SEJARAH NOVEL SEJARAH INDONESIA:
KOMUNIKASI ANTARA DUNIA SASTRA DENGAN
DUNIA NYATA
Oleh Heru Marwata
Jurusan Sastra Indonesia FIB UGM
Abstract
Literary works bring their spirit of age. Its mean
that literary works can’t be separated from certain time context. So,
there’s communication between literary and reality. Then, can we use “history”
on literary works as a source of history? Several people agree that literary
can be positioned as mental fact. Therefore, with certain consideration, with
certain filter, and comparison and evaluation process, there’s chance that
literary, or historical fact inside letarary works, being use as one secondary
historical source.
Keywords: Indonesian historical novel, Literary works,
history, reality
- Pengantar: Problematika Istilah
Ketika kita
berbicara mengenai komunikasi, tak bisa tidak, kita sudah membayangkan adanya
korelasi positif atau bahkan interaksi antara dua pihak atau lebih. Demikian
pula halnya ketika tulisan kecil ini diberi subjudul KOMUNIKASI ... Sebagai
konsekuensinya, perunutan atau pencarian hubungan antara SASTRA sebagai dunia
imajiner (dunia imajinasi), dunia khayal, dunia angan-angan, dengan KENYATAAN
(DUNIA NYATA) sebagai realitas merupakan kerja tambahan yang harus dilakukan.
Meskipun demikian, tentu saja kerja sampingan itu sudah tidak berat lagi karena
usaha ke arah itu memang sudah banyak dilakukan, hasilnya sudah banyak
dibukukan, dan pengakuan atasnya pun sudah hampir bisa dikatakan tak terhitung
lagi jumlahnya. Konsep bahwa sastra merupakan salah satu sarana komunikasi
antara pengarang dengan pembaca, misalnya, juga telah diakui oleh banyak ahli.
Tidak ada masalah. Sementara itu, judul SEJARAH NOVEL SEJARAH INDONESIA sengaja
dipilih karena dari istilahnya saja sebenarnya sudah mengandung problematika.
Dari judul itu setidaknya dapat dibicarakan beberapa konsep atau istilah
turunan berikut.
- Sejarah Indonesia
Seperti yang
telah tergores dalam catatan yang tebal dan penuh mutiara (bahkan luka, darah,
dan air mata), tentu sejarah Indonesia bukan lagi barang baru yang perlu
diperdebatkan. Kalau toh ditemukan beberapa hal yang dirasa mengganjal atau
menggelinjang, tentu bagian itu tidaklah banyak, dan biasanya cenderung menjadi
bahan perbincangan sesaat atau beberapa saat saja. Selebihnya, hampir dapat
dikatakan bahwa semua yang terjadi di sini, di negeri ini, relatif telah
“menyejarah”. Dari sesuatu yang telah menyejarah itu juga tampak betapa
hubungan antara sastra dengan realitas historis demikian dekatnya. Bahkan,
dalam beberapa hal, hubungan itu demikian saling mempengaruhi.
- Novel Indonesia
Novel adalah
salah satu genre sastra yang cukup banyak ditulis dengan menggunakan repertoar
atau repertoire (terminologi Wolfgang
Iser untuk menyebut “realitas ekstratekstual” dalam istilah Holub) peristiwa
historis. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa genre sastra lainnya, seperti
puisi dan naskah drama, tidak memanfaatkan aspek sejarah. Mengapa novel yang
dipilih sebagai bahan diskusi? Dalam kasus ini novel dipandang memiliki lebih banyak keleluasaan karena secara umum hampir
semua unsur sastra (dalam istilah Robert Stanton sering disebut tema, fakta,
dan sarana sastra) dapat diekspresikan secara rinci dan lebih gamblang dalam
novel. Dalam beberapa hal novel juga lebih menyediakan “ruang” dibandingkan
puisi, cerpen, atau naskah drama. Demikian pula halnya dalam kerangka
komunikasi antara dua dunia: sastra dan realita.
- Sejarah Novel Indonesia
Buku sejarah
sastra Indonesia pernah ditulis, misalnya oleh Ajip Rosidi. Buku-buku sejenis
karya Ajip juga telah dipublikasikan. Sebagai bagian dari karya sastra
Indonesia novel tentu saja juga ikut menjadi bahan bahasan buku-buku tersebut. Apakah
yang dimaksud dengan “sejarah sastra”? Apakah pustaka yang berisi periodisasi
serta daftar pengarang dan karya-karyanya merupakan buku sejarah sastra? Ada
ahli yang mengajak (karena merasa perlu) kita menafsir ulang model penulisan
sejarah sastra yang demikian itu. Tertarik?
- Novel Sejarah (Indonesia)
Dalam bahan
pemicu diskusi tertulis ini novel sejarah diberi batasan sebagai novel yang
memanfaatkan “sejarah” sebagai bahan penulisan, terlepas dari ada tidaknya
pengakuan penulis. Adakah novel seperti itu di Indonesia? Jika dikaitkan dengan
label resmi, misalnya berupa tulisan NOVEL SEJARAH (di sampul, misalnya),
memang sangat sedikit contohnya. Di antara yang sedikit itu trilogi Rara Mandut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri karya Mangunwijaya merupakan
contoh konkret. Namun, jika dasarnya bukan label, melainkan tanggapan atau
pengakuan orang-orang yang berkompeten dalam bidang sastra (saat ini kebanyakan
tanggapan/pengakuan seperti itu dimuat/disertakan dalam novel, misalnya di
sampul dalam atau belakang, endorsemen),
contoh karya yang dapat dimasukkan ke kriteria novel sejarah jumlahnya cukup
banyak. Novel-novel karya Pandir Kelana dan Trilogi Gadis Tangsi Suparto Brata
dapat disebut sebagai contoh. Juga salah satu di antara karya Pulau Buru
Pramoedya. Bagaimana novel-novel itu “memakai” sejarah atau berkomuniksai
dengan realitas historis? Apakah dengan demikian berarti “sejarah novel-sejarah”
dapat disusun? Atau, jangan-jangan justru sebenarnya semua novel Indonesia
adalah novel sejarah. Ini sebuah tantangan bagi para penulis sejarah sastra dan
sejarah umum.
- Sejarah Novel dan Sejarah Indonesia
Tesis keempat
Hans-Robert Jauss yang terkenal adalah SEMANGAT ZAMAN (lengkapnya 7 tesis itu adalah
1) pengalaman pembaca, 2) horison harapan, 3) jarak estetik, 4) semangat zaman,
5) rangkaian sastra, 6) sinkronis dan
diakronis, serta 7) sejarah khusus dan sejarah umum). Dalam penjelasan konsep semangat
zaman ditemukan semacam kesimpulan bahwa karya sastra membawa semangat
zamannya. Arti mudahnya, karya sastra membawa “semangat zaman” ketika karya itu
ditulis. Ini merupakan indikasi pengakuan bahwa karya sastra tidak bisa
dilepaskan dari konteks waktu tertentu, lebih mudahnya lagi antara sastra dan
realitas terjadi komunikasi. Sejarah novel (Indonesia) tidak dapat dicerabut
dari akar sejarah (Indonesia). Jika logikanya dibalik, sejarah (Indonesia)
telah (bahkan, pasti) “mewarnai” sejarah
novel (Indonesia). Dengan logika yang muluk-muluk, tentu tidak tertutup
kemungkinan bahwa novel Indonesia juga punya peluang atau potensi untuk
mempengaruhi sejarah Indonesia. Pernahkah
kita menyadari bahwa seri Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer (Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) pernah “mewarnai” sejarah Indonesia?
Semangat
zaman adalah bagian dari sejarah. Apa fungsi aspek historis itu bagi novel? Membuat
jarak estetik antara karya dan pembaca tidak terlalu renggang. Mengapa? Agar
yang ada dalam karya itu tidak menjadi asing dan tidak dikenali pembaca. Bagaimana dengan
“kata mutiara” yang mengatakan bahwa sastra selalu berada dalam ketegangan
antara tradisi dan inovasi dan bahwa karya sastra dinilai atau dihargai karena
kebaruan atau invensinya? Untuk menjawabnya, karena sudah telanjur menyebut
secara lengkap, sebaiknya kita membawa kisah ini ke konteks 7 tesis Jauss.
Hubungan
ketujuh tesis Jauss di atas bersifat dialektis. Secara berurutan tesis pertama
menjadi dasar tesis kedua, demikian seterusnya. Pengalaman baca seseorang akan
mempengaruhi horison harapannya. Horison harapan yang dilandasi oleh pengalaman
baca itu akan menentukan renggang rekatnya jarak estetik yang terjadi antara
karya sastra dengan pembaca, dan seterusnya. Karya sastra membawa semangat
zaman. Karya sastra berada dalam rangkaian sastra. Karya sastra berposisi dalam
penampang sinkronis dan diakronis. Karya
sastra juga berada dalam konteks sejarah khusus dan sejarah umum. Tujuh tesis
Jauss sebenarnya dapat dikatakan sebagai tesis komunikasi antara sastra dan
kenyataan sejarah, antara dunia imajinasi dengan realitas historis.
Sayang
memang bahwa kadang-kadang horison harapan pembaca tidak hanya dipengaruhi oleh
pengalaman baca, tetapi juga oleh “kepentingan tertentu”. Akibatnya,
karya-karya yang ditengarai berpotensi mempengaruhi “keinginan” dan
“keingintahuan” pembaca jusru harus menerima tempelan label tertentu: salah
satu label yang paling menakutkan adalah DILARANG. Era berganti, masa berlalu,
tanggapan orang pun mengalami perubahan, dan label terhadap karya tertentu juga
bisa diklethek seperti stiker. Dari
uraian yang terbatas ini ada indikasi kemungkinan karya sastra mampu pula
“menyemangati zaman” (bukan hanya membawa semangat zaman).
Sebagai
ilustrasi, cermati kutipan pendapat Yahob Sumarjo dari halaman akhir roman Anak Semua Bangsa karya Pram berikut.
“Kita beruntung menyaksikan novel besar pada dekade ini ... yang ... telah
berhasil menggambarkan suasana sosial budaya zamannya.” Secara implisit jelas
dalam pernyataan ini ada pengakuan antara sastra sebagai gambaran dunia dengan
dunia (nyata) yang dilukiskannya.
- Sejarah Novel Sejarah dan Sejarah Indonesia
Dalam uraian
sebelumnya (lihat nomor 5) disajikan semacam penjajaran antara Sejarah Novel
dan Sejarah Indonesia. Dengan “semangat” yang sama pendampingan “Sejarah Novel
Sejarah” dan “Sejarah Indonesia” pun pasti berterima. Sanusi Pane menulis Surapati dan Robert Anak Surapati serta Sandyakalaning
Majapahit pada tahun 30-an. Apakah ada korelasi antara karya-karya Sanusi
Pane dengan sejarah bangsa kita? Tampaknya sangat sulit untuk menolak atau
menisbikan adanya hubungan tersebut.
- Novel Sejarah tentang Indonesia
Dalam
sejarah novel Indonesia dikenal beberapa judul berikut. Rara Mendut (Balai Pustaka), Rara
Mendut (Ajip Rosidi), Rara Mendut (Mangunwijaya).
Jika dalam ketiga novel itu disebut-sebut nama tempat seperti Kerajaan Mataram
dan Pati serta nama-nama tokoh seperti
Sultan Agung, Adipati Pragola, dan Tumenggung Wiraguna, adakah artinya
bagi sejarah? Burung-burung Manyar karya
Mangunwijaya, misalnya, menyebut-nyebut nama UGM {ketika tokoh fiktif Larasati
mendapatkan gelar doktor dengan predikat summa
cum laude di Balai Senat (pernah terjadikah dalam sejarah UGM?)},
menggunakan tiga latar waktu (prarevolusi, revolusi, dan pascarevolusi) penting
di Indonesia, serta memasukkan tokoh Sjahrir yang terkenal. Adakah korelasi
positif antara karya itu dengan sejarah Indonesia?
Mengapa
karya Ki Panji Kusmin Langit Makin
Mendung pernah menghebohkan dunia sastra Indonesia pada tahun 60-an?
Mengapa Senja di Jakarta Mochtar
Lubis dinilai mengritik Soekarno? Mengapa Para
Priyayi dan Jalan Menikung serta Sri Sumarah karya Umar Kayam direkomendasikan
untuk dibaca oleh orang (asing) yang ingin mengetahui seluk beluk orang (dan budaya)
Jawa? Lasi—yang seperti orang Jepang—dalam Bekisar
Merah karya Ahmad Tohari dijadikan istri simpanan oleh seorang pejabat yang
merasa perlu—karena gengsi—meniru “gaya
kawin” sang pemimpin besar revolusi. Apakah ini sebuah pertanda betapa cukup positifnya
hubungan atau betapa terjalin eratnya komunikasi
antara sejarah dan sastra atau antara sejarah sastra dan sejarah bangsa?
- Sejarah dalam Novel (Sejarah)
Perhatikan
beberapa kutipan berikut.
Roro Mendut ... dicipta baru dalam bentuk sastra dengan versi khas ... Tanpa meninggalkan
pertanggungjawaban segi-segi historisnya yang dilandaskan pada studi tentang Babad Tanah Jawi, dokumen-dokumen ....
(sampul belakang novel Roro Mendut
karya Mangunwijaya). Apakah ini berarti bahwa dalam karya fiksi yang bergenre
novel, khususnya novel sejarah, ada muatan sejarahnya? Jika ya, sejauh mana
fakta historis fiksional itu bisa dianggap sebagai sebuah kebenaran? Apakah itu
berlaku untuk semua karya dari semua penulis?
Genduk Duku ... mengungkap suasana tahun-tahun terakhir masa
pemerintahan Sultan Agung ... serta suasana yang sendi-sendi historisnya dapat
kita lacak dalam laporan-laporan sumber Barat, seperti yang didokumentasikan
oleh bekas duta besar VOC di Mataram, ... semua itu diolah dalam ramuan cerita fiktif .... (sampul
belakang novel Genduk Duku karya
Mangunwijaya). Jika di sini disebutkan tentang ramuan cerita fiktif, masih layakkah kita mematok realitas
imajinatif sebagai sebuah kenyataan? Di mana batas-batasnya?
... Lusi Lindri ini memantau, dalam bentuk novel sejarah,
secermat mungkin data dan fakta historis Sunan Mangkurat I (abad ke-17), raja
kejam Mataram dan zamannya yang penuh peristiwa dramatis. ... wilayah-wilayah
(yang sekarang disebut) Bagelen, Magelang, dan Gunung Kidul .... (sampul
belakang novel Lusi Lindri Mangunwijaya). Bagaimana kita bisa memilih dan memilah
secara tepat yang fakta sejarah dan realitas fiksional?
Novel BALADA DARA-DARA
MENDUT ini sebentuk dokumentasi, bahkan monumen juga berupa sastra yang
“mengabadikan” suatu lembaran sejarah
perintisan .... (sampul belakang novel Balada
Dara-dara Mendut karya Mangunwijaya). Jika dikatakan mengabadikan suatu
lembaran sejarah, apakah ini berarti bahwa semua yang dibeberkan adalah nyata
adanya?
Perhatikan
beberapa hal dan “fakta” berikut.
Suparto
menikah dengan Rr. Ariyati, anak seorang petani kaya di Ngombol, Kedu Selatan.
Rr. Ariyati lahir di Meurudu 1940, ketika ayahnya jadi serdadu kumpeni. Ketika
Perang Dunia II meletus, ayahnya dibubarkan dari kumpeni di Bandung, sedangkan
Ariyati bersama tiga orang saudaranya serta ibunya tertinggal bersama istri
serdadu kumpeni lainnya di asrama tangsi Medan. Mereka dibawa mengungsi oleh
tentara Belanda, tetapi terkejar oleh tentara Jepang di Blankejeren (biografi
singkat Suparto yang dimuat di halaman terakhir trilogi novelnya). (realitas
historis)
Bandingkan
biografi di atas dengan “fakta” yang ada dalam novel Suparto ini.
Tokoh utama
Trilogi Gadis Tangsi adalah Teyi. Adik Teyi, Tumpi, lahir di Meurudu. Tangsi
Lorong Belawan berada di Medan. Ayah Teyi seorang serdadu kumpeni. Setelah
ayahnya tewas dan Belanda mengalami kekalahan dari tentara Jepang, Teyi, Tumpi,
dan ibunya bersama dengan istri-anak para serdadu kumpeni diungsikan oleh
tentara Belanda. Rombongan pengungsi ini terkejar tentara Jepang di Blankejeren
dan dijadikan tawanan. Akhirnya, keluarga Teyi yang berasal dari Ngombol bisa
selamat kembali ke daerah asal. Teyi dan ibu serta adiknya sukses membangun
Kerajaan Raminem (nama ibu Teyi) di Ngombol, menjadi tuan tanah dan juragan
padi-beras. (realitas fiksional)
Perhatikan
kutipan ini.
”Narasumber
novel Kerajaan Raminem adalah mertua Suparto Brata” (Kerajaan Raminem, 2006: 470). ”Narasumber
novel Mahligai di Ufuk Timur ini
adalah kesaksian, pengalaman, dan pengamatan Suparto Brata sendiri, asli dan
murni” (sampul belakang Mahligai di Ufuk
Timur, 2007). Ketika kita mencermati kata ”narasumber”, terbayanglah adanya
sebuah ISI yang memerlukan BENTUK. Yang disampaikan mertua Suparto adalah ISI,
dan yang ditulis Suparto dalam triloginya adalah BENTUK itu, yang lengkap
dengan isinya dalam bentuk yang agak lain. Di sini ada dua realitas yang
berbeda. Yang disampaikan mertua Suparto (kemungkinan besar) adalah realitas
historis, sementara yang di-jlentreh-kan
Suparto dalam triloginya adalah realitas fiksional. Demikian pula halnya ketika
Suparto sendiri menjadi narasumber bagi novel yang ditulisnya.
Dapatkah kita memanfaatkan ”sejarah” dalam karya sastra sebagai
salah satu sumber sejarah? Ada beberapa orang yang bersepakat bahwa sastra
dapat didudukkan sebagai fakta mental. Jadi, dalam beberapa hal, dengan
berbagai pertimbangan, dengan filter tertentu, lewat proses komparasi dan
evaluasi, sebenarnya tidak tertutup kemungkinan sastra, atau fakta historis
dalam sastra, digunakan sebagai salah satu sumber sejarah (sekunder).
Dulu, sebut saja novel-novel sebelum tahun 80-an, karya sastra
yang menampilkan adegan yang dekat-dekat dengan seksualitas dianggap agak tabu.
Bahkan, ada tokoh yang mensinyalir karya sastra dianggap sebagai pose
pengarangnya di depan publik. Akibatnya, hampir tidak ada sastrawan yang ingin
dicap suka berpose ”porno” di hadapan khalayak meskipun hanya lewat karyanya.
Sekarang, sebut saja karya-karya para pengarang wanita seperti Ayu Utami,
Djenar Maesa Ayu, Fira Basuki, dan Dewi Lestari, ”pose” yang dulunya dianggap agak
melanggar ketabuan justru ditengarai sedang ngetren.
Sekadar tambahan informasi mengenai pose pengarang ini, beberapa waktu yang
lalu UNY nanggap artis Ria Irawan
untuk membacakan Vagina Monolog (dan
ternyata diikuti oleh seorang peserta reuni FIB UGM dengan membacakan Vagina Monolog di Pendapa Rumah Dinas
Bupati Sleman, edan ora?). Masa
berganti, rezim bergulir, dan kita mungkin—jika dianugerahi umur panjang—akan
menyaksikan wolak-waliking jaman
karena yang dianggap baik dalam kriteria sekarang belum tentu bertahan di era
yang telah berubah. Bukankah dalam sejarah juga pernah terjadi fenomena serupa?
Bukankah gonta-gantinya buku teks
sejarah merefleksikan adanya peristiwa tersebut? Kita lihat saja.
- Fakta dan Fiksi: Realita(s) dan Imajinasi à Komunikasi
Dalam
konteks hubungan antara fakta dan fiksi, di manakah pengarang berposisi?
Menurut teori strukturalisme-genetik sosiologi sastra Lucien Goldmann pengarang
bukanlah individu, ia transindividu, menulis dengan pandangan dunia tertentu.
Sebagai subjek transindividu pengarang “berbicara” (termasuk melalui karya
sastra) atas nama kelompok tertentu atau kelompoknya (disadari atau tidak).
Konon,
pengarang (apalagi pengarang besar/utama) termasuk kelompok orang yang memiliki
kepekaan, daya perenungan, dan sekaligus kekuatan berimajinasi yang relatif
tinggi. Ketika “berbicara” pengarang tidak hanya menyampaikan informasi atau
fakta secara wantah, tetapi telah “membumbuinya” dengan pandangan, pikiran,
harapan, serta misi dan visi tertentu. Bagi seorang “koki” fiksi, fakta adalah
bahan mentah yang harus diolah agar siap saji, syukur-syukur dengan aroma yang
merangsang indera, dengan performa yang mempesona, dengan citarasa yang memanjakan
penggemarnya, dan dengan berjuta maksud yang belum tentu dapat kita raba-duga.
Makin tinggi kemampuan sang koki fiksi dalam berimajinasi,
makin tinggi pula kemungkinan fakta mentah yang diolahnya menjadi demikian
mengundang selera (baca), dan dengan demikian, makin mudah pulalah komunikasi
antara sastra dan realitas terjalin manis. Dalam konteks ini, semakin besar
pulalah probabilitas karya cipta itu “menyejarah” dan mempengaruhi sejarah.
Benarkah?
- Penutup: Apologi
Demikian sekadar
pemicu diskusi tertulis yang dapat disajikan mengenai komunikasi antara sastra
dan realitas, antara dunia angan dengan kenyataan, antara dunia ciptaan
pengarang dengan dunia hidup pengarang. Dengan mempertimbangkan beberapa uraian
dan sekaligus bukti yang penulis coba beberkan, tampaknya mengakui adanya komunikasi
antara dua dunia, sastra dan sejarah, bukanlah pengakuan yang tanpa dasar.
Terlalu banyak bukti yang dapat dikemukakan sebagai pendukung atas pengakuan
itu. Bagaimana dengan Anda?
DAFTAR PUSTAKA
Ananta Toer, Pramoedya. 1980. Bumi
Manusia. Jakarta: Hasta Mitra.
_______. 1980. Anak Semua Bangsa. Jakarta: Hasta Mitra.
_______. 1980. Rumah Kaca.
Jakarta: Hasta Mitra.
Brata, Suparto. 2004. Gadis Tangsi. Jakarta: Kompas.
_______. 2006. Kerajaan Raminem. Jakarta:
Kompas.
_______. 2007. Mahligai
di Ufuk Timur. Jakarta: Kompas.
Barthes, Roland.
1990. S/Z. United Kingdom: Basil Blackwell
Ltd.
Goldmann, Lucien. 1975. Towards a Sociology of the Novel. London: Tavistock Publication Ltd.
Holub, Robert C.
1989. Reception Theory: A Critical
Introduction. London:
Routledge.
Iser, Wolfgang. 1987. The Act of Reading:
A Theory of Aesthetic Response. Baltimore
& London: The John Hopkins
University Press.
Jauss, Hans Robert. 1983. Toward an Aesthetic of Reception. Minneapolis:
University of Minnesota Press.
Mangunwijaya, Y.B. 1993. Balada Dara-dara Mendut. Yogyakarta: Kanisius.
_______. 1994. Rara Mendut. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
_______. 1994. Genduk Duku. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
_______. 1994. Lusi Lindri. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
_______. 1986. Burung-burung
Manyar. ? : Djambatan.
Stanton, Robert. 1964. An Introduction to Fiction. New
York: Holt, Rinehart and Winston, Inc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar