perubahan, karya sastra masih setia mengambil peran sebagai
penyegar dan alternatif penting dalam proses pendewasaan cara berpikir dan
bertindak. Dinamika estetika dalam sastra begitu lentur dan mudah menyesuaikan
diri dengan segala pergeseran yang terjadi di luar dirinya. Karya sastra telah
mengisi sebagian relung kehidupan dengan cara yang kadang-kadang tidak bisa
dilakukan oleh sarana lain, dengan tingkat elegansi yang menawan, dengan keanggunan
yang kadang tidak terlawan. Demikianlah salah satu peran yang telah dimainkan
oleh karya sastra Indonesia.
Membaca karya
sastra adalah petualangan membaca semangat zaman dan sekaligus melakukan proses
perjalanan menuju pengakuan tak terungkapkan betapa karya sastra bisa berperan,
dengan caranya yang spesifik, membangun karakter bangsa. Barangkali ini
ungkapan yang berlebihan. Namun, setidaknya, dalam tingkat tertentu, pembaca
akan menemukan betapa masih relevannya karya sastra dengan berbagai aspek
kehidupan.
Novel
yang notabene hanyalah fiksi, karya imajinatif, telah (dan mampu) menyentuh
sisi-sisi kehidupan manusia dengan cara yang sangat manis. Membaca karya sastra
adalah membaca semangat zaman, membaca semangat anak zaman, dan membaca peran
karya sastra dalam proses pendewasaan bangsa.
Kata kunci: karya sastra, peran sastra, semangat zaman,
membangun karakter bangsa
Nama Lengkap :
Drs. Heru Marwata, M.Hum.
Pekerjaan :
PNS, Dosen
Pendidikan :
S2 (Magister Sastra)
Bidang Studi :
Sastra Indonesia Modern
Alamat Kantor : Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas
Ilmu Budaya, Universitas Gadjah
Mada, Jalan
Sosio-Humaniora, Kampus Bulaksumur, Yogyakarta 55281
HP :
081802748117 / 08157950928 / 085743423662
Fax :
+62 274 550451
Sastra
sebagai Identitas dan Jati Diri Bangsa
Slogan atau motto “bahasa
menunjukkan bangsa” tampaknya belum memiliki kekuatan dan daya dobrak untuk
menggerakkan berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahasa dan
sastra masih dipandang sebelah mata dalam berbagai ajang kejuaraan dan atau
perlombaan. Padahal, sebenarnya bahasa dan sastra bisa dan bahkan sudah diakui
sebagai identitas dan jati diri bangsa.
Ke depan sastra Indonesia harus
dieksplorasi dan didayagunakan secara maksimal untuk mendukung pembentukan
karakter bangsa. Peran ini tidak akan bisa dimainkan tanpa dukungan penuh
negara lewat berbagai kebijakan yang relevan dan tanpa niat serta semangat segenap anak bangsa di
dalamnya.
Menjalani
Kehidupan dengan Hati
Perubahan dunia berlangsung begitu
cepat. Berbagai fenomena dan pemikiran silih berganti menempatkan diri sebagai
kecenderungan umum dalam kehidupan. Di tengah derasnya bermacam arus perubahan,
karya sastra masih setia mengambil peran sebagai penyegar dan alternatif
penting dalam proses pendewasaan cara berpikir dan bertindak. Dinamika estetika
dalam sastra begitu lentur dan mudah menyesuaikan diri dengan segala pergeseran
yang terjadi di luar dirinya. Karya sastra telah mengisi sebagian relung
kehidupan dengan cara yang kadang-kadang tidak bisa dilakukan oleh sarana lain,
dengan tingkat elegansi yang menawan, dengan keanggunan yang kadang tidak terlawan.
Membaca
karya sastra adalah petualangan membaca semangat zaman dan sekaligus melakukan
proses perjalanan menuju pengakuan tak terbantahkan betapa karya sastra bisa berperan,
dengan caranya yang spesifik, membangun karakter bangsa. Barangkali ini ungkapan
yang berlebihan. Namun, setidaknya, dalam tingkat tertentu, pembaca akan
menemukan betapa masih relevannya karya sastra, dengan berbagai aspek
kehidupan.
Karya
sastra yang notabene hanyalah fiksi, karya imajinatif, telah (dan mampu)
menyentuh sisi-sisi kehidupan manusia dengan cara yang sangat manis. Membaca karya
sastra adalah membaca semangat zaman, membaca semangat anak zaman, dan membaca
peran karya sastra dalam proses pendewasaan bangsa. Karya sastra akan
memberikan pengayaan pada manusia untuk menjalani kehidupan dengan hati.
Dengan
kerangka berpikir bahwa bahasa dan sastra akan berkontribusi dalam proses
pembangunan karakter bangsa, marilah kita menyatukan energi bersama-sama
mengucapkan mantra-mantra sakti untuk bermufakat menyeru bahwa bahasa dan
sastra dapat menjalankan peran suci melontargelontorkan wacana yang sangat
relevan dengan kehidupan. Bahasa dan sastra adalah penyemat semangat yang
memiliki daya rekat serta kemampuan untuk mengemban peran yang tidak bisa
dipikul oleh “pahlawan-pahlawan” kehidupan lainnya. Salahkah?
Tentu
saja tidak ada salahnya menggalang kekuatan untuk mengangkat kembali
pilar-pilar jembatan kehidupan yang pernah tegak kokoh kuat menjadi penyangga
dan sekaligus penjaga hamparan dunia harapan berbangsa. Bahasa dan sastra, dari
sisi pemikir dan penggemar serta penjaganya, pastilah dapat berperan sebagai
penyumbang besar asupan gizi bangsa menuju pertumbuhkembangan menuju
kedewasaan. Lewat berbagai cara dan rupa, bahasa dan sastra telah (minimal
pernah) merasuki aliran nadi dan getar edar pendar jiwa kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Menjelajah Bongkah Bingkai Rangkai Sejarah
Dalam
sejarah sastra dunia—khususnya Amerika—Uncle
Tom’s Cabin (Life Among the Lowly) Harriet Beecher Stowe pastilah salah satu karya
yang sangat layak disebut betapa nyatanya korelasi positif antara novel, karya
sastra, dunia imajinasi, dengan kehidupan, dengan dunia nyata. Salah duanya,
barangkali, adalah Romeo and Juliet William
Shakespeare yang pernah begitu mengesankan perbendaharaan karya sastra Inggris
dan dunia. Mengapa harus berlari jauh ke negeri Paman Sam atau negeri yang
pernah membenamkan kuku hegemoni di bumi persada kita seperti Britania Raya?
Tampaknya sah-sah saja. Bukankah sejarah pemikiran selalu membawa pengaruh
besar pada sejarah dunia dan sejarah sastra? Bukankah, diakui atau tidak,
sastra Indonesia juga sangat dipengaruhi oleh sastra (dunia) Barat? Bukankah
sampai sekarang kita juga masih sangat getol berjuang untuk mengukuhkan bahwa
sastra Indonesia adalah warga sastra dunia yang patut mendapat tempat duduk
sama empuk dengan sastra dunia?
Sastra Indonesia—yang
boleh disebut sebagai bagian dari sastra Timur—pastilah belum begitu tua usianya,
khususnya jika dikomparasikan dengan sastra Barat. Meskipun demikian, pasti
jugalah merupakan kenyataan tak terbantah bahwa sejarah sastra Indonesia telah
menorehkan kisah historis manis (dan barangkali juga melankolis dramatis) dalam
mewarnai pelangi bangsa. Untuk apa pernah ada “Nota Rinkes” pada masa Balai
Pustaka kalau tidak ada pandangan bahwa sastra berpotensi menimbulkan “sesuatu”
dalam kehidupan masyarakat?
Kehidupan bersastra
terus berlanjut. Angkatan atau periodisasi dan atau kecenderungan sastrawan
pendukungnya mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Aliran dan pengaruh
filosofi juga berganti-ganti. Pergeseran pastilah terus terjadi. Adakah peran
yang terus dan konsisten dimainkan sastra? Pastilah ada, dan peran atau fungsi
sosial sastra adalah salah satunya.
Bagaimanapun, kalau kita runut, karya-karya
sastra Indonesia pernah menjalankan fungsi sosialnya. Dalam fungsi ini sastra
pernah menjalankan peran sebagai sarana untuk mengritik, untuk mempengaruhi,
menjadi petunjuk, menjadi perekam fenomena sekaligus pengedepan gagasan, dan
menjadi pembawa semangat zaman. Apa peran yang bisa dimainkannya sebagai sebuah
karya sastra? Mari
kita lihat salah satu karya sastra Indonesia yang berjudul Keydo karya Tatty Elmir (Elmir,
Tatty. 2011. Keydo: Sebuah Novel tentang
Perempuan, Cinta, dan Para Pahlawan di Jalan Sunyi. Jakarta: Qanita). Apakah Keydo, misalnya, sebagai contoh kasus
sederhana, juga berpotensi
membawa semangat zaman? Mari kita cermati beberapa ulasan berikut.
Membaca Keydo Membaca Semangat Zaman
Dalam “Sapa Sang Guru” (hlm. xi) Taufiq Ismail menulis:
“Pembaca diajak mengembara melalui plot tidak
sederhana dengan pelaku banyak pula. Tokoh-tokohnya sangat beragam suku dan
agamanya, dari barat sampai ke timur Indonesia, hingga ke komunitas Amish yang
zuhud di Amerika Utara. Berbagai zaman bergolak dilaluinya, dengan tokoh-tokoh
sosial bermacam disiplin aktivitas pula. Sungguh suatu keleidoskop
berwarna-warni, sebuah konser simfoni dengan banyak instrumennya. Pembaca
merasakan keindonesian yang kukuh, kesalehan dalam iman, keperempuanan yang
bermakna, rasa kuat terlibat masalah masyarakat, kemanusiaan yang hangat.
Dengan meninggalnya Keydo, saya ikut merasa sangat kehilangan bersama Kinang.”
Semangat
multikultural mengedepan dalam Keydo.
Jakarta, Magelang, Jayapura, Padang, Amish (di Amerika Utara) adalah wilayah
jelajah kisah Keydo yang cukup
intensif melatari cerita. Semua membawa konsekuensi pandangan, pemikiran,
pemahaman, dan aspek-aspek kehidupan dalam kerangka keindonesiaan. Kristen, Katolik,
Islam, hadir dan menghiasi kisah perjalanan Keydo dan tokoh-tokoh penting Keydo. Semua hadir dengan tampilan yang
bebas pretensi, membangun harmonia dan semangat kebersamaan.
Di sampul depan Keydo tertulis “Sebuah Novel tentang
Perempuan, Cinta, dan Para Pahlawan di Jalan Sunyi”. Jalan sunyi itu pulalah
yang dilewati oleh pejuang selain Keydo, misalnya Sarianti.
“Bagi masyarakat Minang tahun 1800-an, peristiwa
itu (perkawinan antarteman satu suku, pen.) merupakan aib besar yang tak
termaafkan. Namun bagi Sarianti, ini adalah satu bentuk perjuangan untuk
menempatkan adat pada posisinya, yang tidak boleh mengalahkan syariat agama.”
(hlm. 174) “’Meski satu suku, jika lain daerah asal, tidak ada pertalian darah,
bukan perkawinan yang diharamkan agama. Lihat Al-Quran. Berpedomanlah pada
kitab suci, bukan kitab adat yang direka-reka manusia,’ Sarianti tak lelah
meneriakkan protesnya.” (hlm. 175)
Perjuangan
Sarianti adalah salah satu “ … pesan pembebasan, baik dari lingkungan adat
maupun ketidakadilan gender, yang disajikan dengan jeli dan mengalir seputar
pergulatan budaya, politik, konflik nilai, dan pencarian makna hidup, yang
kesemuanya tengah berlangsung dalam masyarakat kita yang amat majemuk ini,”
kata Komaruddin Hidayat dalam endorsement
novel Keydo. Demikianlah Keydo dan Keydo telah merekam zaman
lengkap dengan segala gejolak dan “gairah” yang berkelebat sepanjang perjalanan
sejarah. Karya sastra sebagai sebuah olah cipta imajinatif pastilah memiliki
korelasi dengan kehidupan. Oleh karena itu, tentu tak mengada-ada pernyataan
Fachrian Adi (lihat di endorsement novel
Keydo) ini. “Kalau saja saya tidak
pernah bertemu Bunda Tatty and the gank
secara personal, mungkin saya akan mengira karakter-karakter di buku ini 100%
imajinatif, yang tercipta untuk sekadar menoreh inspirasi ….”
Beberapa tahun
lalu pesawat Adam Air hilang dalam perjalanan dan konon sampai sekarang belum
ditemukan lokasi jatuhnya (mungkin sudah bisa diperkirakan, tetapi sangat sulit
dievakuasi, dan mahal biayanya). Dalam Keydo
pengarang telah mematikan Keydo—istri Kinang, yang belum lama
dinikahinya—dan menghilangkannya bersama
pesawat yang ditumpangi dari Padang menuju Jakarta. Pastilah ada perbedaan
antara hilangnya Adam Air dengan hilangnya pesawat yang membawa Keydo. Namun,
bayangan imajinatif asosiatif antarkeduanya pastilah bisa dicari. Tampaknya
model “pembunuhan” tokoh lewat pesawat ini lumayan populer dalam sastra. Film
berjudul Back Street (dua versi,
satunya disutradarai oleh Robert Stevenson dan satunya oleh David Miller) mematikan
salah satu tokoh utamanya lewat pesawat, demikian pula Burung-Burung Manyar Mangunwijaya dan Keydo Tatty Elmir. Ketiganya berasal dari semangat zaman yang
berbeda (1940-an, 1970/1980-an, 2000-an).
Belajar Cara Menerapkan Hukuman
bagi Pelanggar Aturan
Di Amish, suatu wilayah di Amerika Utara, pelanggar aturan
mendapatkan hukuman. Apa hukumannya?
“They are excommunicated
(dikucilkan),
tapi tidak dipermalukan, … kekerabatan sangat penting di Amish, jadi
sebetulnya kasus pelanggaran juga nyaris tidak ada. Kalaupun ada, mereka
memberlakukan hukuman dengan bijak namun tegas. Itu pun setelah melalui proses
panjang dengan hasil keputusan kolektif dan suara bulat yang diamini semua
jemaat. Namun si pembangkang akan diterima kembali jika mereka mengakui kesalahan
dan melakukan pertobatan.” (hlm. 231)
Kita bisa belajar
dari suku Amish lewat dua kata kunci yang ada dalam penerapan hukuman: bijak,
tegas. Tampaknya semangat yang terkandung dalam dua kata kunci itu sangat
penting sebagai sarana pembelajaran bagi penerapan hukum dan hukuman di
Indonesia. Bukankah itu signifikan?
Saling menghargai dan memberi apresiasi adalah hal penting dalam
pergaulan antarmanusia, antaragama, antarsuku, antarbudaya, dan seterusnya.
Kita juga bisa belajar dari Keydo
untuk soal ini. Perhatikan kutipan berikut.
“… tiga hari dua malam selalu bersama. … Keydo telah belajar zuhud
dalam kerangka iman yang berbeda. Di
sini, semua orang berorientasi pada penghambaan, bukan dipertuankan. Annie
telah menularkan spirit kesederhanaan, percaya diri, ketaatan pada agama,
kerendahhatian, kemandirian, dan banyak lagi kearifan Amish yang mungkin
dicibir oleh mata kosmopolit. ... Terlepas dari setuju atau tidaknya dia
terhadap beberapa nilai, Keydo sangat menghargai perbedaan. Dia mengapresiasi keteguhan
mereka semua karena keteguhan memegang nilai-nilai adalah sesuatu yang sudah
luntur di luar sana.”
Apresiasi dan saling menghargai adalah sikap yang hanya akan
muncul kalau ada pemahaman atau perasaan dan keinginan untuk saling mengakui
dan sekaligus menerima adanya perbedaan. Kata bijak yang mengatakan bahwa
“perbedaan adalah rahmat atau berkah” tampaknya hanya akan menjadi slogan
kosong tanpa implementasi dalam kehidupan. Terlalu banyak perbedaan yang ada
dalam kehidupan bermasyarakat atau berbangsa yang multikultural seperti
Indonesia, dan semua itu pasti akan memunculkan masalah jika tidak disikapi
secara arif.
Bagaimana
kita menyikapi perbedaan yang berimplikasi pada kehidupan secara luas?
Tampaknya kutipan berikut bisa kita pergunakan sebagai sarana introspeksi.
“Politik sekarang bukan lagi
sarana untuk kebajikan. Cuma berputar-putar di persolan menang dan kalah.”
“Lalu.”
“Yang salah jadi benar karena punya power, dan yang benar jadi salah karena kalah.” (hlm. 141)
Benarkah semangat
zaman yang kita gelorakan sekarang seperti ini? Barangkali tidak sepenuhnya
benar, tetapi pasti akan sangat mudah, atau bahkan terlalu mudah, untuk
menemukan kasus semacam ini dalam tradisi kehidupan berbangsa kita.
Bagaimana sikap atau
perilaku aparat kita dalam menghadapi perkembangan di masyarakat. Apa kata Keydo tentang hal ini? “Gue kesel, intel
di mana-mana,” Keydo diam. “Masak orang ngaji aja diintelin. Emang orang ngaji
bisa bikin presiden mampus, ya? Emang sarung ama peci bisa disulap jadi meriam,
ya?” (hlm. 144) Terlepas dari ada tidaknya korelasi antara ironi yang
disampaikan Keydo dalam Keydo sebagai
realitas imajinatif-fiktif dengan realitas historis yang ada dalam sejarah
Indonesia, kita pasti tahu bahwa berita semacam itu berseliweran di indera
dengar dan penglihatan kita, nyaris tak tertolak.
Latar Belakang dan Latar
Depan
Jika
menarik kisah fiksi dalam sejarah sastra Indonesia, kita pernah memiliki Y.B.
Mangunwijaya. Salah satu karyanya adalah Burung-Burung
Manyar. Novel Mangunwijaya ini bisa menjadi salah satu latar belakang bagi
penciptaan Keydo. Di bagian akhir Burung-Burung Manyar akhirnya Teto
(Setadewa) merawat anak-anak Atik (Larasati)—Janakatamsi yang tewas dalam
kecelakaan pesawat yang membawanya ke Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji. Di
bagian akhir Keydo, Kinang, suami
Keydo, merawat dan menjadi ayah bagi 5 anak Kilin dan Sisil. Apakah ini
bermakna? Dalam kaitan dengan cinta yang universal dan hubungan antarmanusia,
pasti iya.
Teto
menjadi bapak/ayah bagi anak-anak Atik—Janakatamsi. Ini bukan semata karena
Atik adalah kekasih yang tidak berhasil dinikahinya karena berbagai masalah,
melainkan karena cinta antarumat manusia. Atik dan Teto pernah menjalin cinta
dalam arti hubungan antara laki-laki dan perempuan. Ini berbeda, atau mengalami
perkembangan dalam kasus Kinang. Kilin adalah saudara sepersusuan Kinang. Yang
jelas, keduanya, Burung-Burung Manyar dan
Keydo, sama-sama membawa semangat
cinta antarmanusia. Semoga latar belakang cinta yang universal dan semangat
zaman yang dibawa keduanya bisa menjadi latar depan yang akan membawa arah
tepat bagi capaian perjalanan sejarah manusia.
Semangat
manusia adalah semangat zaman dan semangat zaman membawa pengaruh besar pada
semangat manusia. Bisakah semangat Keydo ini mencerminkan dan sekaligus membawa
semangat zaman?
“Melelahkan, memang. Tapi Keydo pantang menyerah. Dan ketika
sampai masanya, rezeki memang takkan ke mana. Siang itu, Gina membawa formulir
seleksi duta perdamaian dunia sekaligus Youth
International Visitor Program (YIVP) ke kampus. Program YIVP digagas oleh
USIS (United States Information Services), bagian lembaga informasi pemerintah
Amerika di bawah naungan Departemen Luar Negeri.” (hlm. 205)
Kesempatan inilah yang membawa Keydo ke Amish di Amerika dan
mendapatkan banyak pengalaman serta pembelajaran sebagai duta bangsa dan duta
kemanusiaan. Semangat untuk belajar dan mengetahui banyak hal membuat manusia
menjadi kaya warna, kekayaan yang membuat hidup lebih berarti. Mengikuti
pengembaraan Keydo dan Kinang, Kilin, Sisil, dan tokoh-tokoh Keydo menjelajah ruang dan waktu seperti
merangkai jembatan untuk melakukan penyeberangan ke berbagai tujuan.
Benarkah Fungsi Sosial Sastra Itu Ada?
Dalam khazanah sastra Indonesia pernah ada karya berjudul
Dengar Keluhan Pohon Mangga karya Maria Amin. Pada masa awal kemunculan
Angkatan ‘45 kita mengenal dan membaca kumpulan
puisi Tiga Menguak Takdir karya bersama Chairil
Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani.
Konon, kalau jujur, nyaris tidak ada penyair Indonesia pascakemerdekaan yang
tidak terpengaruh oleh Chairil Anwar. Kita pasti ingat juga bahwa pada tahun
60-an Ki Panji Kusmin menggegerkan panggung dan jagat pakeliran sastra
Indonesia dengan cerpennya yang berjudul Langit
Makin Mendung. Sastra pasti memiliki potensi, bahkan dalam beberapa kasus
bisa saja potensi itu sangat besar.
Bagaimanapun, kalau kita runut, karya-karya sastra
Indonesia pernah menjalankan fungsi sosialnya. Dalam fungsi ini sastra pernah
menjalankan peran sebagai sarana untuk mengritik, untuk mempengaruhi, menjadi
petunjuk, menjadi perekam fenomena sekaligus pengedepan gagasan, dan peran-peran
lainnya.
Apresiasi dan saling menghargai adalah sikap yang hanya
akan muncul kalau ada pemahaman atau perasaan dan keinginan untuk saling
mengakui dan sekaligus menerima adanya perbedaan. Kata bijak yang mengatakan
bahwa “perbedaan adalah rahmat atau berkah” tampaknya hanya akan menjadi slogan
kosong tanpa implementasi dalam kehidupan. Terlalu banyak perbedaan yang ada
dalam kehidupan bermasyarakat atau berbangsa yang multikultural seperti
Indonesia, dan semua itu pasti akan memunculkan masalah jika tidak disikapi
secara arif.
Bagaimana kita menyikapi perbedaan
yang berimplikasi pada kehidupan secara luas? Benarkah semangat zaman yang kita
gelorakan sekarang seperti ini? Barangkali tidak sepenuhnya benar, tetapi pasti
akan sangat mudah, atau bahkan terlalu mudah, sekali lagi, untuk menemukan kasus
semacam ini dalam tradisi kehidupan berbangsa kita.
Semangat manusia, sekali lagi, adalah semangat zaman
dan semangat zaman membawa pengaruh besar pada semangat manusia. Semangat untuk belajar
dan mengetahui banyak hal membuat manusia menjadi kaya warna, kekayaan yang
membuat hidup lebih berarti, dan itu bisa diperoleh lewat jalan sastra.
Membangun Karakter Bangsa
Fungsi sosial sastra tampaknya cukup berterima untuk
memberikan argumen bahwa ada potensi korelasi dan saling pengaruh antara fiksi
dengan realitas. Bagaimana dengan fungsi sosial sastra sebagai salah satu unsur
pembangun karakter bangsa? Karya sastra
atau sastra secara umum adalah bagian dari hasil olah kreativitas pikiran
manusia. Dalam hal ini, jika dimanfaatkan secara maksimal, pastilah sastra juga
berpotensi besar menjadi sarana untuk menjaga jati diri bangsa, menjadi bagian
dari identitas bangsa, dan dalam kerangka yang lebih luas bisa saja menjadi
unsur penting dalam membangun masyarakat madani.
Sastra sebagai salah satu aspek penggunaan bahasa,
sebagai bagian dari kebudayaan manusia secara umum, memiliki sisi-sisi positif
untuk menjadi pemandu tingkah laku dan pola pikir masyarakat penggemarnya.
Tidak tertutup kemungkinan, sastra yang memiliki ciri mengajak tanpa memaksa
dapat dimanfaatkan sebagai sarana membangun dan mengarahkan karakter bangsa.
Jiwa dan pikiran yang jernih tokoh-tokoh dalam karya sastra bisa dijadikan sebagai
salah satu contoh. Kehidupan rukun yang dijalani tokoh-tokoh dalam karya sastra
yang bermacam ragam latar belakang suku dan agamanya juga bisa menjadi salah
satu contoh konkret penanaman jiwa multukultural dalam diri pembaca.
Sebagai sebuah karya imajinatif, sastra diyakini telah
merekam banyak sisi kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika rekaman itu
disisipi misi atau visi tertentu, yang positif, dengan cara muat yang artistik,
pastilah karya sastra pada umumnya memiliki banyak peluang untuk memainkan
peran penting dalam proses pendewasaan bangsa. Apalagi jika tampilan muatan
dalam sastra itu juga menyinggung aspek historis faktual yang memang nyata
adanya.
Karya
sastra seperti novel Keydo telah
membawa banyak pengetahuan pada pembaca. Keydo dan Kinang, juga beberapa tokoh penting dalam Keydo, adalah pribadi-pribadi yang
berkarakter, berpendirian, dan bisa menjadi contoh sebenarnya seperti apa
karakter individu yang diperlukan untuk merepresentasikan karakter bangsa
secara umum. Tokoh-tokoh Keydo telah
banyak memberi tekanan tentang arti dan jalan perjuangan, makna kesetiaan, dan
drama warna bangsa, serta aspek-aspek kehidupan lainnya. Kritik atas tradisi
yang mestinya telah ditinggalkan, juga atas berbagai fenomena bernada “minor”
muncul pula secara arif dalam Keydo.
Karya sastra telah membawa banyak rekaman
pengetahuan dan
semangat zaman pada pembaca. Kehidupan bangsa Indonesia yang bersuku-suku, yang
berlatar belakang budaya tertentu, yang memiliki keyakinan beraneka rupa, juga
konstruksi bangunan-bangunan pikiran yang beragam, telah hadir dalam fiksi yang
fiktif dan imajinatif itu. Ide-ide tentang nilai universal, gagasan-gagasan
mengenai cinta, perjuangan perempuan, juga berbagai aspek kehidupan dunia pikir
tentang persahabatan atau pertemanan, muncul dalam banyak karya sastra
Indonesia. Oleh karena itu, sepanjang kita bisa memilah dan memilih, tidak
melakukan justifikasi yang bermodel “gebyah uyah”, tampaknya tak akan pernah
ada alasan kuat untuk menolak bahwa sastra dapat memiliki peran penting dalam
proses pendewasaan bangsa, dalam proses memanusiakan manusia, dan
dalam proses membangun
karakter bangsa atau dalam membangun bangsa yang berkarakter. Insya Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar