MENULIS MENULIS MENULIS
MENCOBA ADALAH UKURAN KEBERANIAN
Pengantar
Singkat
Pada dasarnya ada dua keterampilan
berbahasa yang sebaiknya dimiliki setiap orang secara seimbang: keterampilan
TULIS dan LISAN, MENULIS dan BERBICARA. Tentu sangat ideal jika seseorang
memiliki keterampilan untuk menuliskan sesuatu secara lancar, terstruktur,
sistematis, dan memenuhi standar tulisan yang baik, serta sekaligus mempunyai keterampilan dalam
menyampaikan informasi, gagasan, atau pikirannya secara lisan. Bisakah orang
memiliki dua keterampilan itu secara seimbang bersamaan? Kenapa tidak!
Terampil adalah tingkat tertinggi yang
bisa dicapai lewat proses yang disebut latihan. Artinya, setiap orang yang
rajin berlatih memiliki kesempatan untuk menggapai tingkat tersebut, atau minimal
mempertinggi tingkat keterampilannya. Yang paling diperlukan dalam proses
latihan menuju terampil adalah ketekunan dan keberanian mencoba. Mencoba adalah
ukuran keberanian seseorang. Asalkan tekun berlatih dan tidak pernah bosan
mencoba, siapa pun berpeluang meningkatkan diri.
Memang kadang-kadang tidak ada korelasi
positif antara pengetahuan dan keterampilan. Pengetahuan yang baik tentang
berbagai aspek kebahasaan tidak menjamin seseorang memiliki keterampilan untuk
mendayagunakan pengetahuannya itu secara tertulis. Latihan adalah kuncinya.
Hanya latihan yang intensiflah yang akan membuat seseorang menjadi master.
Tentu saja akan sangat ideal jika keterampilan itu dilandasi dan dipadukan
dengan pemahaman yang baik serta pengetahuan yang memadai.
Untuk menyemangati diri, mari kita
yakini dan kita tanamkan dalam diri
bahwa “jika orang lain bisa, kita juga pasti bisa”, dan “di dunia ini tidak ada
hal yang sulit, kecuali bagi para pemalas”, serta “tidak ada usaha yang sia-sia
karena juga hampir tidak ada keberhasilan yang cuma-cuma”. Konon, resep orang
sukses adalah melihat orang lain yang sukses, mempelajari dan mencari tahu
mengapa orang itu sukses, kemudian menandingi dan mengalahkannya. Siapkah kita?
Konon (lagi), setelah kesulitan pasti ada kemudahan. Jadi, mengapa kita harus
takut menghadapi kesulitan? Bukankah kesulitan adalah bumbu racikan yang
membuat makanan dan perjalanan usaha kita terasa lebih nikmat? Menunggu mimpi
menjadi narator tak akan pernah benar-benar membuat kita memiliki kemampuan
beretorika. Apa yang kita perlukan?
Buku
bisa kita baca. Teori bisa kita hafalkan. Metode bisa kita pelajari. Namun,
teori dan praktik adalah dua hal yang kadang-kadang sangat berbeda. Jadi, jika
ingin terampil, sekali lagi, hanya ketekunan berlatih, hanya keberanian
mencoba, dan hanya usaha maksimallah yang akan membimbing kita untuk
mencapainya, yang akan memberi kesempatan atau menciptakan peluang pada kita
untuk meraihnya: menjadi seorang master. Jika demikian, sudah selayaknyalah
kita segera mulai: berlatih, mencoba, dan berupaya tanpa kenal kata menyerah.
“Kalau tidak sekarang, kapan lagi?” demikianlah ungkapan yang sering kita
dengar.
Bahan
yang saya sampaikan ini hanya pemicu kecil. Isinya juga hanya catatan ringan.
Akan tetapi, jika mendayagunakannya secara maksimal, dan kemudian (juga)
memraktikkan teori atau metode sederhana yang disertakan, saya yakin Anda sudah
mulai berlatih, Anda sudah mulai mencoba dan berupaya, dan pastilah suatu saat
Anda akan memanen hasilnya. Semoga.
Menulis Kreatif, Kreatif Menulis
Memulai
sesuatu, termasuk menulis, kadang-kadang memerlukan strategi tersendiri. Banyak
orang yang begitu sulit menemukan pemicu dalam diri untuk mulai menulis.
Bahkan, ada yang merasakan betapa susah dan jarangnya ide atau inspirasi
menghampiri dirinya. Sementara itu, ada,
bahkan banyak, orang yang tampaknya begitu mudah menemukan ide dan
menggali inspirasi. Lalu? Pada akhirnya, pengalamanlah yang akan banyak
berperan, dan pengalaman menulis adalah sebuah rangkaian dari proses yang
disebut sebagai gerakan membiasakan diri. Gerakan inilah yang secara umum
dikenal sebagai latihan, latihan menulis secara kreatif dan kreatif menulis.
Tak dapat disangkal bahwa kemampuan dan
keterampilan menulis sangat berkaitan dengan kemampuan dan keterampilan
membaca. Oleh karena itu, banyak ahli yang bersepakat bahwa penulis yang baik
adalah pembaca yang baik. Sayangnya, tidak semua pembaca yang baik akan dapat
secara otomatis menjadi penulis yang baik. Sekali lagi, latihan adalah kata
kunci. Kapan kita bisa/harus berlatih?
Menunggu ide atau inspirasi muncul
bukanlah cara bijak untuk mulai menulis. Ide atau inspirasi itu harus dipicu
atau diciptakan. Untuk proses ini pun, lagi-lagi, kita memerlukan latihan, dan
kalau sudah berbicara mengenai latihan, tingkat keintensifanlah yang akan
menentukan. Bagaimana memicu ide/inspirasi?
Konon, cara termudah memicu ide atau
inspirasi adalah dengan membaca, banyak membaca, dan menggunakan ide orang lain
sebagai model. Bolehkah? Tidak pernah ada larangan untuk menjadikan ide atau tulisan
orang lain sebagai model. Pada saat seseorang mencapai tingkat pemahaman yang
baik atas sesuatu, dalam banyak kasus, ide yang sederhana pun bisa dijadikan
bahan tulisan yang baik, dan tulisan sederhana pun bisa dijadikan sebagai
model. Mari kita cermati contoh sederhana ini.
TIGA
SAHABAT SETIA
Tugas Mata Kuliah Bahasa Indonesia Esty Wiria S.
(dengan beberapa perbaikan HM)
Mahasiswi FIPB Universitas Indonesia Jakarta
Dosen: Felicia N. Utorodewo
Tugas Mata Kuliah Bahasa Indonesia Esty Wiria S.
(dengan beberapa perbaikan HM)
Mahasiswi FIPB Universitas Indonesia Jakarta
Dosen: Felicia N. Utorodewo
Alkisah
di Negeri Bahasa hiduplah tiga orang sahabat yang bernama Meskipun, Walaupun,
dan Tetapi. Walaupun tidak tinggal berdampingan, mereka selalu hidup rukun
karena tidak pernah mencampuri urusan masing-masing.
Dalam
hidup bermasyarakat, Meskipun, Walaupun, dan Tetapi selalu membantu
keluarga-keluarga kalimat yang membutuhkan pertolongan mereka dalam penggunaan
kalimat-kalimat penegasan atau pertentangan. Suatu hari Pak Kalimat datang
menemui Tetapi. Ia membutuhkan bantuan Tetapi dalam kalimat "Kami ingin
datang, ..... hujan deras menghalangi niat kami".
Di
lain waktu, Meskipun dimintai pertolongan oleh Pak Kalimat. Pada saat itu Pak
Kalimat membutuhkan Meskipun untuk menyempurnakan kalimat "... dia
menolak, saya tetap memaksanya". Sayangnya, Meskipun sibuk membantu
keluarga kalimat lain sehingga ia menawarkan penggantinya, Walaupun. Pak Kalimat tidak keberatan karena ia mengerti Walaupun
dan Meskipun dapat saling menggantikan dalam sebuah kalimat penegasan.
Akhirnya, kalimat tersebut menjadi sempurna karena bantuan Walaupun. Kalimat
tersebut menjadi "Walaupun dia menolak, saya tetap memaksanya".
Pada
suatu hari negeri yang tenang itu terganggu akibat kedatangan Raksasa jahat.
Sang Raksasa iri melihat kerukunan Walaupun, Meskipun, dan Tetapi. Oleh karena
itu, mereka pun dihasut oleh sang Raksasa.
"Hai,
Meskipun dan Walaupun, tidakkah kalian bangga dapat berkedudukan di depan
sebuah kalimat? Kalian adalah pemimpin. Di lain pihak, kalian pun dapat berada
di tengah-tengah. Walaupun berada di tengah, kedudukan kalian masih terhormat
karena kalian adalah faktor penjelas sebuah kalimat. Ingatlah, kalian terlahir
tidak untuk menjadi yang
terbelakang," tambah Raksasa.
"Ya, Raksasa, kami mengerti," jawab Meskipun
dan Walaupun serentak.
"Jika kalian mengerti, seharusnya kalian musnahkan
Tetapi," bujuk Raksasa.
"Apaaa.... ? Memusnahkan Tetapi?” tanya Meskipun
terkejut dan diikuti kerutan di wajah Walaupun yang manandakan ia tak mengerti
maksud Raksasa.
"Ya, memang itu saranku. Tak ada gunanya dia berada
di negeri ini," tegas Raksasa. "Kalian bisa menggantikan kedudukannya
di tengah kalimat," lanjutnya.
"Aku benar-benar tak mengerti jalan pikiranmu,
Raksasa. Selama ini kami bertiga selalu dapat bekerja sama membantu
keluarga-keluarga kalimat. Ada saatnya kami tidak bisa membantu
kalimat-kalimat. Pada saat itulah, mereka membutuhkan kehadiran Tetapi,"
jelas Meskipun.
"Ah,
nonsense! Itu omong kosong!
Kalian tak memerlukan bantuan Tetapi!" sahut Raksasa.
"Wahai,
Rakasa! Alangkah sombongnya kami kalau merasa bahwa kedudukan kami lebih
penting dibanding kedudukan Tetapi. Mari kuberi engkau sebuah contoh kalimat.
'Hujan telah reda, ... kami masih malas pergi.' Pada saat seperti itu kami
tidak bisa membantu kalimat tersebut. Hanya Tetapi yang sanggup
melakukannya," kata Walaupun.
Raksasa
mulai sadar bahwa ia tidak berhasil menghasut Meskipun dan Walaupun, tetapi ia
tidak kurang akal. Ia beralih mencoba mengajak Tetapi untuk membenci kedua
sahabatnya.
"Hai,
Tetapi! Dari manakah engkau?" tanya Raksasa.
"Aku baru saja membantu kalimat 'Saya cerdas,
tetapi malas,'" jawab Tetapi.
Raksasa
mulai menghasut, "Apakah kau tak merasa bosan selalu berada di tengah
kalimat? Tidakkah kau sadar betapa serakahnya kedua sahabatmu? Mereka selalu
berebut tempat di depan. Mereka tidak pernah memberimu kesempatan untuk berada
di awal kalimat. Bahkan, posisimu yang hanya di tengah pun kadang-kadang
ditempati mereka."
"Raksasa, tak pernah terpikirkan olehku iri kepada
kedua sahabatku. Sudah menjadi takdirku untuk selalu berada di tengah. Betapa
tak pantasnya aku menjadi pemimpin sebuah kalimat," jelas Tetapi bijaksana.
"Bagaimana dengan posisimu yang dirampas oleh
mereka?" tanya Raksasa yang terus mencoba menghasut Tetapi.
"Walau mereka berada di tengah, tujuan kami berbeda.
Tujuanku untuk menunjukkan pertentangan, sedangkan tujuan kedua sahabatku
adalah penegasan," jawab Tetapi dengan tenang.
Akhirnya Raksasa sadar tak mungkin baginya
mencerai-beraikan ketiga sahabat yang saling setia itu. Oleh karena itu,
ditinggalkannya Negeri Bahasa dengan segudang kekesalan di hatinya.
Sepeninggal Raksasa Negeri Bahasa kembali tenang, dan
ketiga sahabat itu, Meskipun, Walaupun, dan Tetapi menjadi semakin menghormati
satu sama lain. Meskipun dan Walaupun tetap dapat saling menggantikan, dan
mereka juga tetap tidak mencampuri urusan Tetapi.
Catatan:
Cerita seperti ini hanya bisa ditulis oleh orang yang benar-benar menguasai
masalah kata, khususnya yang berkaitan dengan fungsi dan kedudukan kata penghubung ”meskipun, walaupun, dan tetapi”.
Jika memahami inti cerita di atas, pastilah kita tidak akan pernah salah
menggunakan kata “meskipun, walaupun, dan tetapi”.
Kita lihat mahasiswa Fak. Psikologi UGM
yang menulis cerita dengan menggunakan cerita di atas sebagai model.
Jalan Terbaik
Ashifa Zahra
(tanpa perbaikan sedikit pun)
11/311953/PS/06109
Dahulu
di suatu desa hiduplah tiga orang gadis cantik bernama Motivasi, Stres dan
Depresi. Namun karena kecantikan dan kebaikan hati Motivasi dalam memberi jalan keluar pada permasalahan yang ada
kepada masyarakat desa, mereka merasa sirik dan membencinya. Mereka suka
mengganggu kehidupan manusia dan selalu hidup bergantung pada Masalah, mereka
tidak bisa hidup mandiri.
Suatu
hari Masalah mendapat kesulitan dan membutuhkan bantuan Motivasi. Ketika
Masalah ingin menemui Motivasi, Stres mencegahnya. “Masalah, kamu akan pergi ke
mana?” Tanya Stres. “Aku sedang bingung, temanku si manusia membebankan
cobaannya kepadaku,” jawab Masalah. “Oh, jadi seperti itu, kamu tetaplah di
sini biar aku temani, akulah yang selalu setia saat manusia sedang menghadapi
cobaan,” kata Stres. “Stres maaf, mengapa aku tidak merasa nyaman kepadamu? Aku
semakin terasa berat bila bersamamu,” kata Masalah. “Tidak Masalah, itu hanya
sementara saja, setelah ini pasti manusia akan menerima keberadaanmu dan aku
dalam kesedihan mereka,” kata Stres. “Masalah, Stres apa yang sedang kalian
bicarakan? Akulah yang kalian butuhkan saat kalian berada dalam kemurungan,”
ucap Depresi. “Tapi, maaf aku tidak
nyaman dengan kalian, aku tidak tenang hidup berdampingan dengan kalian,” ucap
Masalah.
Dengan
seketika Motivasi datang ke Masalah. “Mengapa kau datang Motivasi? Masalah
tidak membutuhkanmu,” jawab Depresi. Motivasi tidak menghiraukan perkataan
Depresi dan halangan dari Stres. Motivasi mencoba memanggil Masalah yang tengah
disembunyikan oleh Depresi dan Stres. Akhirnya ia menemukan letak Masalah.
Motivasi mencoba berbicara dan melakukan pendekatan dengan Masalah, memberi
satu kunci keberhasilan agar ia dapat tenang di tengah manusia yang selalu
menyalahkan kehadirannya. Motivasi mencoba membawa pergi Masalah ke satu tempat
di mana ia tinggal dan hidup dengan tenang dan tanpa bayang-bayang Depresi dan
Stres.
Supply &
Demand : Tragedi Harga
Erick E.A.
(315703/FEB)
Pada
suatu waktu di sebuah kota yang makmur bernama kota kurva, hiduplah dua orang
kakak beradik yang sangat berpengaruh di
negeri itu. Sang kakak bernama Demand. Sejak kecil, Demand memang telah menjadi
anak kesayangan banyak orang. Dia tampan, pintar, gagah, dan selalu menjadi
idaman wanita. Saat beranjak dewasa Demand yang memiliki jiwa sosial tinggi
menjadi kepala polisi di kota itu. Prestasinya pun luar biasa. Dia selalu
berhasil menumpas kejahatan yang terjadi di kota Kurva. Sementara itu adiknya,
Supply, sejak kecil memang anak yang nakal. Dia suka menggoda teman – temannya,
mencuri uang belanja ibunya, dan berbagai kenakalan lainnya. Tak heran setelah
dewasa Supply terjerumus kedalam lembah hitam. Mulai dari narkoba, perampokan,
sampai pembunuhan semua pernah dilakukannya. Supply pun menjadi pimpinan
gembong mafia paling berkuasa di kota itu.
Demand selalu berhasil menggagalkan
rencana – rencana jahat Supply sehingga equilibrium kota dapat selalu terjaga
dan kota dapat selalu aman terkendali. Namun Supply pun tak putus asa, dia
selalu mencoba berkali – kali rencana – rencana jahatnya. Pun demikian dengan
Demand, dia tak kenal lelah menumpas rencana – rencana jahat Supply. Suatu
kali, ketentraman kota kurva berubah seketika. Hal ini berawal dari kedatangan
Price. Price adalah teman Demand dan Supply semasa SMA. Dia baru saja pulang
dari luar negeri untuk belajar ilmu ekonomi. Dulu Demand begitu menyukai Price.
Dia tergila – gila akan kesederhanaan, kecantikannya yang alami, dan
keramahannya. Namun alangkah kagetnya Demand ketika melihat Price yang telah
berubah. Sekarang Price senang berbusana mahal, dia menyukai gaya hidup glamor,
dan tingkah lakunya sudah bak artis ternama. Melihat itu perasaan Demand pun
mulai hilang ketertarikannya akan Price pun menurun. Tapi hal ini berbanding
terbalik dengan Supply. Dulu Supply memandang Price dengan sebelah mata. Price
yang dulu terlalu “culun” baginya. Kesederahaan Price dianggap tak sesuai
seleranya. Namun sekarang berbeda. Perubahan Price membuatnya tergila – gila.
Perhatian Supply pada Price menjadi meningkat.
Permasalah muncul ketika Supply tahu
bahwa Price hanya menyukai Demand sejak dulu. Apapun yang dilakukan Supply
untuk menarik perhatian Price selalu menemui kegagalan. Akibatnya pun fatal.
Amarah Supply pada Demand memuncak, ditambah dengan keberhasilan Demand yang
selalu dapat menggagalkan rencana jahatnya. Supply pun mendatangi rumah Demand,
berpura – pura hendak meminta maaf. Namun apa daya, amarah telah menguasai
Supply. Ia tidak lagi mempedulikan fakta bahwa Demand adalah kakak kandungnya.
Diambilnya sebilah pisau dari balik jaket kulitnya. Supply pun gelap mata. Ketika
Demand lengah, ditikamnya dia dari belakang, tak cukup sampai disitu,
ditikamnya kembali Demand berulang – ulang. Untuk menghilangkan jejak, Supply
menyembunyikan jasad Demand di dalam lemari es. Tak ada yang mengetahui
keberadaan Demand semenjak hari itu.
Setelah meninggalnya Demand keadaan
menjadi sangat kacau. Supply seperti menjadi penguasa kota. Apapun yang
dikehendakinya, harus dan pasti terlaksana. Kejahatan hampir dapat ditemui di
setiap penjuru kota. Perampokan, penjarahan, seperti menjadi pemandangan biasa.
Pak HM selaku walikota pun tak mampu lagi berbuat apa–apa. Sekarang kota Kurva
sudah tidak akan lagi mengenal keadaan ekuilibrium.
Menggali
Inspirasi dari dalam Diri
Sebenarnya,
kalau bisa dibangkitkan dan diolah, inspirasi itu menumpuk dalam diri kita.
Berikut ini beberapa contoh sederhana ketika saya terinspirasi oleh sesuatu dan
kemudian mencoba mengolah serta mengekspresikannya dalam tulisan yang juga
sederhana.
MENCIPTA DUNIA MULIA MELALUI DUNIA KATA
Heru Marwata
Kata merupakan
unsur bahasa yang sangat penting. Kata merupakan sarana untuk menyatakan semua
konsep, ide, dan atau gagasan. Dengan kata-kata kita berpikir, menyatakan
perasaan, menyampaikan informasi, dan mengemukakan gagasan. Kata-kata dapat
menjadi sarana menjalin persahabatan, mengadakan perjanjian, mencapai kerja
sama, dan lain-lainnya, tetapi kata-kata juga dapat menjadi pemicu kerusuhan,
peperangan, dan kejadian-kejadian buruk lainnya. Pernahkah Anda
bayangkan betapa sulitnya orang berkomunikasi seandainya tidak ada kata-kata?
Apa yang Anda lakukan untuk menyatakan isi hati Anda seandainya tidak ada kata
CINTA? Bisakah Anda hidup dalam dunia tanpa kata?
Kata dan
kata-kata bisa dikatakan dengan kata-kata. Kata yang BENAR dapat menyebabkan
KEBENARAN demikian BENAR dan BENAR-BENAR dapat DIBENARKAN menurut ukuran
KEBENARAN yang mana pun. Namun, kata yang SALAH dapat menyebabkan KESALAHAN,
perilaku SALAH, tindakan SALAH, dan bahkan silang sengketa berkepanjangan.
Benar dan salah juga bisa dikata-katakan.
Kata begitu berguna. Kata begitu berjasa dalam kehidupan kita. Oleh karena itu,
manfaatkan kata-kata secara maksimal sehingga Anda mendapatkan faedah darinya.
Akan tetapi, berhati-hati pulalah mempergunakannya karena kata memiliki
kekuatan yang kadang-kadang tidak kita duga atau kita bayangkan.
Seorang pemuda menabrak kereta api yang dikiranya tumpukan jerami hanya karena
baru saja mendengarkan sebuah kata dari pujaan hatinya. Kata yang baru saja
didengarnya adalah PUTUS. Seorang mahasiswa semester 5 tiba-tiba saja mengambil
uang cukup banyak lewat ATM dan menraktir teman-teman pondokannya hanya karena
baru saja menerima SMS yang berisi satu kata saja. Kata itu berbunyi YA,
sebagai jawaban atas pertanyaan ”Maukah kau jadian denganku?” yang
diajukannya kepada teman seangkatannya. Itulah kata. Kadang-kadang penuh makna.
Kadang-kadang penuh misteri. Kadang-kadang demikian gamblang, tetapi
kadang-kadang demikian remang. Sungguh, dunia kata adalah dunia yang
kadang-kadang penuh tanda tanya. Yang jelas, kata-kata kadangkala demikian
dahsyat pengaruhnya.
Satu kata yang berbunyi SERANG, misalnya, dapat menyebabkan puluhan, ratusan,
bahkan ribuan nyawa melayang. Satu kata yang berbunyi BAKAR, misalnya, bisa
menyebabkan orang, rumah, pertokoan, bahkan kawasan yang cukup luas
berkobar-kobar dan bahkan berubah menjadi bara dan abu. Siapa yang tidak takut
dicap melakukan tindakan SUBVERSIF pada rentang waktu antara tahun 70-an hingga
90-an? Namun, konon, sebuah orde yang pernah berjaya di negeri ini juga tumbang
hanya karena banyak orang meneriakkan kata REFORMASI di jalan-jalan. Kata MONARKI pernah
menjadi bahan diskusi hangat setelah diucapkan SBY (saat itu masih menjadi
Presiden RI) dalam konteks Keraton Yogya dan menimbulkan masalah baru. Demikianlah, kata (kata-kata) begitu hebatnya.
Banyak hal positif bisa dibangkitkan dengan kata-kata. Sebaliknya, banyak pula
hal negatif bisa dimunculkan lewat kata-kata. Terlepas dari kemungkinan
penggunaan yang salah, orang yang menguasai kata akan mampu menyampaikan
informasi secara lebih baik, mampu mengomunikasikan gagasan secara lebih tepat,
dan mampu mengolah serta mendayagunakan kata-kata sedemikian rupa sehingga
kata-kata itu seolah selalu "membantu" dan "berpihak"
kepadanya. Kata adalah pencipta suasana. Kata (kata-kata) bisa menyebabkan
orang menangis, marah, bahagia, bahkan bunuh diri. Mengapa tidak kita pakai
kata untuk kebaikan?
Jadi, mari kita mencoba masuk ke dunia kata, kita kenali
wilayahnya, kita jelajahi arti dan maknanya, kita kuasai seluk beluknya, dan
kemudian kita berdayakan segala potensi yang ada agar lebih bermanfaat dalam
usaha mulia MENCIPTA DUNIA YANG LEBIH BERMARTABAT. Setuju?
Mari kita galang semangat untuk
bersama-sama membaca mantra sakti agar kata-kata tidak pernah meninggalkan kita
BULANKU
BULANMU BULAN MADU KITA
Oleh Heru
Marwata (Album, dari FB) · Diperbarui lebih dari setahun yang
lalu · Diambil di GZ ·
BULANKU
BULANMU BULAN MADU KITA
Istriku, sore tadi kupotret bulan. Cantik
di langit Guangzhou, tersenyum di atas Baiyunshan. Ronanya sungguh menggoda,
mengingatkanku padamu nun jauh di sana. Bulan itu, tentu saja bulan yang sama
dengan yang biasa kita tatap di langit Yogya saat kita berjalan-jalan
bergandeng tangan menyusuri masa dalam bahtera cinta. Menari-nari dia di lautan
mega dan mengirimkan sinyal kangen yang biasa kita rasakan saat tak jumpa.
Istriku, sore tadi kuabadikan purnama di
langit China. Ketika kutarik di antara perbukitan Awan Putih, ia mengikuti arah
kakiku dan mengajak bersenda gurau. Kutaruh di antara tiang lampu, dia tetap
anggun. Kujadikan penghias di ujung penyangga neon, dia tetap tersenyum.
Kusembunyikan di balik pohon, dia tetap memesona dengan tebaran sinarnya. Aku
geser ke atap wismaku pun dia senantiasa meraja angkasa.
Istriku, bulan itu bulanku, bulanmu, dan bulan madu kita. Dia mengirim banyak berita tentang kerinduanku dan keinginanmu untuk segera bertemu, memadumaknai perjumpaan kita agar bertambah manis. Bulan itu, istriku, bulanku, bulanmu, bulan madu kita.
Istriku, pasti tak banyak yang bisa kukatakan karena kata-kata kadang tak mengatakan apa-apa dan justru saat kita tak saling berkata-kata, terasakan semua makna yang biasa dilabuhkan kata-kata. Perjumpaan adalah kata-kata yang akan mewakili segala rasa yang bersemayam di masing-masing sanubari dan pikiran kita. Bulan itu, bulanku, bulanmu, bulan madu kita.
Istriku, aku menunggu dan kau menunggu, dan hanya pertemuanlah yang mengakhiri setiap penantian. Istriku, bulan itu kan kupersembahkan untukmu sebagai hadiah atas kesabaran dan penantianmu. (HM, Guangzhou, 1/2/11)
Lebaran di Negeri Orang
CATATAN KECIL UNTUK ISTRI DAN
ANAK-ANAKKU DI YOGYA
oleh Heru Marwata pada 10 September 2010 jam 8:27
Istriku, anak-anakku,
lebaran kali ini pastilah berbeda dengan biasanya. Jika biasanya pagi-pagi kita
saling membangunkan, ngopyak-ngopyak, kali ini kalian saling opyak bertiga
tanpa aku. Jika biasanya kita berempat pergi ke Lapangan SD Deresan atau
Halaman Masjid Nurul Ashri Kompleks Perumahan Dosen UNY, kali ini kalian pergi
bertiga.
Jika sehabis sholat ied kita
pulang bersama, kali ini aku tidak menemani kalian. Jika sesampai di rumah kita
berempat saling berjabat tangan dan berpelukan serta saling memaafkan, nanti
kalian bertiga saja melakukannya. Setelah itu kita akan makan bersama dengan
menu andalan kupat dan opor ayam, dan nanti kalian akan makan bertiga tanpa
aku. Paling-paling aku hanya akan memeluk kalian dan kemudian makan bersama
lewat kamera.
Istri dan anak-anakku,
lebaran kali ini memang beda. Ketidakhadiranku di antara kalian pasti membuat
suasana menjadi lain. Demikian pula ketidakhadiran kalian di sampingku. Cerita
memang harus bervariasi. Kisah tak harus selalu sama. Jalan juga tak harus yang
itu-itu saja. Aku yakin Tuhan telah mengaturnya. Bukankah dengan begitu kita
justru saling merasakan makna kehadiran kita? Bukankah dengan begitu kita
justru makin merasakan bahwa kita saling membutuhkan? Bukankah dengan begitu
kita justru makin menyadari bahwa kita saling melengkapi.
Pasti semalam Yogya penuh
gema takbir, sementara di sini tak sekali pun kudengar selain yang kulantunkan
sendiri dalam hati. Pasti semalam Yogya hiruk pikuk menyambut lebaran,
sementara di sini “sepi di dalam, sepi di luar” (meminjam istilah seorang
penyair). Dunia memang berbeda-beda. Berbagai belahan bumi juga macam ragam
ceritanya. Yogya nanti penuh orang saling kunjung mempererat tali silaturahmi,
di sini biasa saja, semua biasa saja (meminjam cuilan lagu Indonesia).
Beruntunglah bahwa beberapa hari yang lalu aku sudah mendapatkan SMS Pak Achmad
Dahlan dari KJRI Guangzhou:
“Warga Indonesia Yth., Harap
hadir dalam acara OPEN HOUSE / Lebaran, Jumat 10 September 2010 di Wisma KJRI
pukul 11.30—15.00. NB: Disediakan bus antaran yang siap di Dong Fang Hotel jam
10.30.”
Alhamdulillah, dengan
semangat mudik yang menyala, pasti nanti aku akan memenuhi undangan yang sangat
simpatik itu.
Bagaimanapun, bertemu sesama
orang Indonesia di rantau memang terasa beda. Sesama perantau biasanya bisa
menjadi demikian akrab. Apalagi pasti nanti hampir semua hidangannya Indonesian
Cuisine. Bertemu dengan teman-teman Indonesia, berbicara dengan bahasa
Indonesia dan Jawa, menyantap masakan Indonesia: pastilah ini dapat mengurangi
kerinduan pada keluarga. Di rantau semua orang menjadi keluarga, keluarga
besar, begitulah.
Istri dan anak-anakku,
baik-baiklah kalian di rumah. Istriku, insya Allah nanti aku juga akan
merasakan opor ayam meskipun pasti tidak sedahsyat masakanmu yang kautambah
dengan ramuan cinta dan bumbu pesona. Anak-anakku, nanti aku pasti bertemu
dengan anak-anak Indonesia (yah, sebagian besar memang anak-anak remaja usia
sekolah/kuliah dan aku pasti masuk kategori tua), seperti kalian juga, bedanya
aku tak bisa memeluk mereka seperti memeluk kalian (lha neh geger), tetapi
lumayanlah untuk memupus kerinduanku pada kalian. Baik-baik kalian di rumah ya.
Kalau bisa bersilaturahmi ke sanak famili handaitaulan ya baguslah, yang
penting minimal ke Bapak/Ibu dan Kakek/Nenek. Kalian juga harus saling
memaafkan satu sama lain. Berpelukan!! Kompak. Ok?
Istri dan anak-anakku, aku
juga harus bersiap-siap nih. Perlu waktu sejaman untuk sampai Dong Fang Hotel
dari kampus GDUFS. Kita ketemu lagi nanti ya. Peluk sayangku untuk kalian
bertiga.
Guangzhou, 10 September 2010
selamat pagiiiiiii kekasihku
adakah teh hangat di cangkir cintamu
yang kau ramu dengan segenap rindu
dan kata-kata memanja
untuk melulur lidahku
... dengan kecipak bibir
yang saling berpagut
di sini aku sendiri
merenda sepi
menjadi janji
untuk menggenapkan pelukku
atas kuasa tubuhmu
dan menenggelamkannya
dalam gairah
yang membakar
(Gz, 16/1/11)
adakah teh hangat di cangkir cintamu
yang kau ramu dengan segenap rindu
dan kata-kata memanja
untuk melulur lidahku
... dengan kecipak bibir
yang saling berpagut
di sini aku sendiri
merenda sepi
menjadi janji
untuk menggenapkan pelukku
atas kuasa tubuhmu
dan menenggelamkannya
dalam gairah
yang membakar
(Gz, 16/1/11)
TEMBANG RINDU
BUAT KEKASIHKU DI RUMAH
pagi buta
kekasih membuatku menggelegak dahaga
katakan padaku
sayang, dengan bahasa kalbu
bahwa aku bisa
mereguk teh hangat dari bibirmu
atau menyeruput
kopi manis dari lidah panas yang membelai di mulut magmamu, dan katakan sayang,
bahwa kau akan menyediakan minuman paling mesra di seluruh tubuhmu
kekasihku
kurasakan
gesekan angin saat kau mendekat
ada getar bara
yang tidak biasa
menyuruhku
terdiam dan aku pun patuh
luruh aku
karena mantra rindumu
membelai
kedalaman isi dadaku
aku menerimamu
kekasihku
menerima asupan
kangenmu
dengan
menyerahkan tubuhku untuk kau jelajahi
menuntaskan
laparmu dan
dahagaku
dalam
berkali-kali tegukan dan kunyahan
memaknai kata
saling
dalam gemulai
tarian pagi
menghabiskan
malam tanpa sisa
tanpa kata-kata
dahaga telak
dan lapar yang mengerak
kita selesaikan
di anyaman
kasih
di balik
kelambu penuh cinta
kekasihku
aku
menginginkanmu
tanpa syarat
apa pun
dan kuberikan
duniaku
padamu
dengan gaya
serupa
(HM, Gz,
9/1/11)
AKU
INGIN MENGEMBARA LAGI (link ke video baca puisi)
Aku
ingin mengembara lagi.
Menyusuri
gua-gua gelap dan rawa-rawa perawan.
Melabuhkan
setiap hasrat.
Menderaikan
rindu-rindu tak terlerai.
Mengibarkan
panji-panji cinta di antara pucuk-pucuk cemara.
Menyematkan
embun kasih di dahan-dahan melodi.
Aku
ingin mengembara lagi.
Menjejaki
alur-alir yang lama kutinggalkan.
Menikmati
sensasi penemuan dan pertemuan.
Menghirup
harap dalam kilau cahaya hati.
Merapatkan
diri dalam setiap dekapan alam.
Menceburlabuhkan
setiap luka dalam telaga warna senja.
Aku
ingin mengembara lagi.
Merunuti
terjalnya tebing kehidupan.
Menangkap
esensi pesan semesta.
Menandai
setiap keberadaan di bebatuan.
Mengguratkan
sisa-sisa kisah di dedaunan.
Merayakan
kecipak degup dada yang menggema.
Saling
melekatkan jiwa pada jagat raya.
Bersama-sama
memuja udara yang meniupkan kebebasan.
Aku
ingin mengembara lagi.
Merantai
ruh-ruh penjelmaan.
Menadirkan
pencarian semu.
Melipatgandakan
kerosak jalur nadi.
Mengombakalunkan
liuk-liuk aliran darah.
Memanaskan
titik-titik api di setiap sendi.
Meneriakkan
nama kesayangan di sudut-sudut perhentian.
Menyibabkan
perdu di deret jalur perburuan.
Aku
ingin mengembara lagi.
Sebebas
awan menebar angkasa.
Sebebas
burung memilih bunga buah dan pasangan.
Aku
ingin mengembara lagi.
Aku
ingin mengembara lagi.
(HM,
Yk, 20 Juli 2011)
SERANGKUM
CAHAYA TEKUR KATA
(Heru
Marwata)
bilik
bintik ragu itu
membuka
kunci-kunci yang lama terpateri
menghilangkan
kerak dan karat besi
menjadikannya
lorong yang benderang
mengarahkan
harap dan titik pandang
dalam
seleret cahaya
antara
dulu kini nanti
kerlap
kerlip kunang itu
mengisi
derai derap hati
mengguratkan
gejolak
menjadikannya
cita
menyatukan
visi dan jati diri
dalam
serangkum senyum
menghias
bibir di kulum
aku
menengarai rupa
memujanya
menjadi raga
ke
nadinya kutiupkan jiwa
menyulut
arti
merangkai
makna
membingkai
jantera
dalam
tekur rindu sesama
ingin
aku
menumpah
segala rasa
menyatukan
angan cita
mengristalkan
butir bulir sinar
dalam
genggaman
tak
terlerai
kita
(Yk,
16 April 2012)
::::::mereguk sepertiga gelas malam dalam merah anggur yang
menawarkan segala cercap dahaga::::::mari saling melontar kata senyampang pagi masih
dalam pelukan kisah:::::mari kita putar bola mata dunia sambil mengeringkan
cawan-cawan memori:::::kita bubuhkan pesona dalam setiap pusaran rindu:::::kita
rajut wangi dalam semua madu bunga:::::perlahan kita petik dawai bahasa
cinta:::::dalam dekapan::::: (HM, YK, 9 Juni 2012)
AKU BERIKAN NAMA PADANYA
Aku berikan nama padanya: nafsu
Aku sertakan beberapa alat penciptaan
Juga sarana untuk melanjutkan kehidupan
Agar regenerasi berjalan utuh dan sempurna
Lalu aku tiupkan ruh untuk melengkapi jasadnya
Agar ia mampu mandiri memikul beban perburuan
Aku berikan nama padanya: hasrat
Aku sertakan juga rem dan lencana kaca
Agar ia bisa berhenti dan juga melihat dirinya
Barangkali itu akan menyelamatkan tempuhannya
Menembusi gemuruh ombak dari segenap samudera
Atau mengayuh nafsu dari tengah dalam ke arah tepian
Aku berikan nama padanya: keinginan
Aku sertakan beberapa nafsu dan juga hasrat
Untuk menemaninya melenggang di jalur perpacuan
Menemukan diri, teman, kekasih, dan gadis, atau
perawan
Agar bisa selalu bercengkerama, bercumbu, dan
bersanggama
Lalu bersama menukikkan sayap dengan ujung paruh yang
terasah
Aku berikan nama padanya: cinta
Aku sertakan di mukanya berlembar pesona
Agar ia menemukan nafsu, hasrat, dan keinginan
Untuk memadukan sukma dan menciptakan dunia baru
Dalam lingkup peraduan, ranjang, serta hamparan
pemujaan
Kemudian bersatu memanjatkan doa memohon tumbuh tunas
hijau
Aku berikan nama padanya: kamu, ya kamu
Agar menemukan diriku sebagai pasangan: bagimu
Dengan nafsu kita berlomba mengekang hasrat, atau
membiarkannya
Dengan hasrat kita berlomba mengekang keinginan, atau
menggelorakannya
Dengan keinginan kita berlomba mengekang cinta, atau
memanasbakarbarakannya
Dengan kamu selalu menjadi istimewa karena ada nafsu,
hasrat, keinginan, dan cintamu
(Gz, 24/12/10)
Pada saat sedang ingin berkata-kata tanpa makna untuk
menyempurnakan PERBURUAN PAGI, aku menulis ini.
Aku sedang menyetubuhi pagi bersamamu, menikmati erangan rona yang
terpancar dari bibirmu, mendengarkan jerit kerinduan yang paling rumit,
mengelopakkan asmara di dadamu, mengembarakan layar imajinasi menjelajahi
tubuhmu, mereguk cinta panas surya yang kau tebar lewat desah nafas dan denyut
pemijat surgamu, menggeleparkan bara janji untuk saling mencumbu, mengibarkan
panji kutang kekasih, memasuki alam bawah kawahnya, merengkuh segala puja,
mencipta lenguh peradaban sempurna, memacu ujung hasrat runcing menembus kulit
dan daging, mengisap semesta jagat raya yang kau sajikan di antara kedua
pualammu, dan melesakkan semua lewat pandang mata berkelanjutan ke sentuhan,
jamahan, dan persanggamaan: bersamamu memang tiada 2, dan kita salah 1 atau
menjadi satu-satunya. Selalu begitu, kekasihku, bayang paling ranum di kebun
buah khayalku. Teruskah? Aku mengharapnya, dan imaji kita akan selalu sama atau
bertemu di setiap sudut keinginan yang kita bangun sepanjang perjalanan. (Gz,
24/12)
Tak BANYAK
orang yg bisa menerima KEKALAHAN
dg LAPANG DADA.
Kalau bisa melakukannya,
kau termasuk yg SEDIKIT jumlahnya.
Tak BANYAK
orang yg bisa menerima KENYATAAN
dg LAPANG HATI.
Kalau bisa melakukannya,
kau termasuk yg SEDIKIT jumlahnya.
Tak BANYAK
orang yg bisa menerima KESEMPITAN
dg KEBESARAN JIWA.
Kalau bisa melakukannya,
kau termasuk
yg akan mndpat
BANYAK KESEMPATAN.
Insya Allah.
(Gz-19/10/10)
orang yg bisa menerima KEKALAHAN
dg LAPANG DADA.
Kalau bisa melakukannya,
kau termasuk yg SEDIKIT jumlahnya.
Tak BANYAK
orang yg bisa menerima KENYATAAN
dg LAPANG HATI.
Kalau bisa melakukannya,
kau termasuk yg SEDIKIT jumlahnya.
Tak BANYAK
orang yg bisa menerima KESEMPITAN
dg KEBESARAN JIWA.
Kalau bisa melakukannya,
kau termasuk
yg akan mndpat
BANYAK KESEMPATAN.
Insya Allah.
(Gz-19/10/10)
Tidur adalah bangunan paling nyaman untuk ditinggali,
kasur adalah mimpi paling indah untuk diulangi, kamu adalah wanita paling laut
untuk dilayari, dan aku adalah nakhoda paling jago di muka bumi (hahaha kalau
nggak ada lainnya lho ya, hei cowok-cowok nggak usah sewot, cuman gitu aja kok
repot) (19/7/10)
Jantung tak prnah mngeluh ktika hrus slalu
berdenyut memompa darah ke sluruh tubuh. Darah tak prnah mngeluh ktika hrs bkerja
mngangkut nutrisi ke smua bagian badan. Nutrisi tak prnah mngeluh ktika hrs
dikonsumsi mnjd asupan penopang kehidupan: jiwani & ragawi. Kehidupan tak
prnah mngeluh, bhkan ktika hrs mnanggung bgitu banyak beban. Lalu aku bertanya
(“karo rada maido”), “Ah, masa’ sih? Nyang buuener?” (HM, Gz, 16/9/10)
Jika mata tak ingin melihat, biarkan ia
terpejam, siapa tahu dalam pejamnya justru ia mampu membaca lebih banyak
daripada yang dilihatnya. Jika hati tak ingin merasa, biarkan ia berdiam diri,
siapa tahu dalam heningnya justru dia menemuretaskan perasaan semesta. Jika
jiwa tak ingin mencerna, istirahatkan dia, siapa tahu justru dalam diamnya ia
menembus batas rentang & gelora masa yang tiada terhingga. Apa pun pasti
ada hikmahnya. Jadi, nikmati & syukuri semua agar mata, hati, &
jiwa kita menjadi tenteram. (Gz, 13/10/10)
MENGHADIRKANMU
DALAM MIMPIKU
“Adakah
mimpi yang belum kau wujudkan?”
tanya
malam suatu siang.
Aku
berhenti berpikir
karena
pikir kadang jauh dari mimpi.
“Kenapa
kau diam?”
kembali
malam bertanya.
Saat
itu sudah menjelang sore.
Kembali
pula aku behenti merenung
karena
renung kadang jauh dari mimpi.
“Apakah
kau ingin mewujudkannya bersamaku?”
malam
kembali bertanya.
Kali
ini nadanya demikian tegas.
Saat
itu memang tepat untuk menuju peraduan.
Aku
berhenti berharap
karena
harap kadang juga jauh dari mimpi.
“Baiklah,
aku akan menemanimu malam ini”,
kata
malam memecah keraguanku.
Aku
berhenti melangkah,
menengadah
ke langit,
memanjat
doa,
dan
melanjutkan perjalanan.
Entahlah
ke
mana ruh membawa diri.
Ketika
pagi menjelang,
aku
terbangun
dalam
tiga usapan mata.
Kudapati
salah satu mimpiku
menjadi
nyata.
Apakah
itu?
MENGHADIRKANMU
DALAM MIMPIKU. (HM, Gz, 14/10/10)
SATU RASA DUA
DUNIA
Oleh: Heru
Marwata
Setali tiga
uang adalah ungkapan dari duniaku. Juga dua sisi satu mata uang. Artinya, semua
sama saja, dan keduanya tak terpisahkan. Jangan tanya mana yang lebih tepat.
Itu sangat tergantung. Begitu juga dunia, yang konon teramat dahsyat, yang
sayang hanya kukenal sepotong kecil, yang sayang juga hanya yang dekat-dekat
dengan diriku, sebagai sebuah pribadi. Namun,
yang sepotong itu pun rasanya tak muat menjejali benakku, menyesaki
otakku. Juga potongan dunia yang satu ini, yang tidak aku kenali secara ragawi,
tetapi aku jelajahi secara jiwani, yang mengawali ‘potongan’ kisah ini.
Seperti
kebiasaanku kalau mulai bertutur kata, apalagi yang berbau susastra, kupilih pilahlah
kata yang menurutku enak didengar.
Saat itu aku
sedang berjalan di antara tegak dan hijaunya pohon cemara. (Sekali lagi,
sengaja kupilih pohon cemara karena konon lebih puitis daripada pohon pisang,
dan lebih merdu daripada deretan pohon melinjo atau rumpun-rumpun salak pondoh.
Itulah yang terjadi kalau memori sudah telanjur tercekoki oleh bait-bait puisi
dan baris-baris melodi dari dunia sastra. Semua serba harus ditimbang, tidak
realistis, terlalu sok egoestetis. Munafik!)
Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja (aku memang suka mengawali
kisah dengan mesin dewa-dewa dari Yunani kuno, biar saja dicap jelek atau lemah
oleh para strukturalis) ada seorang gadis yang memegang tanganku erat sekali
dan kemudian melayang membawaku terbang di antara awan-awan serta membeberkan
kisah lain dari dunia yang berbeda.
Mas, aku tahu istrimu cemburu.
Oh ya, dari mana
kau tahu?
Itulah
instingku sebagai wanita.
Tapi, kamu kan
cuman ciptaanku, kreasi, tiruan dunia ide, bohong-bohongan, karanganku.
Ya
justru itulah kelebihanku. Aku telah berkembang melampaui imajinasimu.
Oh ya?
Bagaimana caranya?
Aku
tumbuh suburkan semangat mimetikku dengan menyemaikan seluruh benih gagasan
yang kau tuangkan ke benakku.
Wauw (mestinya
sambil koprol 69x) ... hebat sekali. Apa kau lebih pintar dariku?
O,
tentu tidak. Sepandai apa pun aku dan semenjulang apa pun imajinasi yang dapat
kubangundiritegakkan di dunia angan, sesungguhnya tak akan pernah melebihi
ketinggian khayalmu mengembangkan dunia maya yang aku labuhi.
Tapi, kau tahu
istriku cemburu.
Ya,
itu hanya gagasan balasan atas kisah yang kau jalankan atasku.
Maksudmu?
Aku
begitu istimewa di matamu, kau begitu mengagungkan cintaku, kau menempatkan aku
di relung terdalam dan termanis romantis di lubuk hatimu, siapa yang tak kan
mencemburuiku, Mas?
Lho, sebentar,
itu kan relung hati laki-laki yang kuciptakan untukmu, bersamamu, itu tidak
nyata, itu bukan aku.
Ya,
kau boleh bilang begitu, tetapi coba tanyakan ke hati nuranimu. Temukan jawaban
pertanyaanku, apakah kau tak berharap istrimu seperti aku?
Ya ... ya,
memang, kau adalah istriku dari dunia ide.
Nah,
ngaku kan?
Tapi, istriku
tak pernah membaca karyaku, bagaimana ia tahu?
Kamu
salah Mas, kau suntuk membuat kisah kasih dan jalan hidupku kan? Kau
menghabiskan banyak waktu untukku kan? Bahkan, kau mengenali setiap lekuk liuk
kecil dalam detail jiwa ragaku kan?
Iya memang,
tetapi kan istriku tidak tahu?
Kamu
salah lagi Mas, di mana kau simpan aku?
Di flash disk.
Lalu,
di mana lagi?
Di hard disk,
kepingan CD, tapi istriku tidak pernah
membuka file-file simpananku.
Iya
memang, lalu di mana lagi Mas?
Di mana ya ...?
Tidak ada lagi. Hanya itu.
Salah
Mas, salah lagi, kau simpan
juga aku dalam mimpimu.
Tidak! Jangan
mengada-ada ya!
Akuilah
Mas, dua hari yang lalu apa yang kau lakukan dengan istrimu?
Biasa, kami
bercumbu, bermesra, bercinta, itu biasa, minimal memang satu atau paling telat
dua hari sekali kami harus melakukannya, santapan rohani, pupuk gairah jiwani,
rutin, bahkan otomatis seperti mesin. Kata temanku itu artinya sama dengan
memperbarui cinta. Lalu, kenapa? Apa hubungannya?
Ya
itulah .... Mas.
Iya, kenapa?
Ingat-ingatlah
Mas!
Gak ada
apa-apa. Biasa. Normal. Tak ada masalah.
Andai
kau rekam Mas, pasti kau tahu?
Iiiihhh gila.
Bocor sampai internet bisa kacau duniaku, karierku, rumah tanggaku, ih
amit-amit.
Coba
ingat lagi. Ini PR untukmu, Mas.
No way. Tidak
ada PR-PR-an. PR adalah yang biasa aku berikan pada tokoh-tokoh imajinerku.
Nah,
giliranmu Mas, sekarang coba rasakan beban PR yang biasa kau berikan kepada
kami.
Kami? Kalian?
Ya,
kami, aku, dan insan-insan imajiner ciptaanmu lainnya.
Tidak, katakan
saja, Nur, jangan bikin aku penasaran.
Nah,
itu sudah kelihatan kan?
Apanya?
Mas
panggil aku apa?
Nur, memang
kenapa?
Mas
panggil istri Mas apa?
Ma, Nurma, gak
aneh kan?
Aneh
dong ...
Apa yang aneh?
Nur
dengan Ma atau Nurma ya jelas beda kan Mas.
Tidak!
Jujurlah
Mas, itu sangat beda.
Lalu, kenapa?
Istri
Mas itu sangat peka, sangat sensitif, ia adalah belahan jiwa, tahu banyak
tentang jiwa yang belahan satunya.
Perubahan kecil saja pada Mas pasti terasakan, terdeteksi, Mas, oleh
radar-radar tercanggih ciptaan-Nya.
Meski hanya Nur
dan Ma atau Nurma?
Ya.
Pasti!
Kok kamu tahu?
Aku
juga insan dari dunia Mas kan? Jadi, aku
juga banyak tahu. Termasuk ....
Termasuk apa?
Selera
Mas, dong!
Masak?
Iya.
Percayalah Mas, banyak sekali yang aku tahu karena sebagian besar pikiran Mas
itu telah tertuanglimpahruahkan ke
pikiranku.
Lho, kok bukan
ke pasanganmu dari dunia imajinerku?
Ya
itu, lewat dia dan lewat aku Mas. Lewat kami. Kami juga saling bersapa lho,
Mas.
Gila!
Kenapa
Mas?
Lama-lama aku
bisa hanya dan cukup bercinta denganmu, dong?
O, itu tidak mungkin, Mas.
Kenapa tidak?
Karena
aku maya Mas, maya, hanya seperti bayangan, seperti mimpi, padahal Mas suka yang nyata, kan?
Tapi dengan
tahu seleraku kan kamu bisa menyenangkanku?
Ya,
tapi itu kan hanya dalam pikiran Mas.
Lalu tadi kau
bilang istriku cemburu, bagaimana?
Ya
itu tadi, Nur, Ma dan Nurma. Berapa kali Mas membisikkan nama istri Mas ketika
bercinta?
Minimal 15 x,
dan kutambah dengan sayang.
Hahahaha
....
Kenapa tertawa?
Lho
ya jelas ketawa. Itu kan Mas di duniaku.
Tidak, eh
bukan!
Nah,
berarti sama kan?
Apanya?
Itu
tadi, minimal 15 x, ditambah kata sayang, persis kan?
Terus?
Ingat
Mas, Nur adalah wanita ideal Mas di dunia ciptaan Mas untuk laki-laki yang juga
ciptaan Mas, yang mungkin merupakan pangejawantahan Mas, sementara Ma atau
Nurma adalah wanita ideal ciptaan Tuhan untuk Mas di dunia nyata, di dunia
ciptaan-Nya.
Astaga.
Bukan
begitu Mas ungkapannya.
Apa?
Astaga
itu di duniaku. Di dunia Mas biasanya Mas bilang Astaghfirullah.
Ya, ya, campur
aduk.
Nah,
itulah yang membuat istri Mas cemburu.
Oh my God.
Ya
Allah, Mas.
Ya Allah ....
Nah,
begitulah. Lain kali hati-hati Mas.
Apakah berarti
aku harus atau telah menciptakan wanita khayalan persis istriku?
Ya
terserah Mas. Cuman, aku memang merasa seperti istri Mas lho.
Tapi kamu tidak
pernah MELAWAN, kamu kan manut saja seperti keinginanku. Itu berbeda Nur.
Ah,
masak. Aku juga sering melawan.
Tapi kan tidak
padaku?
Ah,
masak, lalu pada siapa?
Pada laki-laki
khayalanku.
Tapi,
siapa laki-laki yang Mas khayalkan itu?
Ya laki-laki
imajiner.
Seberapa
imajiner?
Sangat.
Oh
ya? Coba Mas ingat lagi semua hal tentang laki-laki yang menjadi pasanganku di
dunia ciptaan Mas itu.
Lalu ...
Ya,
ingat-ingat saja, mirip atau tidak?
Tidak, tidak
mirip.
Ya
pasti tidak mirip.
Nah, kan. Lalu?
Lha
iya jelas tidak mirip, lha wong persis kok, Mas. Plek!
Aku merenung,
membayangkan laki-laki imajiner yang kulemparlontarkan ke dunia yang
kuciptakreasikan dalam khayalanku untuk Nur. Aku runut namanya, asalnya,
kisahnya, ya ampun ..... ya, ya persis sekali. Mana bisa? Tapi, nyatanya memang
bisa, begitulah adanya. Mungkin benar kata pujangga bahwa kalau ingin menulis
mulailah dengan dunia yang paling kaukenali agar jalannya lancar dan mulus.
Benar juga, ya!
Aku selami lagi
dunia ideku. Aku tanyai setiap orang yang berpapasan denganku. Aku cari
informasi tentang aku dan tentang tokohku. Ajaib ... sungguh, plek, sama persis. Gila.
Bagaimana
Mas?
(Aku tak bisa
menjawabnya.)
Sama
kan?
(Aku masih
diam.)
Persis
kan?
(Aku tetap
membisu.)
Nah,
sekarang mau bilang apa?
(Aku tetap tak dapat
berkata-kata. Mataku nanar menatapnya. Wanita cantik yang membawaku terbang.
Rambutnya panjang, legam. Tingginya semampai, tetapi bukan semeter tak sampai,
lho. Degup jantungnya menggema. Denyut nadinya menggelinjang, membawa aroma
panas dan bara cinta. Senyumnya menggoda. Bibirnya merah, menantang
kejantananku (mungkin juga kejantanan setiap pria. Ssssst, istriku juga
kudapatkan setelah memenangkan pesona sekian banyak pria lho, hahaha ....), dan
kerlingannya, sungguh menghanyutkan aku di danau matanya yang biru, membawa aku
berlayar di samudera hatinya, memuncultenggelamkan aku dalam gelombang
cintanya, menghempaslemparkanku ke tepian, dan menyeretku lagi di tengah
kedalaman, lalu melontarkan anganku tinggi-tinggi melayang di antara bulan
bintang, merengkuhku kembali dalam ikatan yang nikmat, dan mendekap aku di
antara petir dan halilintar, mendekapku lagi dalam pusaran badai dan tiupan
taupan, berlayar, mengayuh, berenang, berpeluk lepas berdegup rampas, lalu
memasuki dunia mimpi para dewata, dewa-dewa cinta, dalam riak riuh rendah
aliran hangat darah merah anak cucu Adam-Hawa .... oh, siapakah kamu
sebenarnya? Nur, Ma, atau Nurmakah, sayang?)
Pondok Kanthil,
Jogja, Medio Oktober 2007
Contoh
Tulisan (Artikel) Untuk Surat Kabar
KIAT MENEMBUS
PTN
Oleh: Heru
Marwata
Pengantar
Pada tahun 1984 dikenal istilah
SIPENMARU (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Beberapa tahun kemudian
SIPENMARU berubah menjadi UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Setelah
itu, tamatan SMU yang ingin melanjutkan
ke PTN (Perguruan Tinggi Negeri) mengikuti SPMB (Seleksi Perimaan Mahasiswa
Baru). Khusus untuk masuk UGM, tahun ini lulusan SMU bisa mengikuti UM (Ujian
Masuk) dan SPMB. SIPENMARU, UMPTN, SPMB, dan UM bertujuan menjaring lulusan SMU
yang berkualitas. Berkaitan dengan itu, pertanyaan berikut dapat diajukan.
Benarkah lulusan SMU yang lulus ke PTN
hanya yang berkualitas? Apakah standar kualitas yang dimaksud? Dapatkah peserta
ujian mengecek kualitas dirinya secara dini? Adakah cara yang dapat dipakai
oleh peserta tes untuk memprediksi kans keberhasilannya? Apakah yang sebaiknya
dimiliki peserta tes agar mampu bersaing?
Persaingan
dan Kiat Jitu
Satu hal yang harus dicatat oleh lulusan
SMU adalah makin ketatnya persaingan untuk memasuki PTN. Ketatnya persaingan
itu diakibatkan oleh banyaknya jumlah lulusan/peminat (mencapai ratusan ribu)
dan relatif tetapnya daya tampung PTN (hanya puluhan ribu). Oleh karena itu,
seleksi masuk PTN memiliki nilai prestisius. Artinya, lulus ujian PTN, apalagi
PTN terkenal, merupakan prestasi yang membanggakan. Bahkan, kadang ada yang secara ekstrem menganggap
lulus ujian PTN sebagai awal langkah sukses dalam menapaki salah satu
"proses kehidupan" akademik dan karier.
Tingkat persaingan di atas harus
dipahami oleh peserta ujian. Tidak dapat disangkal bahwa sampai saat
ini--meskipun PTS bermutu semakin banyak jumlahnya--secara umum PTN tetap
menjadi pilihan utama sebagian besar lulusan SLTA, khususnya jika dikaitkan dengan pertimbangan kualitas dan
biaya. Oleh karena itu, agar dapat "melenggang" ke PTN pilihan,
seyogyanya tamatan SMU menyiapkan kiat supaya mampu meraih peluang yang memang
demikian sulit diperoleh atau diciptakan.
Ada
kiat yang dapat diterapkan untuk
menembus PTN. Kiat itu dikaitkan dengan pertimbangan minat/bakat dan kemampuan
peserta, kualitas sekolah, dan nilai pilihan (jurusan/fakultas dan PT). Rumus sederhana yang paling mudah
diaplikasikan adalah dengan membandingkan antara jumlah N1 (Nilai Kemampuan
Peserta + Nilai Prestasi Sekolah = NKP + NPS) dengan jumlah N2 (Nilai Jurusan +
Nilai PTN = NJ + NPTN).
Minat,
Bakat, dan Kans Lulus Masuk PTN
Minat adalah kecenderungan hati yang
tinggi terhadap sesuatu. Peserta ujian yang memiliki minat besar terhadap
bidang politik, misalnya, akan pas jika memilih salah satu jurusan di Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Bakat adalah dasar kepandaian, sifat
atau pembawaan seseorang yang dimiliki sejak lahir. Banyak siswa SMU yang sejak
awal sudah menunjukkan bakat tertentu. Oleh karena itu, sebaiknya peserta ujian
mempertimbangkan minat dan bakat yang dimilikinya. Minat yang bersinergi dengan
bakat akan merupakan perpaduan yang elegan untuk sebuah pencapaian keinginan.
Namun, pada era seperti sekarang ini
sebaiknya minat atau bakat itu juga diselaraskan dengan prospek dan orientasi
pasar kerja. Tidak jarang pula semua itu harus direlevankan dengan biaya,
kemampuan orang tua, masa studi, dan lain-lainnya. Tentu sangat baik jika
sebelum menentukan pilihan peserta ujian memiliki proyeksi tentang kebutuhan
tenaga kerja pada saat ia lulus PTN. Pendeknya, minat dan bakat itu harus
dilihat secara realistis dengan melihat kenyataan kini dan masa depan secara
komprehensif.
Sangat baik pula jika ketika menentukan
suatu pilihan, peserta ujian telah memiliki "bayangan" tentang apa
yang dapat diperoleh dari studi pilihannya itu, dan dapat diarahkan ke mana
bekal yang dimilikinya setelah lulus tersebut. Bahkan, kadang-kadang lulusan
PTN masih harus memikirkan bekal “plus” agar daya saingnya meningkat.
Penguasaan bahasa asing dan komputer, misalnya,
merupakan salah satu nilai “plus” yang wajib dimiliki.
Nilai
Kemampuan Peserta dan Nilai Prestasi Sekolah
Kans lulus tidaknya peserta ujian dapat
diprediksi dengan memperbandingkan antara N1 dengan N2. Penjelasan rincinya
adalah sebagai berikut. Nilai Kemampuan Peserta (NKP) ujian dapat dihitung
dengan melihat prestasi di kelasnya. Sebagai patokan dapat digunakan
klasifikasi sederhana ini. Siswa yang menempati ranking 1 s.d. 5 mempunyai NKP
= 1; 6 s.d. 10 NKP = 2; 11 s.d. 15 NKP = 3; dan seterusnya.
Sementara itu, Nilai Prestasi Sekolah
(NPS) peserta ujian dapat dikalkulasi dengan melihat jumlah alumnus yang
diterima di PTN. Jika jumlahnya antara 75--100% NPS = 1, jika 50--75% NPS = 2,
bila 25--50% NPS = 3; dan seterusnya.
Berdasarkan rumus sederhana di atas,
siswa yang menempati ranking 2 di kelas dari sebuah sekolah yang alumnusnya 80%
diterima di PTN memiliki N1 = 2 (NKP = 1 + NPS = 1); siswa ranking 14 dari
sekolah yang alumnusnya 30% diterima di PTN memiliki N1 = 6 (NKP = 3 + NPS =
3). Jadi, jelas di sini bahwa jumlah N1 siswa
yang sama-sama menempati ranking 1 di kelas dapat sangat berbeda jika
keduanya berasal dari sekolah yang kualitasnya berlainan.
Nilai Jurusan dan Nilai PTN
Nilai Jurusan (NJ) dan Nilai PTN (NPTN)
dihitung dengan mempertimbangkan tingkat kefavoritan jurusan dan PTN tempat
jurusan itu berada. Hal ini harus diperhatikan karena makin favorit suatu
jurusan, makin tinggi pula tingkat persaingan untuk memasukinya. Nilai
kefavoritan jurusan ini berbeda-beda untuk setiap PTN. Artinya, sebuah jurusan
yang sangat favorit di suatu PTN belum tentu memiliki nilai kefavoritan yang
sama di PTN lain. Meskipun demikian, secara umum, berdasarkan survei dan data
jumlah peminat, kriteria berikut dapat dipakai sebagai patokan.
Untuk kelompok IPA rankingisasinya
adalah sebagai berikut. Jurusan atau Fakultas Kedokteran Umum/Kesehatan
Masyarakat, Farmasi, Ilmu Komputer, dan jurusan-jurusan di Fakultas Teknik
umumnya berada di ranking 1; Teknologi Pertanian, Kehutanan, dan MIPA
(Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam) di ranking 2; Kedokteran Gigi, Biologi,
dan Pertanian/Perikanan di ranking 3; kemudian sisanya seperti Geografi,
Kedokteran Hewan (KH), dan Peternakan di ranking 4.
Sementara itu, untuk kelompok IPS
ranking 1 ditempati Psikologi, Hubungan Internasional, Akuntansi, dan Sastra
Inggris; ranking 2 diisi oleh Hukum, Administrasi Negara, Manajemen,
Antropologi, dan Sastra Asing (Prancis, Jepang); ranking 3 meliputi Sosiologi,
Sosiatri, Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Arkeologi, Sejarah, dan Sastra
Asing (Jerman/Cina); ranking 4 mencakup Sastra Asia Barat, Sastra Daerah, dan
Filsafat.
Rankingisasi Perguruan Tinggi Negeri di
Indonesia dikaitkan dengan "kebesaran", usia, serta "status”-nya
sebagai PTN nasional, regional, dan lokal. Yang menempati ranking 1 adalah PTN
nasional, terkenal, tua, dan besar. Dalam kelompok ini terdapat PTN yang dahulu
tergabung dalam SKALU (Sistem Koordinasi Antar-Lima Universitas), yakni UI,
UGM, ITB, IPB, dan UNAIR.
Ranking 2 ditempati PTN regional yang cukup
terkenal seperti UNDIP, UNPAD, USU, UNIBRAW, dan UNUD. Sementara PTN
semiregional seperti Universitas Negeri Surakarta (UNS), UNAND (Padang), dan
UNEJ Jember berada di urutan 3. Yang bernilai 4 adalah PTN lokal seperti
Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purwokerto, serta PTN lain di luar Jawa
dan beberapa universitas leburan dari IKIP Negeri.
Dengan melihat rankingisasi jurusan dan
PTN di atas dapat ditemukan jumlah N2 atau nilai pilihan seorang peserta ujian.
Sebagai contoh, jika seorang peserta memilih Jurusan Teknik Elektro di UI, N2
= 2 (NJ T. Elektro = 1 + NPTN UI = 1).
Peserta yang memilih FKG UGM memiliki N2 = 4 (NJ KG = 3 + NPTN UGM = 1).
Peserta yang memilih Sastra Inggris di UNS memiliki N2 = 4 (NJ S. Inggris = 1 +
NPTN UNS = 3), dan seterusnya.
Cara
Menghitung Kans
Kesempatan untuk lulus ujian dapat
dihitung dengan membandingkan N1 dan N2. Misalnya ada tiga siswa: Baping, Mita,
dan Joko. Baping ranking 3 di kelas (NKP = 1). Lulusan sekolahnya 90% diterima
di PTN (NPS = 1). Ia ingin masuk ke Jurusan Akuntansi (NJ = 1) UI (NPTN = 1).
Mita ranking 9 di kelas (NKP = 2). Alumni sekolahnya 40% diterima di PTN (NPS =
3). Pilihan utamanya adalah Kedokteran Gigi (NJ = 3) UNS (NPTN = 3). Joko
ranking 1 di kelas (NKP = 1) dari sebuah SMU yang 45% lulusannya diterima PTN
(NPS = 3). Pilihannya adalah Kehutanan (NJ = 2) UGM (NPTN = 1). Berdasarkan
uraian tentang N1 dan N2 tersebut, kans ketiganya dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.
Nama
Peserta
|
NKP
|
NPS
|
N1
|
NJ
|
NPTN
|
N2
|
N1:N2
|
Kans
Kasar Lulus (%)
|
Baping
|
1
|
1
|
2
|
1
|
1
|
2
|
2 : 2
|
50%
|
Mita
|
2
|
3
|
5
|
3
|
3
|
6
|
5 : 6
|
60--70%
|
Joko
|
1
|
3
|
4
|
2
|
1
|
3
|
4 : 3
|
40%
|
Dengan memperhatikan perbandingan N1 dan
N2 mereka tampak bahwa kans Baping dan Mita lebih besar dibandingkan dengan
kans Joko. Peserta ujian sebaiknya mengusahakan agar nilai N1-nya lebih kecil
daripada N2-nya untuk meningkatkan kans lulus. Ibarat petinju, makin tinggi
peringkatnya (N1), makin besar pula kemungkinannya untuk menang melawan petinju
peringkat di bawahnya (N2). Makin kecil N1-nya makin bagus, makin besar N2-nya
makin terbuka kesempatan.
N1 adalah nilai yang hampir pasti karena
tidak bisa diubah, sementara N2 adalah nilai yang dapat diubah-ubah dan
disesuaikan dengan situasi dan kondisi peserta. Kans Baping, misalnya, akan
makin besar jika ia memilih Akuntansi UNDIP (N2 = 3) atau tetap di UI, tetapi
pilihannya Administrasi Negara (N2 = 3). Kans Joko juga bisa ditingkatkan jika
ia mengubah pilihannya, misalnya menjadi KH UGM (N2 = 5) atau Pertanian UNS (N2
= 5).
Karena setiap peserta ujian berhak mengambil
kelompok IPC yang berarti dapat memilih tiga jurusan/pilihan, ia dapat mengatur
agar salah satu pilihannya memiliki kans besar diterima. Caranya adalah dengan
mengombinasikan antara pilihan jurusan dengan PTN tujuan. Ia dapat mengatur,
misalnya, agar pilihan satunya tinggi, pilihan duanya sedang, dan pilihan
tiganya agak rendah untuk berjaga-jaga.
Satu hal lagi yang harus diingat adalah
bahwa ternyata banyak peserta berbasis kelompok IPA yang turut memperebutkan
tempat di kelompok IPS dan nyaris tidak terjadi hal yang sebaliknya. Sementara
sekarang pemerintah justru memberi kelonggaran pada PTN untuk menambah kuota
kursi di kelompok IPA. Ini merupakan ancaman serius. Apalagi, secara umum
memang biasanya yang berbasis kelompok IPA memiliki kelebihan dibandingkan
peserta dari kelompok IPS. Peserta kelompok IPS juga boleh mendaftar untuk
kelompok IPA, tetapi rasanya akan sangat berat untuk memenangkan persaingan.
Berdasarkan data di UGM, misalnya, sebagian besar mahasiswa kelompok IPS adalah
lulusan SMU berbasis IPA (A1 dan A2). Untuk itu, sebaiknya peserta mencari
informasi tentang jumlah peminat dan daya tampung pilihannya.
Apa
Yang Sebenarnya Diperlukan?
Perlukah mengikuti bimbingan tes?
Jawabannya bisa perlu bisa tidak. Perlu karena di bimbingan tes siswa dapat
belajar secara pasif (mendengarkan dan melihat saja, bandingkan dengan belajar
sendiri yang menuntut aktivitas dan konsentrasi), dapat mengenali calon
saingannya (siswa bimbingan biasanya berasal dari berbagai sekolah), dapat
melatih kecepatan dan kebiasaan mengerjakan soal (oleh tentor biasanya diberi
trik-trik menjawab soal secara cepat, dengan soal-soal ujian sebelumnya sebagai
model atau contoh), dan dapat segera mendapatkan solusi jika ada permasalahan
(bertanya kepada tentor). Namun, bimbingan tes tidak menjadi keharusan untuk
siswa yang aktif belajar dan memiliki kemandirian serta kepercayaan diri.
Yang sebenarnya diperlukan oleh peserta
ujian tentu saja tidak hanya N1 yang
bagus dan perbandingan N1 dan N2 yang tepat. Ia juga harus memiliki kesiapan
lain. Untuk dapat mengerjakan soal secara tepat dan cepat, yang diperlukan
peserta ujian bukan hanya kecerdasan atau kepandaian, melainkan juga kesiapan
mental dan psikologis, ketenangan dan kematangan emosional, serta kemampuan
mengalokasikan waktu dan pikiran untuk "membereskan" semua soal
secara maksimal.
Tentu saja peserta juga tidak boleh
hanya menghitung-hitung kans tanpa membekali diri untuk menghadapi ujian. Tidak
boleh dilupakan pula bahwa kadang-kadang faktor nasib pun ikut berperan. Untuk
itu, sebaiknya peserta ujian
mempersiapkan diri secara baik, menentukan pilihan secara tepat, dan
selalu berdoa serta mendekatkan diri kepada Yang Maha Memberi agar nasib baik
berpihak kepadanya.
Lulus ujian masuk PTN memang bukan
satu-satunya tolok ukur kualitas lulusan SMU. Akan tetapi, tidak dapat
diingkari bahwa kelulusan itu merupakan sesuatu yang membanggakan: diri
sendiri, orang tua dan keluarga, juga sekolah atau almamater. Bagaimana kalau
tidak lulus? Jangan mencari kambing hitam, apalagi “menghitamkan” kambing orang
lain. Lihat teman yang sukses, pelajari mengapa ia sukses, kemudian jangan
sungkan-sungkan untuk menandingi dan bahkan mengalahkannya. MENCOBA adalah
UKURAN KEBERANIAN SESEORANG. Jika belum pernah mencoba, sebaiknya Anda tidak berprasangka (apalagi terhadap
diri sendiri) bahwa Anda tidak mampu, tidak bisa, atau tidak akan sukses. Jika
imbauan ini cukup menggoda, selanjutnya terserah Anda.
Contoh Resensi
Buku (Novel/Trilogi Novel)
RESENSI TRILOGI
NOVEL
Mahligai Gadis Tangsi dari Kerajaan Raminem:
Trilogi Suparto Brata yang Memukau
(Brata,
Suparto. 2004. Gadis Tangsi. Jakarta:
Kompas. (373 Halaman); Brata, Suparto. 2006. Kerajaan Raminem. Jakarta: Kompas. (468 Halaman); Brata, Suparto.
2007. Mahligai di Ufuk Timur.
Jakarta: Kompas. (487 Halaman)
Oleh: Heru
Marwata
Staf Pengajar
Jurusan Sastra Indonesia FIB UGM Yogyakarta
Akhirnya, Teyi,
gadis tangsi dari Tangsi Lorong Belawan, Medan, atau Den Rara Teyi dari
Kerajaan Raminem di Ngombol, atau Putri Teyi (dalam bayang-bayang Putri Parasi)
menikah dengan Gusti Bandara Raden Mas Kus Bandarkum dari Istana Jayaningratan,
Solo. Mereka menjalani hidup bersama dan berbahagia untuk selama-lamanya.
Begitulah
kira-kira akhir novel Trilogi Gadis Tangsi karya Suparto Brata. Tentu saja jika—meminjam
istilah Jauss (1983)—horison harapan pembaca ”tidak dikecewakan” oleh
pengarang. Mengapa demikian? Ternyata Suparto Brata tidak menyelesaikan kisah
tokoh utama trilogi novelnya sampai karya ketiga (terakhir) Mahligai di Ufuk Timur (2007) mencapai
ujungnya. Akhir kisah tokoh Teyi, Den Rara Teyi, atau Putri Teyi tampaknya
sengaja diserahkan penyelesaiannya kepada pembaca. Barangkali strategi ini
dipakai Suparto Brata untuk menghilangkan ciri-ciri komik (yang biasanya
berakhir dengan kebahagiaan tokoh-tokoh utamanya) pada trilogi novel
historisnya. Meskipun demikian, agar pembaca tidak terlalu meraba-raba dalam
memperkirakan akhir kisah tokoh-tokohnya, Suparto Brata telah menyiapkan
tanda-tanda yang mengarahkan ke mana akhir kisah akan menuju: sebuah enigma yang pasti akan terjawab menurut
terminologi Roland Barthes (S/Z,
1990).
Tidak berbeda dengan trilogi
yang pernah mewarnai dunia kesusastraan Indonesia (sebut saja misalnya trilogi
karya Ahmad Tohari atau Mangunwijaya), karya Suparto Brata juga menghadirkan
sosok wanita sebagai tokoh utama. Jika pembaca menemukan Srintil dalam trilogi
Ahmad Tohari, Mendut dan Lusi Lindri serta Genduk Duku dalam trilogi
Mangunwijaya, dalam trilogi Suparto Brata pembaca akan menjumpai tokoh Teyi.
Hanya saja, dari segi jelajah geografis, tampaknya trilogi Suparto Brata memang
lebih unggul. Lihat saja novel pertama Gadis
Tangsi (2004) yang banyak menggunakan latar tempat Sumatra. Pada novel
kedua, Kerajaan Raminem (2006), latar
Sumatra baru mulai bergeser ke Jawa. Akhirnya, pada novel ketiga, Mahligai di Ufuk Timur (2007), latar
tempatnya baru benar-benar berpindah ke Jawa (khususnya Jawa Tengah, lebih
khusus lagi sekitar Ngombol, Bagelen, Purworejo, dan Surakarta).
Sesuai dengan sebutannya,
Trilogi Gadis Tangsi, karya Suparto Brata ini mulai berkisah di Tangsi Lorong
Belawan. Di sinilah jalan hidup Teyi, gadis tangsi (Lorong Belawan, Medan)
mulai dirintis. Teyi adalah putri pertama—dari dua bersaudara yang semuanya
perempuan (adiknya bernama Tumpi)—pasangan Sersan Wongsodirjo-Raminem. Bapaknya
seorang serdadu kumpeni (Belanda) dan ibunya seorang penjual pisang goreng.
Bapak dan ibunya orang Jawa, berasal dari Purworejo. Mereka tinggal di Tangsi
Lorong Belawan karena Sersan Wongsodirjo bertugas di sana.
Yang elok, meskipun berada di
tangsi Belanda di wilayah Medan, Sumatra, teman bergaul keluarga Sersan
Wongsodirjo adalah orang-orang Jawa. Teman-teman Sersan Wongsodirjo adalah Lik
Urip, Lik Manguntaruh, Suradigdaya, Sapardal, Darmin, Samidi, Saimin, Suparmin,
dan lain-lainnya. Nama-nama teman bermain Teyi adalah Keminik, Jemini, Ceplik,
Tukiyem, Sumbing, Kamdi, Gepeng, Dumilah, Suwarti, dan nama-nama Jawa lainnya.
Oleh karena itu, meskipun berada di luar Jawa, atmosfir kejawaan masih kental
di Tangsi Lorong Belawan yang notabene berada di wilayah Sumatra.
Suasana kebelandaan terbangun
oleh munculnya nama-nama dan penyebutan tempat, misalnya Ndara Tuan Kapten
Dapenpur dan Ndara Tuan Kapten Depries (keduanya perwira Belanda), Landa Dawa
(peniup terompet), dan rumah loji di Kampung Landa (tempat tinggal para perwira
Belanda). Sementara itu, kehidupan di luar tangsi menciptakan gambaran mengenai
aspek di luar kejawaan. Sebut saja misalnya nama-nama tempat seperti Tanah
Aceh, Lhosukon, Lhose, Lhonga, Meurudu, atau Medan. Juga nama-nama di kota
Medan seperti Simpang Lama, Pasar Medan, Toko Kuala Deli, Toko Antimahal, dan
Toko Emas En Hong. Terlepas dari suasana dan nama-nama itu, rona Jawalah yang
lebih menonjol. Apalagi dalam kehidupan keluarga Teyi.
Hal yang sangat menentukan
dalam perjalanan hidup tokoh Teyi adalah ambisi Simboknya, Raminem. Raminem,
istri Sersan Wongsodirjo mempunyai ambisi untuk menjadi kaya, kaya raya.
Keinginan ini dilandasi oleh ’dendam’ kesumatnya pada kemiskinan yang
membuatnya begitu terhina di mata (atau lebih tepatnya sangat dihinakan oleh)
Yu Camik, istri kakak suaminya (Wongsodrono). Kemelaratan membuat kehadirannya
tidak diterima di rumah ’besar’ Wongsodrono di Bagelen. Kata-kata sinis dan
menyakitrendahkan yang terlontar dari bibir Yu Camik benar-benar menjadi
’tenaga pemompa’ semangat Raminem untuk menjadi kaya. Menjadi kaya raya
merupakan obsesinya setelah memilih meninggalkan Bagelen bersama suaminya yang
bersedia mengalah darinya untuk mendaftar menjadi serdadu kumpeni dan dikirim
ke Sumatra. Keinginan Raminem adalah pergi segera dari Bagelen agar tidak
mendapatkan caci maki dan segala macam penistaan, kemudian mengumpulkan harta
kekayaan agar menjadi kaya raya dan bisa kembali ke Ngombol, tempat
kelahirannya untuk mendirikan Kerajaan Raminem dengan membeli sawah-sawah nomor
satu di sana.
Keinginan, atau tepatnya
semangat atau obsesi, menjadi kaya begitu besarnya sehingga kalau ”Bercerita
tentang desa asal suaminya, Raminem selalu bersemangat tinggi. Sangat jelas ada
nafsu balas dendam dan ingin kaya, kayaaaa sekali melebihi Yu Camik, ...” (Gadis
Tangsi, 2004: 16). Apalagi jika mengingat sumpah serapah Yu Camik ketika
Suratman (Wongsodirjo), suaminya, diterima menjadi serdadu kumpeni dan harus
segera berangkat ke Sumatra. ”Sana, minggat sana! Cari makan di seberang lautan
sana! Paling-paling berangkat kelapa pulang kelapa. Ah, untung kalau begitu.
Kalau tak untung, pergi kelapa pulang jomblong!
(cumplung, pen.) (Gadis Tangsi, 2004: 16). ”Adddduuh,
sakiiit hatiku mendengar ucapan Yu Camik itu. Oh, Teyi, aku harus kaya. Aku
akan pulang menjadi minyak goreng!” (Gadis
Tangsi, 2004: 16).
”Aku disumpahi
oleh Yu Camik. ‘Pergilah! Pergilah minggat bersama suamimu jadi serdadu
kumpeni! Jadi istri serdadu kumpeni sampai bungkuk, masa bisa pulang ke kampung
membawa sawah ladang. Mana mungkin! Kamu hanya perempuan Ngombol, perempuan
pemalas! Mana ada perempuan asal Ngombol yang kaya? Rata-rata pemalas dan ditakdirkan jadi kere!’ Ah, sakiiiit hatiku disumpahi
Yu Camik demikian. Tidak! Aku bukan pemalas! ... Akan kubuktikan kepada Yu
Camik. ... kita akan kaya. Kaya! Melebihi kekayaan ... Yu Camik. Teyi, kamu
harus ....” (Gadis Tangsi, 2004:
17).
Dendam Raminem itu pulalah
yang menentukan jalan hidup Teyi. ”Teyi merasakan dendam kesumat yang kuat
dalam ucapan Raminem. ... Bekerja keras,
keras, keras! Dan, semangat itulah yang dimasukkan ke dalam jiwa Teyi” (Gadis Tangsi, 2004: 16). Kaya, harus
kaya, kaya raya, itulah kata kunci dalam keluarga Raminem. Untuk mendukung
usaha itulah Teyi berperan banyak: mulai ketika menjadi penjual pisang goreng
di tangsi dan sekitarnya, ketika mengelola harta benda hasil usaha orang
tuanya, ketika menyembunyikan (atau menyelamatkan) harta benda yang harus
dibawanya pulang ke Jawa (Ngombol), dan terutama ketika merintis usaha membangun
Kerajaan Raminem di Ngombol dan menjadikan ibunya ratu di kerajaan itu. Raminem
memang memiliki dendam untuk kaya raya, ia menanamkan semangat untuk kaya itu
kepada anak (-anaknya), tetapi tanpa Teyi usaha Raminem tidak akan berhasil.
Teyilah yang menegarkan
keluarganya ketika Sersan Wongsodirjo meninggal (atau lebih tepatnya dibunuh
secara licik oleh Manguntaruh, saudara Yu Camik yang tergila-gila pada Raminem
dan ternyata tidak bertepuk sebelah tangan), Teyi pula yang ’membangun’
Kerajaan Raminem dengan usaha penuh jerih payah dan ’perhitungan’, Teyi pula
yang nantinya mengangkat derajat keluarga Raminem karena menjadi calon
permaisuri seorang pangeran dari Istana Jayaningratan, Solo. Gadis tangsi yang
berada dalam pergaulan anak tangsi, anak bengal, bergajulan, dan kurang
terdidik bagaimana bisa menjadi gadis yang demikian berperan dalam kehidupan
keluarga dan bahkan teman-temannya. Itulah yang disebut Suparto Brata sebagai pulung.
Teyi yang dibekali ambisi
menjadi kaya oleh ibunya ternyata menemukan keberuntungan yang tidak terduga.
Pisang goreng yang dijajakannya membawa Teyi ke rumah loji, ke rumah seorang
perwira kumpeni berdarah Jawa, Ndara Tuan Kapten Sarjubehi, Raden Sarjubehi. Di
rumah loji inilah Teyi bertemu dengan Ninek Jidan (seorang pembantu) yang
kemudian menuntunnya bertemu dengan, bahkan berteman dengan, dan bahkan
kemudian menjadi anak asuh Putri Parasi (istri Kapten Sarjubehi). Pertemuan
inilah yang kelak membawa kehidupan Teyi menjadi sangat berbeda dengan jalan
hidup teman-teman setangsinya.
Putri Parasi mengajarkan
banyak hal kepada Teyi, hal-hal yang tidak bakalan diperoleh oleh
teman-temannya di tangsi. Di rumah loji Putri Parasi mengajari Teyi cara ngadi salira dan ngadi busana, membaca dan menulis, serta bertata krama ala keraton.
Di rumah loji inilah Teyi dididik dan dipersiapkan menjadi putri keraton, putri
Keraton Surakarta Hadiningrat. Di situ pula Teyi belajar membaca dan menulis
yang membuatnya memiliki derajat tinggi dalam pergaulan, bahkan dalam beberapa
hal sejajar dengan orang Belanda. Ia bisa berbahasa Belanda. Ini sungguh hebat.
Inilah salah satu bekalnya yang sangat memadai untuk melihat dunia yang lebih
luas, tidak hanya seluas tangsi, tetapi bahkan seluas hamparan bumi dengan
membaca buku dan majalah. Ia bisa berbahasa Jawa halus seperti putri keraton.
Ini juga hebat. Inilah bekal yang akan membawanya ke Istana Jayaningratan di
Solo.
Teyi tidak akan ada, paling
tidak keberadaannya pasti akan bernilai beda, tanpa Putri Parasi. Bekal yang
diperoleh Teyi dari Putri Parasi benar-benar lengkap untuk menjalani kehidupan
sebagai manusia yang bermartabat. Secara kebetulan pula bekal ini ditambah
dengan kehadiran Bendara Raden Mas Kus Bandarkum, keponakan Putri Parasi,
ketika berlibur ke Medan. Pertemuan dengan Putri Parasi dan Kus Bardarkum
sepertinya memang telah direncanakan pengarang untuk memberikan jalan menuju
mahligai di ufuk timur (yang terbeber dalam Mahligai
di Ufuk Timur, 2007). Bekal-bekal itulah yang kelak mendukung bekal harta
kekayaan setelah ia bersama ibu dan adiknya sukses membangun Kerajaan Raminem
di Ngombol. Kepandaian baca tulis dan kepiawaiannya ngadi busana dan ngadi salira
ala putri keraton, perjanjian cintanya dengan Kus Bandarkum, dan bekal
’kedudukan’ karena materinya yang cukup melimpah sebagai Den Rara Teyi dari
Kerajaan Raminem menempatkan Teyi sebagai gadis yang sangat bermartabat.
Apalagi ditambah dengan kesabaran dan keluhuran budinya yang sangat dikenal
oleh teman-teman dan kerabat serta orang-orang yang hidup (bahkan ikut hidup
atau menumpang hidup) di sekitarnya.
Secara cermat pengarang telah
menyiapkan tokoh utama novel ini, Teyi, menjadi wanita yang tegar, tegas, kuat,
berpandangan luas, bijaksana, berbelas kasih, dan sekaligus memiliki cita-cita
yang mulia. Kus Bandarkum sebagai calon suaminya pun ternyata turut membentuk
kepribadian Teyi menjadi lebih mulia lagi dengan diskusi-diskusi dan
rencana-rencananya untuk menciptakan berbagai sarana memajukan anak bangsa,
kalau perlu dengan mengorbankan harta benda yang mereka punya. Bahkan, di novel
terakhir trilogi Teyi telah memulainya dengan mendirikan lumbung padi yang
sekaligus berfungsi sebagai tempat belajar baca tulis. Gagasan seperti ini
tidak mungkin dimiliki oleh orang awam yang tidak terpelajar. Memang sebenarnya
mereka sangat terdidik. Teyi mendapatkan berbagai pelajaran secara informal
dari Putri Parasi, sementara Kus Bandarkum mendapatkannya dari sekolah formal
yang dimasukinya.
Sebagai sebuah trilogi,
novel-novel Suparto Brata ini benar-benar layak dibaca. Di dalamnya banyak
sekali pelajaran yang dapat dipetik. Di novel tarakhir trilogi, misalnya,
tampak model klasik penghukuman pengarang atas orang-orang yang pongah dan menista tokoh-tokoh utama trilogi tersebut.
Wongsodrono meninggal setelah anaknya yang ’kurang genap’, Denta, meninggal
akibat ulah Dasiyun (anak Manguntaruh). Yu Camik menjadi gila dan akhirnya
meninggal secara tragis di Kali Bogowonto setelah suami dan anaknya meninggal.
Manguntaruh harus membayar kejahatan-kejahatannya dengan masuk bui. Dasiyun dan
anak istrinya pun meninggal dengan cara tragis karena ulah-ulah tidak
terpujinya. Semua yang ”jahat” mendapatkan hukuman yang setimpal. Bagaimana dengan okoh-tokoh yang ”baik”? Bisa
dikatakan semua tokoh ”yang tidak jahat” mendapatkan jalan terang. Dikotomi hitam
putih yang sederhana, tetapi disajikan pengarang dengan cara yang ’manis’.
Trilogi Gadis Tangsi ini
memang sosiologis dan historis. Oleh karena itu, orang-orang yang karena
pengalaman dan usianya ingin
bernostalgia mengenang kehidupan masa Belanda dan Jepang dapat membangkitkan
memori (atau bahkan mungkin emosinya) dengan membaca trilogi ini. Juga,
misalnya, jika ada orang yang ingin bernostalgia dengan ungkapan makian khas
Jawa, ia pun dapat memperolehnya dalam trilogi ini. Bahkan, trilogi ini pun dilengkapi
dengan model pepatah petitih yang kaya makna. Cerita dalam trilogi ini begitu
hidup dan membuat pembaca seolah menemukan kemudahan untuk memahaminya karena
cukup banyak jejak—atau menurut istilah Iser (1987) repertoire atau realitas ekstratekstual menurut Holub (1989)—yang
ditinggalkan pengarang dalam karyanya. Pesan, kesan, dan cerita yang disajikan
Suparto Brata menjadi kian terhayati karena alasan-alasan berikut.
Pertama, karena Suparto Brata
memiliki referensi yang sangat selaras dengan kisah-kisah dalam triloginya.
Lihat saja biografi singkat bertajuk ’Tentang Penulis’ yang disertakan di
halaman-halaman terakhir novelnya.
”Suparto menikah dengan Rr. Ariyati, anak seorang petani kaya di Ngombol,
Kedu Selatan. Rr. Ariyati lahir di Meurudu 1940, ketika ayahnya jadi serdadu
kumpeni. Ketika Perang Dunia II meletus, ayahnya dibubarkan dari kumpeni di
Bandung, sedangkan Ariyati bersama tiga orang saudaranya serta ibunya
tertinggal bersama istri serdadu kumpeni lainnya di asrama tangsi Medan. Mereka
dibawa mengungsi oleh tentara Belanda, tetapi terkejar oleh tentara Jepang di
Blankejeren”
Pembaca novel pertama dan
kedua trilogi Suparto Brata akan menemukan paparan penggalan realitas di atas
dalam karya fiksi Suparto, dalam uraian imajinatif yang lebih kaya. Barangkali
ini merupakan pertanda dan bukti nyata bahwa—konon, menurut para teoretikus—sastra tidak pernah
beranjak dari kekosongan (budaya, sosial, atau karya-karya sebelumnya).
Kedua, ”Narasumber novel Kerajaan Raminem adalah mertua Suparto Brata” (Kerajaan Raminem, 2006: 470). Ketika
kita mencermati kata ”narasumber”, terbayanglah adanya sebuah ISI yang
memerlukan BENTUK. Yang disampaikan mertua Suparto adalah ISI, dan yang ditulis
Suparto dalam triloginya adalah BENTUK itu, yang lengkap dengan isinya dalam
bentuk yang agak lain. Di sini ada dua realitas yang berbeda. Yang disampaikan
mertua Suparto (kemungkinan besar) adalah realitas historis, sementara yang di-jlentreh-kan Suparto dalam triloginya
adalah realitas fiksional. Oleh karena itu, kiranya pesan di sampul belakang Kerajaan Raminem (2006) bahwa “Pecinta
sastra, mahasiswa sastra, pengamat sastra, serta mereka yang menaruh perhatian
pada sejarah sosial dan bahasa Indonesia patut membaca novel ini” bukanlah
imbauan yang mengada-ada sebagai promosi belaka.
Ketiga, ”Narasumber novel Mahligai di Ufuk Timur ini adalah
kesaksian, pengalaman, dan pengamatan Suparto Brata sendiri, asli dan murni”
(sampul belakang Mahligai di Ufuk Timur, 2007).
Novel ketiga ini memang tampak lebih matang dari segi ide dibandingkan dua
novel sebelumnya. Jika novel pertama dan kedua banyak memuat cerita beraroma
fisik, novel ketiga lebih menonjolkan atmosfir pemikiran, ide, atau gagasan.
Salah satu gagasan besar yang ada adalah yang dibangun Suparto dengan memadukan
gagasan Putri Teyi dari Kerajaan Raminem di Ngombol dengan pemikiran-pemikiran
Bandara Raden Mas Kus Bandarkum dari Istana Jayaningratan di Keraton Solo.
Kisah memang belum selesai, tetapi ibarat hari, pagi pasti kan menjelang:
mentari tak pernah ingkar janji, apa pun yang terjadi besok pagi ufuk timur
pasti akan merekah dengan sinar surya yang cerah.
Demikianlah trilogi Suparto
Brata menggelar kelir pewayangan dengan tokoh-tokoh di luar cerita Mahabharata
atau Ramayana. Novel yang memuat informasi historis ini sangat baik dibaca
sebagai alat pembelajaran nalar budi dan media analisis struktur ala Stanton
(lihat karya Robert Stanton yang berjudul An
Introduction to Fiction (1964)) atau model-model pendekatan struktural.
Bagi orang yang tertarik (dan belum pernah) menulis novel historis (atau novel
sejarah), tampaknya model trilogi Suparto Brata ini juga bisa menjadi acuan (di
samping, misalnya, model-model Pandir Kelana atau Arswendo Atmowiloto).
Akhirnya, selamat membaca dan menikmati Trilogi Gadis Tangsi karya Suparto
Brata yang mengagumkan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Brata, Suparto. 2004. Gadis
Tangsi. Jakarta: Kompas.
_______. 2006. Kerajaan
Raminem. Jakarta: Kompas.
_______. 2007. Mahligai
di Ufuk Timur. Jakarta: Kompas.
Barthes,
Roland. 1990. S/Z. United Kingdom:
Basil Blackwell Ltd.
Holub,
Robert C. 1989. Reception Theory: A
Critical Introduction. London: Routledge.
Iser,
Wolfgang. 1987. The Act of Reading: A
Theory of Aesthetic Response. Baltimore & London: The John Hopkins
University Press.
Jauss,
Hans Robert. 1983. Toward an Aesthetic of
Reception. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Stanton,
Robert. 1964. An Introduction to Fiction.
New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc.
PENUTUP
STATUS DI FB
TANGGAL 6 Desember 2012: Akhirnya ....
Semua
kisah adlh lagu. Merdu tidaknya tergantung pd cara menyanyikannya. Semua momen
adlh melodi. Manis tidaknya tgt pd cara mengartikulasikannya. Semua peristiwa
adlh mozaik seni. Artistik tidaknya tgt pd cara memadukannya. Semua rasa adalah
bumbu. Menggigit tidaknya, maknyus tidaknya, tgt pd cara mengolah dan menyajikannya. Cara sangat menentukan hasil.
Semoga kita sll menggunakan cara yg baik & benar. Aamiin. (HM, Yk, 6 Des.
2012)
Halo
teman-teman .... Bagaimana perasaan Anda? Cukup tertantang? Masih merasa bahwa
menulis itu sulit? Ayo segeralah mencoba karena, sekali lagi, mencoba adalah
ukuran keberanian seseorang. Jangan harap bisa melakukan sesuatu, apa pun itu, jika
Anda tidak pernah mencoba melakukannya. Menulis adalah aksi, bukan aktivitas
dalam hati. Salam tulis-menulis. (HM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar