MEMBACA KEYDO:
Membaca Semangat Zaman
Memantapkan Peran Sastra dalam
Membangun Karakter Bangsa
Heru Marwata
Jurusan Sastra Indonesia FIB UGM
Yogyakarta
Makalah untuk PIBSI XXXIII
11—12 Oktober 2011
Universitas Negeri Semarang
Semarang
Jawa Tengah
MEMBACA KEYDO:
Membaca Semangat Zaman
Memantapkan Peran Sastra dalam
Membangun Karakter Bangsa
Heru Marwata
(Jurusan Sastra Indonesia FIB
UGM)
Abstrak
Perubahan dunia berlangsung begitu
cepat. Berbagai fenomena dan pemikiran silih berganti menempatkan diri sebagai
kecenderungan umum dalam kehidupan. Di tengah derasnya bermacam arus perubahan,
karya sastra masih setia mengambil peran sebagai penyegar dan alternatif
penting dalam proses pendewasaan cara berpikir dan bertindak. Dinamika estetika
dalam sastra begitu lentur dan mudah menyesuaikan diri dengan segala pergeseran
yang terjadi di luar dirinya. Karya sastra telah mengisi sebagian relung
kehidupan dengan cara yang kadang-kadang tidak bisa dilakukan oleh sarana lain,
dengan tingkat elegansi yang menawan, dengan keanggunan yang kadang tidak
terlawan. Demikianlah salah satu peran yang telah dimainkan oleh Keydo, sebuah novel Tatty Elmir.
Membaca Keydo adalah petualangan membaca semangat zaman dan sekaligus
melakukan proses perjalanan menuju pengakuan tak terungkapkan betapa karya
sastra bisa berperan, dengan caranya yang spesifik, membangun karakter bangsa.
Barangkali ini ungkapan yang berlebihan. Namun, setidaknya, dalam tingkat
tertentu, pembaca akan menemukan betapa masih relevannya karya sastra, seperti
novel Keydo, dengan berbagai aspek
kehidupan.
Sebagai sebuah novel yang notabene
hanyalah fiksi, karya imajinatif, Keydo telah
(dan mampu) menyentuh sisi-sisi kehidupan manusia dengan cara yang sangat
manis. Membaca Keydo adalah membaca
semangat zaman, membaca semangat anak zaman, dan membaca peran karya sastra
dalam proses pendewasaan bangsa.
Kata
kunci: Keydo, peran sastra, semangat
zaman, membangun karakter bangsa
Reading KEYDO:
Reading the Spirit of the Age
Establishing the Roles of
Literature in the Nation Character Building
Heru Marwata
(Indonesian Department, Faculty
of Cultural Sciences, Gadjah Mada University)
Abstract
The world changes so quickly. Diverse phenomena and thinking alters
incessantly, putting their positions as common propensities in daily life. In
the midst of the various flows of changes, literary works still take their
roles persistently as vigor and an important alternative in the process of
maturation in the way of thinking and acting. The aesthetic dynamics in
literature are so flexible and adaptable to all the external changes. Literary
works has filled up a part of life niches in the way that occasionally the
other devices cannot perform, in the level of incomparable attractive
elegances. This is one of the roles that Keydo, a novel by Tatty Elmir,
has performed.
Reading Keydo is a sort of adventures of reading the spirit of the
age and travelling to the undeclared acknowledgment that literary works do take
a role, through their specific ways, toward nation character building. This
might be a hyperbolic expression. However, at least in certain levels, readers
will find that literary works, such as the novel Keydo, are still
relevant to many aspects of the life.
As a novel, which is fictional and imaginary, Keydo has (and able to)
touched many sides of human life in such a delightful way. Reading Keydo
is reciting the spirit of the age, the spirit of children of the age, and
reciting the roles of literary works in the process of the nation maturation.
Keywords: Keydo, roles of literature, spirit of
the age, nation character building
Pengantar Pembenar
Apa pun alasannya, kitab apa pun
pedomannya, yang jelas saat ini kita akan beramai-ramai melakukan pemujaan,
bahkan mungkin pengultusan atas bahasa dan sastra. Dengan kerangka berpikir dan
demi tujuan itu, kita—sepakat atau tidak—akan menyatukan energi diri bersinergi
bersama-sama mengucapkan mantra-mantra sakti untuk bermufakat menyeru bahwa
bahasa dan sastra, dengan dan dalam kadar tertentu, memiliki peran suci melontargelontorkan
wacana yang sangat relevan dengan kehidupan. Bahasa dan sastra adalah penyemat
semangat yang memiliki daya rekat serta kemampuan untuk mengemban peran yang
tidak bisa dipikul oleh “pahlawan-pahlawan” kehidupan lainnya. Salahkah?
Tentu saja tidak ada salahnya
menggalang kekuatan untuk mengangkat kembali pilar-pilar jembatan kehidupan
yang pernah tegak kokoh kuat menjadi penyangga dan sekaligus penjaga hamparan
dunia harapan berbangsa. Bahasa dan sastra, dari sisi pemikir dan penggemar
serta penjaganya, pastilah dapat berperan sebagai penyumbang besar asupan gizi
bangsa menuju pertumbuhkembangan menuju kedewasaan. Lewat berbagai cara dan
rupa, bahasa dan sastra telah (minimal pernah) merasuki aliran nadi dan getar
edar pendar jiwa kehidupan berbangsa dan bernegara. Agar alur jalur yang
terjulur tidak saling “singkur” dan bertumpang tindih, biarlah tulisan ini
mengambil salah satu aspek, aspek sastra dari dua sisi bahasa dan sastra sebagai
bahasan utama dalam kerangka besar kehidupan berbangsa dan bernegara. Sementara itu, aspek bahasanya biar menjadi
materi diskusi para penggemar di batas sisi tipis seberang sastra: bahasa,
lengkap dengan linguis dan peminat-peminatnya.
Mari Kita Jelajah Bongkah
Bingkai Rangkai Sejarah
Dalam sejarah sastra dunia—khususnya
Amerika—Uncle Tom’s Cabin (Life Among the Lowly) Harriet Beecher Stowe pastilah salah satu karya
yang sangat layak disebut betapa nyatanya korelasi positif antara novel, karya
sastra, dunia imajinasi, dengan kehidupan, dengan dunia nyata. Salah duanya,
barangkali, adalah Romeo and Juliet William
Shakespeare yang pernah begitu mengesankan perbendaharaan karya sastra Inggris
dan dunia. Mengapa harus berlari jauh ke negeri Paman Sam atau negeri yang
pernah membenamkan kuku hegemoni di bumi persada kita seperti Britania Raya? Tampaknya
sah-sah saja. Bukankah sejarah pemikiran selalu membawa pengaruh besar pada
sejarah dunia dan sejarah sastra? Bukankah, diakui atau tidak, sastra Indonesia
juga sangat dipengaruhi oleh sastra (dunia) Barat? Bukankah sampai sekarang
kita juga masih sangat getol berjuang untuk mengukuhkan bahwa sastra Indonesia
adalah warga sastra dunia yang patut mendapat tempat duduk sama empuk dengan
sastra dunia?
Sastra Indonesia—yang boleh disebut sebagai bagian dari sastra
Timur—pastilah belum begitu tua usianya, khususnya jika dikomparasikan dengan
sastra Barat. Meskipun demikian, pasti jugalah merupakan kenyataan tak
terbantah bahwa sejarah sastra Indonesia telah menorehkan kisah historis manis
(dan barangkali juga melankolis dramatis) dalam mewarnai pelangi bangsa. Untuk
apa pernah ada “Nota Rinkes” pada masa Balai Pustaka kalau tidak ada pandangan
bahwa sastra berpotensi menimbulkan “sesuatu” dalam kehidupan masyarakat?
Kehidupan bersastra terus berlanjut. Angkatan atau periodisasi dan
atau kecenderungan sastrawan pendukungnya mengalami perubahan dari waktu ke
waktu. Aliran dan pengaruh filosofi juga berganti-ganti. Pergeseran pastilah
terus terjadi. Adakah peran yang terus dan konsisten dimainkan sastra? Pastilah
ada, dan peran atau fungsi sosial sastra adalah salah satunya.
Benarkah Fungsi Sosial Sastra Itu Ada?
Dalam khazanah sastra Indonesia pernah ada karya berjudul
Keluhan Pohon Mangga karya Maria Amin.
Pada masa awal kemunculan Angkatan 45 kita mengenal dan membaca Tiga Menguak Takdir karya bersama
Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani.
Konon, kalau jujur, nyaris tidak ada penyair Indonesia pascakemerdekaan yang
tidak terpengaruh oleh Chairil Anwar. Kita pasti ingat juga bahwa pada tahun
60-an Ki Panji Kusmin menggegerkan panggung dan jagat pakeliran sastra
Indonesia dengan cerpennya yang berjudul Langit
Makin Mendung. Sastra pasti memiliki potensi, bahkan dalam beberapa kasus
bisa saja potensi itu sangat besar.
Bagaimanapun, kalau kita runut, karya-karya sastra Indonesia
pernah menjalankan fungsi sosialnya. Dalam fungsi ini sastra pernah menjalankan
peran sebagai sarana untuk mengritik, untuk mempengaruhi, menjadi petunjuk, menjadi
perekam fenomena sekaligus pengedepan gagasan, dan menjadi pembawa semangat
zaman. Bagaimana dengan Keydo? Apa
peran yang bisa dimainkannya sebagai sebuah karya sastra? Apakah Keydo karya Tatty Elmir juga membawa semangat zaman?
Membaca Keydo
Membaca Semangat Zaman
Dalam
“Sapa Sang Guru” (hlm. xi) Taufiq Ismail menulis:
“Pembaca diajak mengembara melalui plot tidak sederhana dengan
pelaku banyak pula. Tokoh-tokohnya sangat beragam suku dan agamanya, dari barat
sampai ke timur Indonesia, hingga ke komunitas Amish yang zuhud di Amerika
Utara. Berbagai zaman bergolak dilaluinya, dengan tokoh-tokoh sosial bermacam
disiplin aktivitas pula. Sungguh suatu keleidoskop berwarna-warni, sebuah
konser simfoni dengan banyak instrumennya. Pembaca merasakan keindonesian yang
kukuh, kesalehan dalam iman, keperempuanan yang bermakna, rasa kuat terlibat
masalah masyarakat, kemanusiaan yang hangat. Dengan meninggalnya Keydo, saya
ikut merasa sangat kehilangan bersama Kinang.”
Semangat multikultural mengedepan dalam Keydo. Jakarta, Magelang, Jayapura,
Padang, Amish (di Amerika Utara) adalah wilayah jelajah kisah Keydo yang cukup intensif melatari
cerita. Semua membawa konsekuensi pandangan, pemikiran, pemahaman, dan aspek-aspek
kehidupan dalam kerangka keindonesiaan. Kristen, Katolik, Islam, hadir dan
menghiasi kisah perjalanan Keydo dan tokoh-tokoh penting Keydo. Semua hadir dengan tampilan yang bebas pretensi, membangun
harmonia dan semangat kebersamaan.
Di sampul depan Keydo
tertulis “Sebuah Novel tentang Perempuan, Cinta, dan Para Pahlawan di Jalan
Sunyi”. Jalan sunyi itu pulalah yang dilewati oleh pejuang selain Keydo,
misalnya Sarianti.
“Bagi masyarakat Minang tahun 1800-an, peristiwa itu (perkawinan
antarteman satu suku, pen.) merupakan aib besar yang tak termaafkan. Namun bagi
Sarianti, ini adalah satu bentuk perjuangan untuk menempatkan adat pada
posisinya, yang tidak boleh mengalahkan syariat agama.” (hlm. 174) “’Meski satu
suku, jika lain daerah asal, tidak ada pertalian darah, bukan perkawinan yang
diharamkan agama. Lihat Al-Quran. Berpedomanlah pada kitab suci, bukan kitab
adat yang direka-reka manusia,’ Sarianti tak lelah meneriakkan protesnya.”
(hlm. 175)
Perjuangan Sarianti adalah salah satu “ … pesan pembebasan,
baik dari lingkungan adat maupun ketidakadilan gender, yang disajikan dengan
jeli dan mengalir seputar pergulatan budaya, politik, konflik nilai, dan
pencarian makna hidup, yang kesemuanya tengah berlangsung dalam masyarakat kita
yang amat majemuk ini,” kata Komaruddin Hidayat dalam endorsement novel Keydo.
Demikianlah Keydo dan Keydo telah
merekam zaman lengkap dengan segala gejolak dan “gairah” yang berkelebat
sepanjang perjalanan sejarah. Karya sastra sebagai sebuah olah cipta imajinatif
pastilah memiliki korelasi dengan kehidupan. Oleh karena itu, tentu tak
mengada-ada pernyataan Fachrian Adi (lihat di endorsement novel Keydo)
ini. “Kalau saja saya tidak pernah bertemu Bunda Tatty and the gank secara personal, mungkin saya akan mengira karakter-karakter
di buku ini 100% imajinatif, yang tercipta untuk sekadar menoreh inspirasi ….”
Beberapa tahun lalu pesawat Adam Air hilang dalam
perjalanan dan konon sampai sekarang belum ditemukan lokasi jatuhnya (mungkin
sudah bisa diperkirakan, tetapi sangat sulit dievakuasi, dan mahal biayanya).
Dalam Keydo pengarang telah mematikan
Keydo—istri Kinang, yang belum lama dinikahinya—dan menghilangkannya bersama pesawat yang
ditumpangi dari Padang menuju Jakarta. Pastilah ada perbedaan antara hilangnya
Adam Air dengan hilangnya pesawat yang membawa Keydo. Namun, bayangan
imajinatif asosiatif antarkeduanya pastilah bisa dicari. Tampaknya model
“pembunuhan” tokoh lewat pesawat ini lumayan populer dalam sastra. Film
berjudul Back Street (dua versi,
satunya disutradarai oleh Robert Stevenson dan satunya oleh David Miller)
mematikan salah satu tokoh utamanya lewat pesawat, demikian pula Burung-Burung Manyar Mangunwijaya dan Keydo Tatty Elmir. Ketiganya berasal
dari semangat zaman yang berbeda (1940-an, 1970/1980-an, 2000-an).
Belajar Cara Menerapkan Hukuman bagi Pelanggar Aturan
Di Amish, suatu wilayah
di Amerika Utara, pelanggar aturan mendapatkan hukuman. Apa hukumannya?
“They are excommunicated
(dikucilkan),
tapi tidak dipermalukan, … kekerabatan sangat penting di Amish, jadi
sebetulnya kasus pelanggaran juga nyaris tidak ada. Kalaupun ada, mereka
memberlakukan hukuman dengan bijak namun tegas. Itu pun setelah melalui proses
panjang dengan hasil keputusan kolektif dan suara bulat yang diamini semua
jemaat. Namun si pembangkang akan diterima kembali jika mereka mengakui
kesalahan dan melakukan pertobatan.”
(hlm. 231)
Kita bisa belajar dari suku Amish lewat dua kata kunci
yang ada dalam penerapan hukuman: bijak, tegas. Tampaknya semangat yang
terkandung dalam dua kata kunci itu sangat penting sebagai sarana pembelajaran
bagi penerapan hukum dan hukuman di Indonesia. Bukankah itu signifikan?
Saling menghargai dan memberi apresiasi adalah hal penting dalam
pergaulan antarmanusia, antaragama, antarsuku, antarbudaya, dan seterusnya.
Kita juga bisa belajar dari Keydo
untuk soal ini. Perhatikan kutipan berikut.
“… tiga hari dua malam selalu bersama. … Keydo telah belajar zuhud
dalam kerangka iman yang berbeda. Di
sini, semua orang berorientasi pada penghambaan, bukan dipertuankan. Annie
telah menularkan spirit kesederhanaan, percaya diri, ketaatan pada agama,
kerendahhatian, kemandirian, dan banyak lagi kearifan Amish yang mungkin
dicibir oleh mata kosmopolit. ... Terlepas dari setuju atau tidaknya dia
terhadap beberapa nilai, Keydo sangat menghargai perbedaan. Dia mengapresiasi
keteguhan mereka semua karena keteguhan memegang nilai-nilai adalah sesuatu
yang sudah luntur di luar sana.”
Apresiasi dan saling menghargai adalah sikap yang hanya akan
muncul kalau ada pemahaman atau perasaan dan keinginan untuk saling mengakui
dan sekaligus menerima adanya perbedaan. Kata bijak yang mengatakan bahwa
“perbedaan adalah rahmat atau berkah” tampaknya hanya akan menjadi slogan
kosong tanpa implementasi dalam kehidupan. Terlalu banyak perbedaan yang ada
dalam kehidupan bermasyarakat atau berbangsa yang multikultural seperti
Indonesia, dan semua itu pasti akan memunculkan masalah jika tidak disikapi
secara arif.
Bagaimana kita menyikapi perbedaan
yang berimplikasi pada kehidupan secara luas? Tampaknya kutipan berikut bisa
kita pergunakan sebagai sarana introspeksi.
“Politik sekarang bukan lagi
sarana untuk kebajikan. Cuma berputar-putar di persolan menang dan kalah.”
“Lalu.”
“Yang salah jadi benar karena punya power, dan yang benar jadi salah karena kalah.” (hlm. 141)
Benarkah semangat zaman yang kita
gelorakan sekarang seperti ini? Barangkali tidak sepenuhnya benar, tetapi pasti
akan sangat mudah, atau bahkan terlalu mudah, untuk menemukan kasus semacam ini
dalam tradisi kehidupan berbangsa kita.
Bagaimana sikap atau perilaku
aparat kita dalam menghadapi perkembangan di masyarakat. Apa kata Keydo tentang hal ini? “Gue kesel, intel
di mana-mana,” Keydo diam. “Masak orang ngaji aja diintelin. Emang orang ngaji
bisa bikin presiden mampus, ya? Emang sarung ama peci bisa disulap jadi meriam,
ya?” (hlm. 144) Terlepas dari ada tidaknya korelasi antara ironi yang
disampaikan Keydo dalam Keydo sebagai
realitas imajinatif-fiktif dengan realitas historis yang ada dalam sejarah
Indonesia, kita pasti tahu bahwa berita semacam itu berseliweran di indera
dengar dan penglihatan kita, nyaris tak tertolak.
Latar Belakang dan Latar Depan
Jika menarik kisah fiksi dalam
sejarah sastra Indonesia, kita pernah memiliki Y.B. Mangunwijaya. Salah satu
karyanya adalah Burung-Burung Manyar.
Novel Mangunwijaya ini bisa menjadi salah satu latar belakang bagi penciptaan Keydo. Di bagian akhir Burung-Burung Manyar akhirnya Teto
(Setadewa) merawat anak-anak Atik (Larasati)—Janakatamsi yang tewas dalam
kecelakaan pesawat yang membawanya ke Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji.
Di bagian akhir Keydo, Kinang, suami
Keydo, merawat dan menjadi ayah bagi 5 anak Kilin dan Sisil. Apakah ini
bermakna? Dalam kaitan dengan cinta yang universal dan hubungan antarmanusia,
pasti iya.
Teto menjadi bapak/ayah bagi
anak-anak Atik—Janakatamsi. Ini bukan semata karena Atik adalah kekasih yang
tidak berhasil dinikahinya karena berbagai masalah, melainkan karena cinta
antarumat manusia. Atik dan Teto pernah menjalin cinta dalam arti hubungan
antara laki-laki dan perempuan. Ini berbeda, atau mengalami perkembangan dalam
kasus Kinang. Kilin adalah saudara sepersusuan Kinang. Yang jelas, keduanya, Burung-Burung Manyar dan Keydo, sama-sama membawa semangat cinta
antarmanusia. Semoga latar belakang cinta yang universal dan semangat zaman
yang dibawa keduanya bisa menjadi latar depan yang akan membawa arah tepat bagi
capaian perjalanan sejarah manusia.
Semangat manusia adalah semangat
zaman dan semangat zaman membawa pengaruh besar pada semangat manusia. Bisakah
semangat Keydo ini mencerminkan dan sekaligus membawa semangat zaman?
“Melelahkan, memang. Tapi Keydo pantang menyerah. Dan ketika
sampai masanya, rezeki memang takkan ke mana. Siang itu, Gina membawa formulir
seleksi duta perdamaian dunia sekaligus Youth
International Visitor Program (YIVP) ke kampus. Program YIVP digagas oleh
USIS (United States Information Services), bagian lembaga informasi pemerintah
Amerika di bawah naungan Departemen Luar Negeri.” (hlm. 205)
Kesempatan inilah yang
membawa Keydo ke Amish di Amerika dan mendapatkan banyak pengalaman serta
pembelajaran sebagai duta bangsa dan duta kemanusiaan. Semangat untuk belajar
dan mengetahui banyak hal membuat manusia menjadi kaya warna, kekayaan yang
membuat hidup lebih berarti. Mengikuti pengembaraan Keydo dan Kinang, Kilin,
Sisil, dan tokoh-tokoh Keydo menjelajah
ruang dan waktu seperti merangkai jembatan untuk melakukan penyeberangan ke
berbagai tujuan.
Membangun Karakter Bangsa
Fungsi sosial sastra tampaknya cukup berterima untuk
memberikan argumen bahwa ada potensi korelasi dan saling pengaruh antara fiksi
dengan realitas. Bagaimana dengan fungsi sosial sastra sebagai salah satu unsur
pembangun karakter bangsa? Karya sastra
atau sastra secara umum adalah bagian dari hasil olah kreativitas pikiran
manusia. Dalam hal ini, jika dimanfaatkan secara maksimal, pastilah sastra juga
berpotensi besar menjadi sarana untuk menjaga jati diri bangsa, menjadi bagian
dari identitas bangsa, dan dalam kerangka yang lebih luas bisa saja menjadi
unsur penting dalam membangun masyarakat madani.
Sastra sebagai salah satu aspek penggunaan bahasa,
sebagai bagian dari kebudayaan manusia secara umum, memiliki sisi-sisi positif
untuk menjadi pemandu tingkah laku dan pola pikir masyarakat penggemarnya.
Tidak tertutup kemungkinan, sastra yang memiliki ciri mengajak tanpa memaksa
dapat dimanfaatkan sebagai sarana membangun dan mengarahkan karakter bangsa.
Jiwa dan pikiran yang jernih tokoh Keydo dan Kinang dalam Keydo bisa dijadikan sebagai salah satu contoh. Kehidupan rukun
yang dijalani tokoh-tokoh Keydo yang
bermacam ragam latar belakang suku dan agamanya juga bisa menjadi salah satu
contoh konkret penanaman jiwa multukultural dalam diri pembaca.
Sebagai sebuah karya imajinatif, Keydo telah merekam banyak sisi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jika rekaman itu disisipi misi atau visi tertentu, yang positif, dengan cara
muat yang artistik, pastilah Keydo
dan karya sastra pada umumnya memiliki banyak peluang untuk memainkan peran
penting dalam proses pendewasaan bangsa. Melihat peristiwa tahun 1998 dengan
kacamata jernih dan tanpa tendensi negatif pasti akan memperluas cakarawala
berpikir pembaca sehingga bisa menganulir informasi semu yang sudah berkembang.
Apalagi jika tampilannya dalam sastra, yang sefiktif apa pun, juga menyinggung
aspek historis faktual yang memang nyata adanya.
Karya sastra seperti novel Keydo telah membawa banyak pengetahuan pada pembaca. Kehidupan
bangsa Indonesia yang bersuku-suku, yang berlatar belakang budaya tertentu,
yang memiliki keyakinan beraneka rupa, juga konstruksi bangunan-bangunan
pikiran yang beragam, telah hadir dalam fiksi yang fiktif dan imajinatif itu.
Ide-ide tentang nilai universal, gagasan-gagasan mengenai cinta, perjuangan
perempuan, juga berbagai aspek kehidupan dunia pikir tentang persahabatan atau
pertemanan, muncul dalam Keydo lewat
pergaulan dan interaksi antara tokoh-tokohnya.
Keydo dan Kinang, juga beberapa tokoh penting dalam Keydo, adalah pribadi-pribadi yang
berkarakter, berpendirian, dan bisa menjadi contoh sebenarnya seperti apa
karakter individu yang diperlukan untuk merepresentasikan karakter bangsa
secara umum. Tokoh-tokoh Keydo telah
banyak memberi tekanan tentang arti dan jalan perjuangan, makna kesetiaan, dan
drama warna bangsa, serta aspek-aspek kehidupan lainnya. Kritik atas tradisi
yang mestinya telah ditinggalkan, juga atas berbagai fenemena bernada “minor”
muncul pula secara arif dalam Keydo.
Oleh karena itu, sepanjang kita bisa memilah dan memilih, tidak melakukan
justifikasi yang bermodel “gebyah uyah”, tampaknya tak akan pernah ada alasan
kuat untuk menolak bahwa sastra dapat memiliki peran penting dalam proses
pendewasaan bangsa, dalam proses memanusiakan manusia, dalam proses membangun
karakter bangsa atau dalam membangun bangsa yang berkarakter. Insya Allah.
Daftar Pustaka
Barthes, Roland.
1990. S/Z. United Kingdom: Basil Blackwell
Ltd.
Elmir, Tatty.
2011. Keydo: Sebuah Novel tentang
Perempuan, Cinta, dan Para Pahlawan di Jalan Sunyi. Jakarta: Qanita.
Goldmann, Lucien.
1975. Towards a Sociology of the Novel. London: Tavistock
Publication Ltd.
Holub, Robert C.
1989. Reception Theory: A Critical
Introduction. London:
Routledge.
Iser, Wolfgang.
1987. The Act of Reading: A Theory of Aesthetic Response. Baltimore & London: The
John Hopkins University
Press.
Jauss, Hans
Robert. 1983. Toward an Aesthetic of
Reception. Minneapolis: University of Minnesota
Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar