SATU RASA DUA DUNIA
(Heru Marwata)
Setali tiga uang adalah ungkapan dari duniaku. Juga dua
sisi satu mata uang. Artinya, semua sama saja, dan keduanya tak terpisahkan.
Jangan tanya mana yang lebih tepat. Itu sangat tergantung. Begitu juga dunia,
yang konon teramat dahsyat, yang sayang hanya kukenal sepotong kecil, yang
sayang juga hanya yang dekat-dekat dengan diriku, sebagai sebuah pribadi.
Namun, yang sepotong itu pun rasanya tak muat menjejali benakku, menyesaki
otakku. Juga potongan dunia yang satu ini, yang tidak aku kenali secara ragawi,
tetapi aku jelajahi secara jiwani, yang mengawali ‘potongan’ kisah ini.
Seperti kebiasaanku kalau mulai bertutur kata, apalagi
yang berbau susastra, kupilihpilahlah kata yang menurutku enak didengar. Saat
itu aku sedang berjalan di antara tegak dan hijaunya pohon cemara. (Sekali
lagi, sengaja kupilih pohon cemara karena konon lebih puitis daripada pohon
pisang, dan lebih merdu daripada deretan pohon melinjo atau rumpun-rumpun salak
pondoh. Itulah yang terjadi kalau memori sudah telanjur tercekoki oleh
bait-bait puisi dan baris-baris melodi dari dunia sastra. Semua serba harus
ditimbang, tidak realistis, terlalu sok egoestetis. Munafik!) Entah dari mana
datangnya, tiba-tiba saja (aku memang suka mengawali kisah dengan mesin
dewa-dewa dari Yunani kuno, biar saja dicap jelek atau lemah oleh para
strukturalis) ada seorang gadis yang memegang tanganku erat sekali dan kemudian
melayang membawaku terbang di antara awan-awan serta membeberkan kisah lain
dari dunia yang berbeda.
Mas, aku tahu
istrimu cemburu.
Oh ya, dari mana kau tahu?
Itulah instingku
sebagai wanita.
Tapi, kamu kan cuman ciptaanku, kreasi, tiruan dunia ide,
bohong-bohongan, karanganku.
Ya justru itulah
kelebihanku. Aku telah berkembang melampaui imajinasimu.
Oh ya? Bagaimana caranya?
Aku tumbuh
suburkan semangat mimetikku dengan menyemaikan seluruh benih gagasan yang kau
tuangkan ke benakku.
Waw ... hebat sekali. Apa kau lebih pintar dariku?
O, tentu tidak.
Sepandai apa pun aku dan semenjulang apa pun imajinasi yang dapat
kubangundiritegakkan di dunia angan, sesungguhnya tak akan pernah melebihi
ketinggian khayalmu mengembangkan dunia maya yang aku labuhi.
Tapi, kau tahu istriku cemburu.
Ya, itu hanya
gagasan balasan atas kisah yang kau jalankan atasku.
Maksudmu?
Aku begitu
istimewa di matamu, kau begitu mengagungkan cintaku, kau menempatkan aku di
relung terdalam dan termanis romantis di lubuk hatimu, siapa yang tak kan
mencemburuiku, Mas?
Lho, sebentar, itu
kan relung hati laki-laki yang kuciptakan untukmu, bersamamu, itu tidak nyata,
itu bukan aku.
Ya, kau boleh
bilang begitu, tetapi coba tanyakan ke hati nuranimu. Temukan jawaban
pertanyaanku, apakah kau tak berharap istrimu seperti aku?
Ya ... ya, memang, kau adalah istriku dari dunia ide.
Nah, ngaku kan?
Tapi, istriku tak pernah membaca karyaku, bagaimana ia
tahu?
Kamu salah Mas,
kau suntuk membuat kisah kasih dan jalan hidupku kan? Kau menghabiskan banyak
waktu untukku kan? Bahkan, kau mengenali setiap lekuk liuk kecil dalam detail
jiwa ragaku kan?
Iya memang, tetapi kan istriku tidak tahu?
Kamu salah lagi
Mas, di mana kau simpan aku?
Di flash disk.
Lalu, di mana
lagi?
Di hard disk, kepingan CD, tapi istriku tidak pernah
membuka file-file simpananku.
Iya memang, lalu
di mana lagi Mas?
Di mana ya ...? Tidak ada lagi. Hanya itu.
Salah Mas, salah
lagi, kau simpan juga aku dalam mimpimu.
Tidak! Jangan mengada-ada ya!
Akuilah Mas, dua
hari yang lalu apa yang kau lakukan dengan istrimu?
Biasa, kami bercumbu, bermesra, bercinta, itu biasa,
minimal memang satu atau paling telat dua hari sekali kami harus melakukannya,
santapan rohani, pupuk gairah jiwani, rutin, bahkan otomatis seperti mesin.
Kata temanku itu artinya sama dengan memperbarui cinta. Lalu, kenapa? Apa
hubungannya?
Ya itulah ....
Mas.
Iya, kenapa?
Ingat-ingatlah
Mas!
Gak ada apa-apa. Biasa. Normal. Tak ada masalah.
Andai kau rekam
Mas, pasti kau tahu?
Iiiihhh gila. Bocor sampai internet bisa kacau duniaku,
karierku, rumah tanggaku, ih amit-amit.
Coba ingat lagi.
Ini PR untukmu, Mas.
No way. Tidak ada PR-PR-an. PR adalah yang biasa aku
berikan pada tokoh-tokoh imajinerku.
Nah, giliranmu
Mas, sekarang coba rasakan beban PR yang biasa kau berikan kepada kami.
Kami? Kalian?
Ya, kami, aku,
dan insan-insan imajiner ciptaanmu lainnya.
Tidak, katakan saja, Nur, jangan bikin aku penasaran.
Nah, itu sudah
kelihatan kan?
Apanya?
Mas panggil aku
apa?
Nur, memang kenapa?
Mas panggil istri
Mas apa?
Ma, Nurma, gak aneh kan?
Aneh dong ...
Apa yang aneh?
Nur dengan Ma
atau Nurma ya jelas beda kan Mas.
Tidak!
Jujurlah Mas, itu
sangat beda.
Lalu, kenapa?
Istri Mas itu
sangat peka, sangat sensitif, ia adalah belahan jiwa, tahu banyak tentang jiwa
yang belahan satunya. Perubahan kecil saja pada Mas pasti terasakan,
terdeteksi, Mas, oleh radar-radar tercanggih ciptaan-Nya.
Meski hanya Nur dan Ma atau Nurma?
Ya. Pasti!
Kok kamu tahu?
Aku juga insan dari
dunia Mas kan? Jadi, aku juga banyak tahu. Termasuk ....
Termasuk apa?
Selera Mas, dong!
Masak?
Iya. Percayalah
Mas, banyak sekali yang aku tahu karena sebagian besar pikiran Mas itu telah
tertuanglimpahruahkan ke pikiranku.
Lho, kok bukan ke pasanganmu dari dunia imajinerku?
Ya itu, lewat dia
dan lewat aku Mas. Lewat kami. Kami juga saling bersapa lho, Mas.
Gila!
Kenapa Mas?
Lama-lama aku bisa hanya dan cukup bercinta denganmu,
dong?
O, itu tidak
mungkin, Mas.
Kenapa tidak?
Karena aku maya
Mas, maya, hanya seperti bayangan, seperti mimpi, padahal Mas suka yang nyata,
kan?
Tapi dengan tahu seleraku kan kamu bisa menyenangkanku?
Ya, tapi itu kan
hanya dalam pikiran Mas.
Lalu tadi kau bilang istriku cemburu, bagaimana?
Ya itu tadi, Nur,
Ma dan Nurma. Berapa kali Mas membisikkan nama istri Mas ketika bercinta?
Minimal 15 x, dan kutambah dengan sayang.
Hahahaha ....
Kenapa tertawa?
Lho ya jelas
ketawa. Itu kan Mas di duniaku.
Tidak, eh bukan!
Nah, berarti sama
kan?
Apanya?
Itu tadi, minimal
15 x, ditambah kata sayang, persis kan?
Terus?
Ingat Mas, Nur
adalah wanita ideal Mas di dunia ciptaan Mas untuk laki-laki yang juga ciptaan
Mas, yang mungkin merupakan pangejawantahan Mas, sementara Ma atau Nurma adalah
wanita ideal ciptaan Tuhan untuk Mas di dunia nyata, di dunia ciptaan-Nya.
Astaga.
Bukan begitu Mas
ungkapannya.
Apa?
Astaga itu di
duniaku. Di dunia Mas biasanya Mas bilang Astaghfirullah.
Ya, ya, campur aduk.
Nah, itulah yang
membuat istri Mas cemburu.
Oh my God.
Ya Allah, Mas.
Ya Allah ....
Nah, begitulah.
Lain kali hati-hati Mas.
Apakah berarti aku harus atau telah menciptakan wanita
khayalan persis istriku?
Ya terserah Mas.
Cuman, aku memang merasa seperti istri Mas lho.
Tapi kamu tidak pernah MELAWAN, kamu kan manut saja
seperti keinginanku. Itu berbeda Nur.
Ah, masak. Aku
juga sering melawan.
Tapi kan tidak padaku?
Ah, masak, lalu
pada siapa?
Pada laki-laki khayalanku.
Tapi, siapa
laki-laki yang Mas khayalkan itu?
Ya laki-laki imajiner.
Seberapa
imajiner?
Sangat.
Oh ya? Coba Mas
ingat lagi semua hal tentang laki-laki yang menjadi pasanganku di dunia ciptaan
Mas itu.
Lalu ...
Ya, ingat-ingat
saja, mirip atau tidak?
Tidak, tidak mirip.
Ya pasti tidak
mirip.
Nah, kan. Lalu?
Lha iya jelas
tidak mirip, lha wong persis kok, Mas. Plek!
Aku merenung, membayangkan laki-laki imajiner yang
kulemparlontarkan ke dunia yang kuciptakreasikan dalam khayalanku untuk Nur.
Aku runut namanya, asalnya, kisahnya, ya ampun ..... ya, ya persis sekali. Mana
bisa? Tapi, nyatanya memang bisa, begitulah adanya. Mungkin benar kata pujangga
bahwa kalau ingin menulis mulailah dengan dunia yang paling kaukenali agar
jalannya lancar dan mulus. Benar juga, ya! Aku selami lagi dunia ideku. Aku
tanyai setiap orang yang berpapasan denganku. Aku cari informasi tentang aku
dan tentang tokohku. Ajaib ... sungguh, plek, sama persis. Gila.
Bagaimana Mas?
(Aku tak bisa menjawabnya.)
Sama kan?
(Aku masih diam.)
Persis kan?
(Aku tetap membisu.)
Nah, sekarang mau
bilang apa?
(Aku tetap tak dapat berkata-kata. Mataku nanar
menatapnya. Wanita cantik yang membawaku terbang. Rambutnya panjang, legam.
Tingginya semampai, tetapi bukan semeter tak sampai, lho. Degup jantungnya
menggema. Denyut nadinya menggelinjang, membawa aroma panas dan bara cinta.
Senyumnya menggoda. Bibirnya merah, menantang kejantananku (mungkin juga
kejantanan setiap pria. Ssssst, istriku juga kudapatkan setelah memenangkan
pesona sekian banyak pria lho, hahaha ....), dan kerlingannya, sungguh menghanyutkan
aku di danau matanya yang biru, membawa aku berlayar di samudera hatinya,
memuncultenggelamkan aku dalam gelombang cintanya, menghempaslemparkanku ke
tepian, dan menyeretku lagi di tengah kedalaman, lalu melontarkan anganku
tinggi-tinggi melayang di antara bulan bintang, merengkuhku kembali dalam
ikatan yang nikmat, dan mendekap aku di antara petir dan halilintar, mendekapku
lagi dalam pusaran badai dan tiupan taupan, berlayar, mengayuh, berenang,
berpeluk lepas berdegup rampas, lalu memasuki dunia mimpi para dewata,
dewa-dewa cinta, dalam riak riuh rendah aliran hangat darah merah anak cucu
Adam-Hawa .... oh, siapakah kamu sebenarnya? Nur, Ma, atau Nurmakah, sayang?)
Pondok Kanthil, Jogja, Medio Oktober 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar