Perubahan
Paradigma dan Masa Depan Kajian Malaysia-Indonesia
Heru Marwata
Heru Marwata
Staf Pengajar
Jurusan Sastra Indonesia
Fakultas Ilmu
Budaya
Universitas Gadjah
Mada
Yogyakarta
Abstrak:
Banyak sekali pemicu internal dan
eksternal yang mengubah orientasi kajian terhadap suatu negara, termasuk
Malaysia dan Indonesia. Perubahan kebijakan, pergeseran kepentingan, dan siasat
serta strategi setiap negeri menghadapi tantangan dunia baru merupakan faktor
pemicu yang cukup dominan dari dalam. Sementara itu, globalisasi, persaingan
(perdagangan) bebas, dan berbagai perjanjian/kesepakatan bilateral dan
multilateral pastilah merupakan unsur luaran yang tak bisa dikesampingkan oleh
negara mana pun.
Pemicu internal dan eksternal
harus disikapi setiap negeri dengan usaha-usaha menempatkan diri secara
proporsional. Ini pulalah yang mengubah paradigma kajian dalam dan terhadap
suatu negara serta memunculkan paradigma-paradigma baru yang lebih menantang.
Dengan demikian, perubahan paradigma justru akan mendinamiskan dan menawarkan masa
depan kajian yang lebih prospektif, khusunya bagi Malaysia dan Indonesia.
Kata kunci: perubahan, paradigma,
kajian, prospektif
Pengantar
Dunia selalu berproses. Dalam proses itu ada dinamika. Dalam dinamika ada tantangan dan peluang. Tantangan dan peluang adalah daya tarik dan sekaligus pemicu besar untuk melakukan perubahan. Perubahan adalah sebuah keniscayaan. Negara yang melakukan perubahan dengan mempertimbangkan tantangan dan memanfaatkan peluanglah yang akan menuai hasil yang lebih menjanjikan.
Dunia selalu berproses. Dalam proses itu ada dinamika. Dalam dinamika ada tantangan dan peluang. Tantangan dan peluang adalah daya tarik dan sekaligus pemicu besar untuk melakukan perubahan. Perubahan adalah sebuah keniscayaan. Negara yang melakukan perubahan dengan mempertimbangkan tantangan dan memanfaatkan peluanglah yang akan menuai hasil yang lebih menjanjikan.
Wilayah Asia Timur, Asia Pasifik,
adalah sumber tantangan dan peluang yang sangat menggairahkan. Kawasan yang
pernah memegang rekor sebagai juara dalam kecepatan perkembangan ekonomi dunia
ini memiliki pesona yang luar biasa, baik bagi masing-masing penghuni maupun
(dan apalagi) bagi wilayah-wilayah lain di berbagai belahan dunia. Tantangan
dan peluang selalu berkaitan dengan potensi. Potensi selalu berhubungan dengan
eksistensi. Dalam konteks inilah perubahan akan ditempatkan, dan di jalur ini
pulalah berbagai penyesuaian akan ditemukan di ladang persemaian.
Korea, Malaysia, dan Indonesia
Korea, Malaysia, dan Indonesia
adalah tiga pilar di tiga sisi dalam salah satu konsep ASEAN Plus: utara,
tengah, selatan. Secara ekonomis ketiganya memiliki perbedaan dan sekaligus
persamaan. Korea dengan segala tantangan yang ada dan peluang yang bisa
dimanfaatkannya telah berkembang ke arah yang cenderung memasukkannya ke
kelompok Utara: biasanya maju dan kaya. Sementara itu, Malaysia dan Indonesia,
dengan segala tantangan dan peluangnya masih cenderung berada di barisan
Selatan: biasanya masih berkembang dan belum (begitu) kaya.
Bagi Korea mungkin Malaysia dan
Indonesia lebih cenderung sebagai peluang. Sementara itu, bagi Malaysia dan
Indonesia, Korea lebih tampil sebagai tantangan untuk melakukan pengejaran dan
sekaligus peluang untuk meningkatkan daya saing. Dalam berbagai hal ketiganya
bisa saling "menantang" dan memberi (menawarkan) peluang.
Faktor Eksternal dan Internal
Banyak sekali pemicu eksternal
dan internal yang mengubah orientasi
kajian terhadap suatu negara, termasuk Malaysia dan Indonesia. Perubahan
kebijakan, pergeseran kepentingan, dan siasat serta strategi setiap negeri
menghadapi tantangan dunia baru merupakan faktor pemicu yang cukup dominan dari
dalam. Sementara itu, globalisasi, persaingan (perdagangan) bebas, dan berbagai
perjanjian/kesepakatan bilateral dan multilateral pastilah merupakan unsur
luaran yang tak bisa dikesampingkan oleh negara mana pun.
Tragedi (kalau boleh
dihiperbolakan) ekonomi tahun 1997/1998 telah menempatkan negara-negara di
dunia, termasuk Korea, Malaysia, dan Indonesia, ke suatu kondisi yang carut
marut. Kebangkitan dan usaha-usaha rekaveri setelah itu benar-benar menyerap
berbagai sumber negara: sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber
keuangan negara. Ini membawa konsekuensi yang luar biasa besar. Kebijakan
penganggaran untuk berbagai riset serta studi mengalami pergeseran. Tentu saja
kebanyakan muaranya ke perbaikan semua lini yang terguncang akibat krisis ekonomi
tersebut.
Globalisasi yang bak bola api
atau bola salju juga melindas dan melintasi semua negara. Irama yang
serba lintas negara, lintas wilayah, dan mendunia, juga membawa konsekuensi
yang beraneka. Yang pasti semua sisi kehidupan bernegara dan berbangsa tak ada
yang lepas dari pengaruh globalisasi, demikian pula dengan orientasi studi atas
suatu negeri serta segenap aspek yang ada di dalamnya. Globalisasi, persaingan
(perdagangan) bebas, dan berbagai perjanjian/kesepakatan bilateral dan
multilateral pastilah merupakan unsur luaran yang tak bisa dikesampingkan oleh
negara mana pun.
Banyak sekali pemicu
internal yang mengubah orientasi kajian
terhadap suatu negara, termasuk Malaysia dan Indonesia. Perubahan kebijakan,
pergeseran kepentingan, dan siasat serta strategi setiap negeri menghadapi
tantangan dunia baru merupakan faktor pemicu yang cukup dominan dari dalam.
Pemicu internal dan eksternal
harus disikapi setiap negeri dengan usaha-usaha menempatkan diri secara
proporsional. Ini pulalah yang mengubah paradigma kajian dalam dan terhadap
suatu negara serta memunculkan paradigma-paradigma baru yang lebih menantang.
Dengan demikian, perubahan paradigma justru akan mendinamiskan dan menawarkan
masa depan kajian yang lebih prospektif, khusunya bagi Malaysia dan Indonesia.
Dari Negeri Ke Rumpun
Pastilah terlalu banyak rekam
jejak sejarah yang membuktikan bahwa sebagian besar bangsa-bangsa di kawasan
Asia Tenggara adalah bangsa serumpun: Melayu. Wujud konkret yang masih dengan
sangat mudah kita kenali sampai kini adalah bahasa dan bangsa (Melayu). Jadi,
tanpa mengesampingkan jati diri masing-masing, sebenarnya bangsa-bangsa di Asia
Tenggara, khususnya Malaysia dan Indonesia dapat menempatkan diri dalam
kerangka besar bangsa serumpun. Konsep serumpun itu bisa lebih ditekankan lagi
untuk kepentingan yang lebih luas, misalnya ke cakupan kajian kewilayahan dan
segala sesuatu yang terkandung di dalamnya. Dengan kesadaran bangsa serumpun
ini kedua negara bisa saling melekatkan diri untuk kemajuan bersama, menghilangkan
batas-batas klaim yang cenderung memicu perselisihan dan persengketaan. Sayang
saja jika banyak energi yang terserap untuk sekadar saling menanggapi dan
menangkap isu yang sebenarnya tidak produktif.
Daripada sekadar berlayar ke masa
lalu untuk saling mengukuhkan diri sebagai pemilik atas sesuatu--seni, tradisi,
budaya, misalnya—mengapa tidak mengalokasikan pemikiran untuk mengembangkannya
menjadi kerja sama riset atau membuatnnya menjadi sesuatu yang mendunia?
Teman dan Saudara, Bukan Lawan atau
Musuh
Pengembangan apa pun, termasuk
dalam riset atau kajian, juga dalam bidang apa pun, pastilah akan dengan mudah
dapat didorong oleh pihak-pihak yang selalu belajar menyamakan persepsi.
Perseteruan, dalam konteks apa pun, bahkan dengan alasan yang kadang
dikait-kaitkan dengan masalah politik (dipolitisasi) hanya akan membuang energi
yang sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan bersama.
Sepanjang yang lebih dikedepankan
adalah semangat pertemanan, apalagi
gairah persaudaraan, apa pun dilakukan masing-masing negeri niscaya akan
memupuk rasa saling percaya dan saling menghargai. Bahwa sebagian penduduk
Malaysia berasal dari Jawa, atau Madura, dan bahkan dalam jumlah besar berdarah
Melayu seperti halnya saudara-saudara mereka di Aceh atau Palembang atau
Sumatra bagian utara adalah sebuah realitas historis-sosiologi-kultural. Semua
itu adalah kenyataan tak terbantah. Haruskah masing-masing mengorek-ngorek
status kepemilikan atas suatu warisan seni atau budaya untuk sekadar memuaskan
diri sebagai pemilik sah dan tunggal? Mengapa tidak memilih paradigma baru
dengan menempatkan seni budaya itu sebagai perekat hubungan antarmanusia dan
antarbangsa sebagai saudara? Mengapa tidak memilih bekerja sama mengembangkan
seni budaya itu dengan saling melengkapi dan memromosikannya sebagai kekayaan
budaya bersama ke berbagai penjuru dunia? Daripada mengadakan pertemuan ilmiah
untuk saling melacak asal usul yang melahirkan klaim penabur ketidakpercayaan
atau kebencian, mengapa tidak memilih mengadakan sarasehan bersama untuk saling
menjajagi kemungkinan pertukaran dan pengembangan sebagai bagian-bagian yang
diikat oleh kesatuan dan kebersamaan?
Bolehlah masing-masing saling
mengalahkan dan menjatuhkan dalam suatu pertandingan. Namun, harus selalu
diingat bahwa dalam setiap pertandingan apa pun selalu ada nilai yang
dikedepankan: kejujuran dan sportivitas, bukan keculasan dan pemicu kebencian.
Teman atau sahabat atau bahkan saudara bisa saja berhadapan sebagai lawan dalam
suatu perlombaan atau pertandingan, tetapi mereka harus kembali menjadi teman,
sahabat, atau saudara setelah pertandingan usai, bukan lagi lawan atau musuh.
Dendam yang timbul adalah dendam dalam pengertian untuk membalas kekalahan
secara sportif dengan mengedepankan aspek kejujuran atau membalas kekalahan
secara jujur dengan mengedepankan sportivitas. Sportivitas dan kejujuran tidak
akan pernah melahirkan dendam dan kebencian.
Gadjah Mada dan Hang Tuah
Warisan Budaya (le)Luhur
Anak Bangsa dan Anak Semua Bangsa
Memaknai Perbedaan Mensyukuri Persamaan
Mengubah Paradigma Menyongsong Masa
Depan
Mengubah Paradigma Memperkaya Kajian
Mencari Titik Temu Membangun Sinergi
Melayu dibahagi kepada enam negara - Malaysia, Indonesia, Filipina, Singapura, Brunei dan Timor Timur
– secara besar akibat dari pengaruh luar.
Paradigma dalam disiplin intelektual adalah cara pandang orang
terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir (kognitif),
bersikap (afektif), dan bertingkah laku (konatif).[1]
Paradigma juga dapat berarti seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktik
yang di terapkan dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas yang sama,
khususnya, dalam disiplin intelektual [2]Kata paradigma sendiri berasal dari abad pertengahan di Inggris yang merupakan kata serapan dari bahasa Latin ditahun 1483 yaitu paradigma yang berarti suatu model atau pola; bahasa Yunani paradeigma (para+deiknunai) yang berarti untuk "membandingkan", "bersebelahan" (para) dan memperlihatkan (deik) [3]
Paradigma adalah kumpulan tata nilai
yang membentuk pola pikir seseorang sebagai titik tolak pandangannya sehingga
akan membentuk citra subjektif seseorang – mengenai realita – dan akhirnya akan
menentukan bagaimana seseorang menanggapi realita itu.
Istilah paradigama ilmu pertama kali
diperkenalkan oleh Thomas Kuhn melalui bukunya yang berjudul “The Structur of
Science Revolution”. Kuhn menjelaskan paradigma dalam dua pengertian. Di satu
pihak paradigma berarti keselurahan konstelasi kepercayaan, nilai, teknik yang
dimiliki bersama oleh anggota masyarakat ilmiah tertentu. Di pihak lain
paradigma menunjukkan sejenis unsur pemecahan teka-teki yang konkrit yang jika
digunakan sebagai model, pola atau contoh dapat menggantikan kaidah-kaidah yang
secara eksplisit sebagai atau menjadi dasar bagi pemecahan permasalahan dan
teka-teki normal sains yang belum tuntas.
Paradigma merupakan elemen primer
dalam progress sains. Seorang ilmuwan selalu bekerja dengan paradigma tertentu,
dan teori-teori ilmiah dibangun berdasarkan paradigma dasar. Melalui sebuah
paradigma seorang ilmuwan dapat memecahkan kesulitan-kesulitan yang lahir dalam
kerangka ilmunya, sampai muncul begitu banyak anomali yang tidak dapat
dimasukkan ke dalam kerangka ilmunya sehingga menuntut adanya revolusi
paradigmatik terhadap ilmu tersebut. Menurut Kuhn, ilmu dapat berkembang secara
open-ended(sifatnya selalu terbuka untuk direduksi dan dikembangkan). Kuhn
berusaha menjadikan teori tentang ilmu lebih cocok dengan situasi sejarah
dengan demikian diharapkan filsafat ilmu lebih mendekati kenyataan ilmu dan
aktifitas ilmiah sesungguhnya. Menurut Kuhn ilmu harus berkembang secara
revolusioner bukan secara kumulatif sebagaimana anggapan kaum rasionalis dan
empiris klasik sehingga dalam teori Kuhn faktor sosiologis historis serta
psikologis ikut berperan.
Paradigma membantu seseorang dalam
merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan apa yang harus dijawab
dan aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan jawaban yang
diperoleh.
Kata paradigma berasal dari bahasa
Yunani yang berarti suatu model, teladan, arketif dan ideal. Berasal dari kata para yang berarti disamping
memperlihatkan dirinya.
Arti paradigma ditinjau dari asal
usul beberapa bahasa diantaranya :
-
Menurut bahasa
Inggris : paradigma berarti keadaan lingkungan
-
Menurut bahasa Yunani : paradigma yakni para yang berarti
disamping, di sebelah dan dikenal sedangkan deigma berarti suatu model,
teladan, arketif dan ideal.
-
Menurut kamus psycologi : paradigma diartikan sebagai
1.
Satu model atau
pola untuk mendemonstrasikan semua fungsi yang memungkinkan adar dari apa yang
tersajikan
2.
Rencana riset berdasarkan konsep-konsep khusus, dan
3.
Satu bentuk eksperimental
Kesimpulan
: secara etimologi arti paradigma adalah satu model dalam teori ilmu
pengetahuan atau kerangka pikir.
Secara
terminologis arti paradigma sebagai berikut :
-
Paradigma adalah konstruk berpikir berdasarkan pandangan
yang menyeluruh dan konseptual terhadap suatu permasalahan dengan menggunakan
teori formal, eksperimentasi dan metode keilmuan yang terpecaya.
-
Dasar-dasar untuk menyeleksi problem dan pola untuk
mencari permasalahan riset.
-
Paradigma adalah suatu pandangan terhadap dunia alam
sekitarnya, yang merupakan perspektif umum, suatu cara untuk menjabarkan
masalah-masalah dunia nyata yang kompleks.
Kesimpulan
: secara terminologi paradigma adalah pandangan mendasar para ilmuwan tentang
apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh suatu cabang
ilmu pengetahuan.
The Indonesian–Malaysian Confrontation during 1963–1966
Indonesia–Malaysia relations are foreign bilateral relations between Indonesia and Malaysia.
The border between the Southeast Asian countries of Indonesia and
Malaysia
consist of both a land border separating the two countries' territories on the
island of Borneo
as well as maritime boundaries along the length of the Straits of Malacca, in the South
China Sea and in the Celebes Sea.The land boundary has a length of 2,019.5 km and stretches from Tanjung Datu at the northwestern corner of Borneo, through the highlands of the Borneo hinterland, to the Gulf of Sebatik and the Celebes Sea in the eastern side of the island. The boundary separates the Indonesian provinces of East Kalimantan and West Kalimantan, and the Malaysian states of Sabah and Sarawak.
The maritime boundary in the Straits of Malacca generally follows the median line between the baselines of Indonesia and Malaysian, running south from the tripoint with Thailand to the start of the maritime border with Singapore. Only part of this boundary has been delimited through a continental shelf boundary treaty in 1969 and a territorial sea boundary treaty in 1970. The continental shelf boundary between Indonesia and Malaysia in the South China Sea is also drawn along the equidistant line between the baselines of the two countries under the 1969 continental shelf boundary.
The border in the Celebes Sea is subject to dispute between the two countries. Part of the dispute was settled by the judgement of the International Court of Justice in the Sipadan and Ligitan Case in 2002 and is now awaiting delimitation between the two countries. The two countries however still have overlapping claims over the continental shelf which Indonesia refers to as Ambalat.
There are numerous sea transport crossings between Indonesia and Malaysia, mostly between Indonesia's Sumatra island and Peninsula Malaysia but also between the Indonesian province of East Kalimantan and Malaysia's Sabah state. The only official land transport crossing point is at Entikong (in Indonesia)/Tebedu (in Malaysia). The border, both land and maritime, is relatively porous and has allowed a huge influx of illegal immigrant workers from Indonesia to Malaysia.
Pusat Studi Malindo (PSM) adalah sebuah lembaga independen,
non profit dan non partisan dan yang berbasis pada komunitas akademik dan focus
kegiatan pada pengembangan kajian kebijakan, ekonomi, sosial dan budaya melalui
penguatan gagasan, sikap kritis serta tindakan taktis elemen masyarakat
akademik, sipil society, masyarakat ekonomi dalam membangun kemitraan strategis
Indonesia dan Malaysia.
Hubungan Indonesia dengan Malaya, setelah
kemerdekaan Persekutuan Tanah Melayu, lebih banyak diwarnai oleh “perbedaan-
pertentangan”. Setidaknya ada dua faktor utama yang berada di belakang keadan
ini. Pertama faktor “Tunku Vs Soekarno” dan faktor “perang dingin antara
kapitalis dan komunis dunia”.
Latar belakang sosial, kultural dan politik kedua
tokoh ini, antara Tunku dan Bung Karno sangat berbeda. Tunku adalah anak Sultan
Kedah dari perempuan Thai. Beliau diasuh dan hidup senang dalam lingkungan
istana, terdidik dalam sistem pendidikan dan budaya Inggris. Mendapat ijazah
hukum dan perundang-undangan dari sebuah universitas di Inggris. Tidak bergaul
dengan rakyat dan berpandangan liberal.
Sementara Soekarno adalah anak seorang priyayi
Jawa dengan seorang perempuan kasta tinggi Bali. Dari kecil hidup di tengah
rakyat biasa. Dalam bidang politik dan agama diasuh oleh tokoh Sarikat Islam,
Raden Haji Oemar Said Tjokroaminoto di kota Surabaya. Sejak masa mahasiswa
sudah berjuang bagi kemerdekaan Indonesia.
Soekarno memandang Tunku sebagai seorang pangeran
Melayu yang hidup di dalam kamp penguasa kolonial. Tunku pula tidak senang
dengan Soekarno yang hidup secara flamboyant tapi revolusioner, mencurigai
kedekatan hubungannya dengan blok komunis (Russia-China). Keduanya
berbeda secara sosial, kultural dan ideologi politik.
Perbedaan pendapat dan saling curiga-mencurigai
itu, terutama setelah Tunku berhasrat menubuhkan negara federal Malaysia yang
terdiri daripada Malaya, Singapura, Brunei, Sarawak dan Sabah. Bung Karno
memandang ini sebagai proyek Nekolim Inggris, bukan pemikiran asli dari Tunku.
Indonesia meminta agar diselengarakan plebisit di Borneo Utara. Tapi ditolak
oleh Tunku. Indonesia marah lalu melancarkan konfrontasi (1963-1966).
Hubungan baru dibangun oleh Perdana Menteri kedua
Malaysia, Tun Abdul Razak Hussein dan Presiden kedua Indonesia, Soeharto dalam
bentuk yang lebih baik dan damai.
Konsep bangsa serumpun kembali bergema dengan lebih nyata. Apakah faktor yang berada di belakang persahabatan baru ini?
Konsep bangsa serumpun kembali bergema dengan lebih nyata. Apakah faktor yang berada di belakang persahabatan baru ini?
Seperti diketahui, Tun Razak di Indonesia
terkenal sebagai keturunan Bugis, sementara Adam Malik wakil presiden kedua RI
dan Tun Muhammad Ghazali Shafei adalah masih berkerabat sebagai orang
Mandailing (Sumatra). Dalam hal ini, faktor semangat bangsa serumpun kembali
berperan. Sementara itu Ali Moertopo yang sama-sama dengan Soeharto adalah
pemimpin-pemimpin tentara yang anti komunis.
Dalam zaman Tun Razak juga, Indonesia dan
Malaysia menyelenggarakan kerjasama latihan militer: Malindo Samatha, Malindo
Jaya, Malindo Mini dan Kris Kartika. Kerjasama dalam bidang pendidikan dan
kebudayaan pun dipertingkatkan. Indonesia dan Malaysia muncul sebagai penaja
organisasi ASEAN.
Selat Melaka pula diistiharkan sebagai perairan
bukan-internasional tapi berada di bawah kawalan Indonesia dan Malaysia. Tidak
seperti Tunku, Tun Razak tidak banyak menyimpan kecurigaan kepada Indonesia.
Zaman pemerintahan Razak, adalah zaman kecemerlangan hubungan serumpun Indonesia-Malaysia. Kiprah Tun Razak kemudian dilanjutkan oleh Perdana Menteri ketiga Malaysia, Tun Hussein Onn.
Zaman pemerintahan Razak, adalah zaman kecemerlangan hubungan serumpun Indonesia-Malaysia. Kiprah Tun Razak kemudian dilanjutkan oleh Perdana Menteri ketiga Malaysia, Tun Hussein Onn.
Pada zaman Tun Razak, Malaysia mengundang guru
dan dosen dari Indonesia mengajar di Malaysia, terutama di Jabatan Pegajian
Melayu bertujuan untuk mempertingkatkan kesusteraan Melayu. Di antaranya yang
terkenal adalah Sultan Takdir Alisjahbana.
Hubungan akrab kedua negara pada zaman Dr
Mahathir Mohamad (Perdana Menteri Malaysia keempat) mulai agak terkikis. Ada
faktor Mahathir berperan dalam penurunan taraf hubungan ini.
Mahathir adalah seorang pemimpin yang mempunyai
karakter tersendiri. Di bawah kepimpinannya ekonomi Malaysia maju pesat dan
secara politik pula Malaysia mulai berperan di arena internasional. Mahathir
bahkan muncul sebagai jurubicara dunia ketiga. Kondisi ini menghujat kepimpinan
Indonesia di bawah Soeharto.
Konflik status Sipadan dan Ligitan muncul ke
permukaan secara serius untuk pertama kalinya. Mulanya disepakati kedudukan status
quo untuk pulau-pulau ini, tapi kemudian Malaysia membangun fasilitas
pelancongan (pariwisata, red) di pulau tersebut. Akhirnya perselisihan
disepakati untuk diselesaikan oleh Mahkamah Internasional (Internasional Court
of Justice tahun 2002), kemudian ternyata perselisihan ini dimenangkan oleh
Malaysia. Berbagai masalah perbatasan muncul pada masa Mahathir ini, yang terus
diwarisi oleh Abdullah Badawi (Perdana Menteri kelima) dan Najib (Perdana
Menteri keenam).
Migrasi dari Indonesia ke Semenanjung sudah biasa
sejak dahulu. Pada zaman Tun Razak, Malaysia mengundang guru dan dosen dari
Indonesia. Tapi corak migrasi pada zaman Mahathir, Abdullah Badawi dan Najib
berbeda. Yang datang adalah pekerja-pekerja kasar, kurang terdidik, dan
orang-orang miskin dari perdesaan, yang bekerja di sektor perladangan,
pembangunan di perkotaan, dan sebagian lain bekerja sebagai pembantu rumah.
Mereka adalah dari kelas bawah, yang dipanggil dengan sebutan “Indon” oleh
orang Malaysia.
Tapi yang lebih serius daripada itu adalah
masalah migran gelap, yang berperan sebagai puncak masalah sosial di Malaysia.
Tahun 1981 diduga ada 100.000 migran gelap dari Indonesia, tahun 1987 mencecah
1 juta orang. Tahun 2011 diduga 2 juta orang. Efek negatif dari migran ini
tidaklah main-main, kriminal, pencurian, perampokan, pembunuhan dan sebagainya.
Menurut catatan, tiga puluh enam persen dari narapidana di penjara Malaysia
adalah migran dari Indonesia. Padahal pemulangan migran gelap telah dilakukan
berkali-kali.
Bagi Indonesia pula, masalah migran Indonesia
adalah tentang perlakuan kasar majikan terhadap pembantu rumah, pemberian gaji
yang kecoh oleh majikan, dan perlakuan kasar dan menghina oleh polisi dan
relawan Malaysia terhadap migran Indonesia. Masalah ini menjadi salah satu
puncak hubungan tidak harmoni antara kedua
negara.
negara.
Ada kecenderungan semangat bangsa serumpun makin
mulai hilang di Indonesia, karena kekecewaan atas sikap “arogansi” saudara
serumpunnya, Malaysia.
Satu hal pula yang perlu dicatat,
penggunaan istilah “Indon” di Malaysia punya dampak negative di
Indonesia.
Istilah “Indon” di Malaysia berbeda dengan
istilah “Indon” di Indonesia. Di Indonesia, istilah ini berkonotasi
negative yang dianggap sebagai ejekan atau penghinaan. Tetapi di Malaysia
istilah ini merupakan sebuah singkatan yang mengacu kepada Negara atau rakyat
Indonesia ,bukan yang lainnya.
Sekadar catatan, budaya Malaysia memang lebih
suka dengan istilah perkataan singkat/singkatan dalam percakapan umum
sehari-hari (pribadi).
Sebagaimana singkatan lainnya contohnya
Banglades, di Malaysia lebih popular dengan istilah “Bangla“ juga mempunyai
makna sama seperti di atas, yaitu sebuah singkatan yang mengacu kepada
bangsa/rakyat Banglades. Begitu juga istilah KL= Kuala Lumpur. Di Malaysia
lebih populer dengan istilah KL daripada Kuala Lumpur-nya.
Karenanya, jika hal-hal kecil tidak menjadi
perhatian, boleh jadi kerasian hubungan dua negeri serumpun ini akan terus
makin jauh. Adalah suatu yang kurang masuk akal, jika dua Negara yang punya
‘hubungan darah’ terlibat konflik hanya karena urusan bola, atau
urusan-urusan lebih kecil lainnya. Padahal, jika dua kekuatan serumpun ini
bersatu, bukan tidak mungkin akan menjadi kekuatan baru, sebuah kawasan Negara
Melayu berpenduduk Muslim yang kuat yang disegani di Asia dan dunia.
Sumber :
http://www.hidayatullah.com/read/26329/12/12/2012/menanti-bangsa-serumpun-malaysia-indonesia-berjaya.html
Konsulat
Malaysia di Pekanbaru, Riau, berharap hubungan negaranya dengan Indonesia dapat
terjalin harmonis dan terpupuk hingga mencapai tujuan yang sejalan.
“Hal ini karena Indonesia dan
Malaysia merupakan dua negara saling berdampingan. Segala upaya kemajuan
ekonomi bisa dipacu dengan baik antarkeduanya,” kata Konsulat Malaysia, Azizan
Ismail, di Pekanbaru, Sabtu.
Malaysia tengah bersiap merayakan
Hari Nasional-nya (sama dengan peringatan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia),
sebentar lagi. Berbagai persiapan telah dilakukan secara simultan sejak
beberapa waktu lalu.Dia menyatakan, Malaysia dalam kebangkitan bernegara juga
tidak hanya mengukuhkan dan meningkatkan kemakmuran dalam negara sendiri, namun
juga berupaya mempererat hubungan internasional.
Salah
satunya, demikian Azizan, Malaysia selalu senantiasa mengeratkan hubungan dan
kerja sama dengan negara-negara asing khususnya negara jiran seperti Indonesia.
“Hubungan
yang terjalin rapat sejak turun-temurun diantara dua jiran tetangga terdekat
ini, sesungguhnya mempunyai hubungan dua hal yang sangat aktif, mencakup
berbagai bidang,” katanya.
“Termasuk juga hubungan rakyat kedua
negara ini. Diharapkan pula semangat persaudaraan dan kesetiakawanan perlu
terus dijadikan landasan hubungan yang baik antara Malaysia dengan Indonesia
kedepan,” katanya.Hubungan harmonis kedua negara ini, demikian Azizan,
merupakan arah tujuan positif bagi masa depan bangsa yang tiada tara.
“Untuk
itu pula, jangan ada iri hati beserta dengki atas apa yang di raih saat ini.
Padukan kebersamaan bangsa untuk terus maju,” katanya.
Beberapa waktu lalu, kemesraan
hubungan Indonesia dengan Malaysia itu sempat terganggu akibat “klaim” Malaysia
atas beberapa kekayaan budaya Indonesia, juga wilayah perairan nasional. Ini
juga menjadi pekerjaan rumah serius bagi Indonesia untuk lebih menata diri.
Sumber:
http://www.antaranews.com/berita/330666/malaysia-ingin-hubungan-harmonis-dengan-indonesia
Transformasi Isu Konflik dan Hubungan
Indonesia-Malaysia
Oleh
Prof. Madya Dr. Ahmad Martadha
Mohamed and Dr. Suyatno
School of Government – COLGIS
Universiti Utara Malaysia
School of Government – COLGIS
Universiti Utara Malaysia
Pendahuluan
Memanasnya hubungan
Indonesia-Malaysia sepertinya menjadi ritual tahunan dan selalunya bisa
dikatakan hangat-hangat tahi ayam. Cepat muncul tapi juga cepat lenyap seiring
dengan bergantinya isu-isu seksi lainnya yang bisa menggeser perhatian pada isu
yang menyebabkan konflik. Sebagaimana beberapa tahun sebelumnya, iaitu isu Tari
Pendet akhirnya lenyap ditelan bumi hanya dalam hitungan beberapa minggu saja
dan diganti dengan isu Bank Century, yang juga lenyap diganti dengan sederet
isu seksi lainnya seperti pornografi Ariel Peterpan, remisi koruptor dan
terakhir isu korupsi yang dilakukan kader Partai Demokrat yang menghebohkan
mengubur isu-isu yang membuat panas hubungan kedua negara tersebut.
Namun demikian seolah tak pernah
kehabisan bahan untuk menyulut bara konflik kembali, isu terakhir tentang Tari
Tor Tor dan Gorda Sambilan yang oleh komunitas di Malaysia didaftarkan sebagai
bagian budaya Malaysia, menjadi isu terkini yang memanas. Ini menyusul isu
penembakan terduga pelaku tindak kriminal terhadap 3 (tiga) warga Indonesia, di
Negeri Sembilan oleh Polis DiRaja Malaysia. Sejumlah elit Indonesia seolah
berebut menunjukkan patriotisme dan semangat nasionalisme dengan memberikan
komentar yang kadang terdengar konyol karena tidak dilandasi oleh argumen
sosio-politik budaya yang memadai. Lihat saja komentar latah dalam isu ini
seperti yang diutarakan oleh Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Taufik
Kurniawan, yang mengusulkan mengganti film Upin-Ipin dengan film si Unyil
(DeTik.com, 2010). Sepertinya konsumen film Indonesia adalah konsumen yang
bodoh yang dengan seenaknya bisa ditukar-tukar seleranya oleh elit dengan
mengabaikan variabel pasar dan globalisasi. Atau lebih ekstrim lagi pernyataan
Wakil Ketua Komisi I DPR, yaitu Hayono Isman, yang juga merupakan anggota Dewan
Pertimbangan Partai Demokrat, yang tiba-tiba mengajak perang dengan Malaysia
kalau masalah Ambalat masih dipersoalkan oleh pihak Malaysia (Lensa
Indonesia.com, 2012). Ini pernyataan yang membuat banyak pihak terkejut dan
bertanya-tanya, karena dibuat sehari setelah berbagai pihak mempertanyakan urgensi
kunjungan resmi anggota Komisi I DPR ke Jerman dan sorotan masyarakat atas
banyaknya keterlibatan kader Partai Demokrat yang terlibat sangkaan korupsi
yang sedang diusut oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pemetaan konflik Indonesia-Malaysia
yang dibangkitkan oleh isu-isu sensasional perlu diketengahkan agar bisa
mewujudkan peluang untuk mentransformasikannya dalam bentuk perdamaian yang
langgeng. Mengingat konflik ini rutin terjadi dan seolah tak pernah kehabisan
isu untuk dipertengkarkan. Untuk itu upaya transformasi konflik amat perlu
didorong, karena dapat mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang
lebih luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif dari peperangan menjadi
kekuatan sosial dan politik yang positif.
Transformasi Konflik dan
Transformasi Isu
Reinmann menyatakan bahwa
transformasi konflik merujuk pada hasil, proses dan struktur yang ditujukan
pada usaha membina perdamaian yang berkelanjutan, yang bertujuan secara
sungguh-sungguh untuk mengatasi budaya dan struktur kekerasan. Transformasi
konflik merupakan suatu yang tanpa batas, jangka panjang dan merupakan proses
dinamis yang secara nyata memperlebar ruang lingkup pelaku yang terlibat
(C.Reimann, 2001). Sementara Lederech (Lederach, 2003) menjelaskan bahwa
transformasi konflik adalah sebuah proses penanganan konflik dengan cara
mengamati dan menanggapi pasang surutnya konflik sosial sebagai kesempatan
pemberian diri untuk menciptakan proses-proses perubahan yang konstruktif, yang
mengurangi kekerasan, meningkatkan keadilan dalam interaksi langsung dan
struktur sosial dan menanggapi masalah-masalah riil kehidupan dalam
relasi-relasi yang manusiawi. Adapaun penjelasan lebih terperinci diberikan
oleh Miall dkk (Miall, et.al.,1999) yang menyatakan bahwa terdapat 5 aspek transformasi
konflik, yaitu transformasi konteks, transformasi struktural, transformasi
aktor, transformasi isu dan tranformasi kelompok dan personal.
Dari uraian ini nampak jelas ketika
pemetaan konflik bisa dilakukan maka akan jelas adanya peluang-peluang untuk
melakukan perubahan konstruktif dengan memberikan tekanan serta prioritas
kepada aspek-aspek yang mana yang bisa dikedepankan untuk ditransformasikan
dengan segera. Dalam memahami konflik Indonesia – Malaysia, aspek transformasi
isu adalah yang krusial untuk dibahas dan sekaligus memiliki peluang untuk
meredakan dan merubah konflik ke arah yang konstruktif relatif lebih cepat.
Mengingat transformasi isu adalah manakala konflik ditentukan oleh kedudukan
para pihak dalam menghadapi suatu isu/masalah, apabila mereka mengubah
posisinya, atau ada isu baru maka terjadilah perubahan pada konflik itu
(Vayrynen, 1991).
Untuk itu usaha mentransformasi isu
konflik Indonesia-Malaysia bisa dimulai dengan mengimbangi isu yang muncul dan
sensasional dengan memunculkan realita positif yang ditimbulkan oleh hubungan
keda negara tersebut. Tak kalah menariknya fakta atau masalah yang secara
substansial memiliki kemiripan dengan isu yang memantik konflik, seperti
misalnya isu klaim budaya, yang dimiliki oleh bangsa Indonesia juga adalah
bentuk usaha bijaksana untuk melahirkan sikap otokritik yang mendalam sebelum
menuduh negeri Jiran melakukan hal yang sama. Juga menjelaskan istilah-istilah
yang salah kaprah, seperti Hak Paten Budaya yang memang tidak dikenal dalam
literatur studi hukum, tetapi menjadi tema sentral yang dibahas oleh media dan
masyarakat Indonesia.
Implikasi Positif Hubungan
Indonesia-Malaysia
Suka atau tidak, hubungan
Indonesia-Malaysia diibaratkan benci tapi rindu. Benci karena dianggap sering
memunculkan masalah-masalah yang sensitif, tetapi pada saat bersamaan muncul
juga rasa rindu karena berhubungan dengan Malaysia banyak menjanjikan
keuntungan dari berbagai aspek. Aspek ekonomi adalah salah satu aspek yang
terbesar yang dipetik oleh Indonesia secara langsung. Terlepas banyak nada
miring dengan realita pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) yang dianggap
banyak pihak merendahkan martabat bangsa karena hanya mampu mengirimkan tenaga
kasar, tetapi Malaysia tetap menjadi pilihan utama para pencari kerja tersebut.
Jumlah TKI yang bekerja di Malaysia menurut data resmi Kementerian Tenaga Kerja
dan Transmigrasi (Kemenakertrans) mencapai 1,2 juta orang. Angka tersebut
disusul Arab Saudi yang menempati urutan kedua yaitu tercatat 927.500 orang.
Selain itu, dari sisi jumlah TKI yang bekerja di luar negeri hingga awal
Februari 2010 jumlahnya mencapai 2.679.536 orang. Untuk pemasukan devisa yang
dihasilkan dari remitansi yang dikirimkan TKI sampai akhir tahun 2009 mencapai
US$ 6,615 miliar (Detikfinance, 2010). Ini menggambarkan Malaysia masih
diandalkan sebagai negara penyumbang devisa negara terbesar di sektor
pengiriman tenaga kerja.
Yang menarik pada aspek pendidikan
dan tenaga kerja adalah bahwa Malaysia kini menjadi incaran para pelajar dan
mahasiswa Indonesia untuk belajar di sana dan para dosen Indonesia mencari
peruntungan di negeri jiran tersebut. Menurut keterangan Atase Pendidikan
Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kuala Lumpur, Rusdi MA, terdapat
sekitar 4.000 warga Indonesia menjadi dosen dan peneliti di perguruan tinggi di
Malaysia. Mereka tersebar di seluruh negari mulai dari Selangor, Johor, Kedah
ataupun Melaka dengan jumlah bervariasi. Keterlibatan para dosen Indonesia di
kampusnya termasuk dalam bentuk penelitian dan pengajaran, namun soal kebijakan
penting masih dipegang oleh pihak Malaysia. Sementara itu, mahasiswa Indonesia
yang kuliah di perguruan tinggi di negeri ini baik yang kuliah di universitas
negeri ataupun swasta cukup banyak yaang mencakup jenjang pendidikan S1, S2,
bahkan untuk program S3. Berdasarkan data KBRI Kuala Lumpur, jumlah mahasiswa
Indonesia di Malaysia dalam beberapa tahun terakhir ini masih cukup banyak
terutama pada tahun 2008 yang mencapai 14.359 orang. Pada 2009, jumlahnya turun
drastis menjadi 10.392 orang, namun pada tahun 2010 (sampai Mei) kembali naik
menjadi 13.627 mahasiswa. Ada beberapa alasan para mahasiswa Indonesia
berkuliah di Malaysia seperti biaya yang lebih murah dibanding Eropa dan
Amerika Serikat, bahasa dan budaya yang banyak kesamaannya ataupun kemudahan
transportasi publik sehingga memperlancar aktivitas belajar mereka. Sementara
jumlah mahasiswa Malaysia di Indonesia memang tidak sebanyak mahasiswa
Indonesia, tapi dari sisi jumlah juga menunjukkan tren meningkat dari 2.344
mahasiswa di tahun 2005 menjadi 5.788 mahasiswa di tahun 2009. Bahkan pada 2010
(sampai Mei), jumlahnya mencapai 6.086 mahasiswa (AntaraNews, 2011).
Di bidang pariwisata, terdapat
optimisme besar ketika pemerintah Indonesia kian bersemangat memancing
wisatawan Malaysia untuk lebih banyak lagi datang. Pemerintah Indonesia
menargetkan jumlah wisatawan asal Malaysia pada tahun 2012 meningkat sebesar
lima hingga 10 persen dibandingkan tahun lalu yang mencapai 1,03 juta orang.
Para wisatawan tersebar di berbagai objek wisata di Aceh, Medan, Padang, dan
sejumlah tempat di wilayah Sumatera. Demikian pula untuk wilayah Jawa mulai
dari Bandung, Garut, Solo, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Bali hingga lombok
serta Makassar. Di Yogyakarta sendiri pada tahun 2011 jumlah wisatawan asal
Malaysia menempati urutan keempat terbesar setelah Belanda, Jepang dan Prancis
dengan jumlah sekitar 17.500 orang, sedangkan Belanda sekitar 26 ribu orang
(antarasumut.com, 2012). Ini adalah fenomena menarik ketika sebagian masyarakat
Indonesia menghujat Malaysia sebagai respon munculnya konflik tetapi pada saat
bersamaan tren kedatangan wisatawan Malaysia cenderung meningkat.
Lebih menarik lagi ketika ramai isu
penembakan 3 (tiga) WNI yang diduga pelaku krimal oleh Polis DiRaja Malaysia,
dan menimbulkan sejumlah demonstrasi di beberapa daerah, khususnya daerah
Lombok dimana ketiga korban tersebut berasal, ada informasi yang seolah
tenggelam oleh isu konflik tersebut. Padahal secara substansial isu tersebut
sangat menguntungkan masyarakat Lombok. Kompas memberitakan bahwa Pemerintah
Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, belum bisa memenuhi permintaan lulusan
sekolah menengah kejuruan (SMK) jurusan elektro dari Malaysia. Hanya sekitar
300 orang yang bisa dikirmkan ke Malaysia, padahal kebutuhan disana mencapai
5.000 orang. Ini disebabkan lulusan jurusan elektro memang sedikit. Ironinya
pemberitaan ini terdapat dalam pemberitaan media surat kabar Kompas, dalam
kolom yang sangat kecil (Kompas, 2012).
Ini adalah beberapa aspek yang bisa
diketengahkan sebagai realita positif hubungan Indonesia-Malaysia. Tentunya
banyak sisi positif yang lain yang bisa menunjukkan fakta bahwa berhubungan
dengan Malaysia tidak sekedar menebar dan memperoleh kebencian serta permusuhan
semata tetapi juga bisa melahirkan banyak manfaat bagi kedua belah pihak. Jadi
mentransformasi isu konfllik kearah penunjukkan fakta-fakta positif sebagai
implikasi hubungan menjadi urgens untuk dilakukan, tidak saja untuk mengimbangi
obyektitifitas berita tetapi menunjukkan realita apa adanya.
Klaim Budaya, Hak Paten dan Hak
Cipta
Perselisihan budaya adalah isu yang
sering muncul dan menimbulkan konflik yang cukup hangat antara
Indonesia-Malaysia. Mulai dari isu penjiplakan lagu kebangsaan Malaysia
terhadap lagu Indonesia, lagu Rasa Sayange, Tari Reog, makanan Rendang,
Angklung, Tari Pendet, Batik, dan yang terakhir Tari Tor Tor dan Gondang
Sambilan. Ini sebenarnya adalah implikasi wajar dari sebuah bangsa yang dulunya
bermukim dalam satu wilayah Nusantara sebelum kedatangan penjajah. Hibridisasi
atau bahkan penjiplakan adalah bentuk respons wajar dari pertemuan budaya yang
memang tidak mengenal batasan geografis seiring dengan mobilitas penggunanya
selama bertahun-tahun.
Konflik yang muncul sering hanya
mengedepankan atau bahkan menempatkan Malaysia pada posisi yang dianggap
sebagai pihak yang bersalah. Hal ini muncul karena Malaysia dianggap memantik
persoalan dengan mengklaim budaya komunitasnya sebagai budaya negara Malaysia.
Padahal yang sering terjadi adalah kesalahpahaman seperti misalnya dalam isu
klaim budaya Tari Tor Tor dan Gondang Sambilan. Komunitas etnis Mandailing yang
sudah ratusan tahun bermukim di wilayah semenanjung Melayu yang kini bernama
negara Malaysia, memerlukan pengakuan negaranya agar warisan budaya tersebut
dapat dipelihara oleh pemerintah dalam bentuk kebijakan yang mendukung
kelestariannya melalui Section 67 UU tentang warisan budaya nasional tahun
2005.
Adalah tindakan bijak kalau
otokritik sebaiknya juga dikemukakan secara lebih luas bahwa tuduhan-tuduhan
yang dilakukan sebagian masyarakat Indonesia terhadap perilaku Malaysia yang
suka klaim atau suka memfoto kopi budaya ternyata juga telah lama hingga kini
juga dilakukan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Ini penting untuk
mentransformasi isu bahwa apa yang berlaku di negeri jiran rupanya juga menjadi
kebiasaan disini.
Isu tentang tuduhan bahwa lagu
kebangsaan Malaysia, “Negaraku”, merupakan lagu yang berasal dari Indonesia,
yaitu “Terang Bulan”, dikemudian hari ditemukan fakta, sebagaimana dinyatakan
oleh pengamat musik Remy Silado, bahwa lagu aslinya berasal dari Perancis yang
diciptakan oleh Pierre-Jean de Beranger (1780-1857), “La Rosali” pada abad 19.
Perdebatan yang lain adalah seputar keaslian lagu kebangsaan Indonesia sendiri,
ketika banyak pihak meragukan karena adanya data bahwa Lagu “Indonesia Raya”
menjiplak lagu Willy Derby yang berjudul “Pinda Pinda Lekka Lekka”. Perebatan
muncul karena masih belum jelas siapa menjiplak siapa karena terdapat bukti
bahwa WR Supratman memperdengarkan lagu ini pertama kali pada tahun 1928 ketika
Kongres Sumpah Pemuda, sementra Willy Derby menyanyikannya pada tahun 1930-an.
Sementara bukti lain menujukkan lagu ini sudah populer tahun 1910-an (VoA
Islam, 2011). Hal ini memerlukan riset lebih jauh agar memperoleh kejelasan.
Pada budaya yang berkembang di
Indonesia sejak lama banyak ditemukan aspek orisinalitas sering kali diragui
benar-benar berasal dari Indonesia. Makanan Palembang pempek berasal dari
Kunming, China. Congklak sendiri berasla dari Afrika, 5000 tahun yang lalu.
Kesenian tradisional katrilli (Manado) berasal dari kata quadrille (Prancis).
Kereta Sado (batavia) berasal dari kata Dos ά dos (Prancis) yang bermakna duduk
saling memunggungi. Bahasa Indonesia yang ditetapkan sebagai bahasa persatuan
merupakan serapan dan campuran dari 30% bahasa Arab, 30% bahasa Eropa (Belanda,
Portugis, Inggris) dan 40% bahasa Melayu (Kompas, 2009).
Menarik lagi kalau ternyata Ramayana
oleh UNESCO dinyatakan sebagai seni tak benda (intangible cultural heritage)
India, tetapi malah dijual dalam paket pariwisata Indonesia dan diakui sebagai
budaya Jawa Tengah. Bahkan wayang yang dinyatakan UNESCO sebagai seni tak benda
Indonesia adalah budaya kombinasi dari India dan persia. Jadi tidak asli dari
Indonesia ((Kompas, 2009). Bahkan batik yang menjadi kebanggaan Indonesia
ternyata asal usulnya bukanlah asli dari Nusantara melainkan dari para
bangsawan India yang mengajarkan seni ini kepada para bangsawan kerajaan
Jenggala di daerah timur pulau Jawa (Kompas, 2000).
Belum lagi karya-karya seni populer
dewasa ini yang sulit menyatakan bahwa itu semua merupakan seni budaya
Indonesia karena kalau bukan meniru malah menjiplak karya asing. Anehnya banyak
diantara masyarakat yang tak tahu bahwa lagu yang begitu populer di tengah
masyarakat ternyata adlah versi “terjemahan” saja dari lagu berbahasa Inggris
ke lagu berbahasa Indonesia. Seperti misalnya lagu karangan Ahmad Dhani yang
populer, “Cintaku Kandas di Malaysia” yang merupakan versi terjemahan dari lagu
tahun 1973 yang dibawakan oleh group rock asal Belanda, Kayak, dengan judul
lagu “Ruthless Queen”.
Lebih ironi lagi ketika elit
pemerintah dan media serta masyarakat tak memahami makna sesungguhnya dari
istilah Hak Paten dan Hak Cipta. Hak Paten diperuntukkan untuk temuan-temuan
baru dalam bidang teknologi, sementara yang berkaitan dengan budaya dikenal
dengan Hak Cipta. Jadi terasa janggal kalau sampai ada istilah hendak
mematenkan budaya kepada UNESCO, karena ini menggambarkan ketidakmengertian
secara mendasar dalam bidang hukum tetapi sudah menjadi salah kaprah yang dibiarkan
terus menerus.
Seperti yang telah diketahui bersama
bahwa UNESCO merupakan badan dunia yang mengurus kebudayaan, pendidikan, dan
ilmu pengetahuan. Fokus kerja UNESCO dalam bidang kebudayaan yang mengurus
ihwal pendaftaran suatu bentuk kebudayaan menjadi warisan budaya tak benda
(Intangible Cultural Heritage/ICH). merumuskan tujuan kegiatannya untuk: (1).
Menjaga warisan budaya tak benda; (2). Memastikan penghormatan terhadap warisan
budaya tak benda yang dimiliki oleh masyarakat, kelompok, serta individu yang
bersangkutan; (3). Meningkatkan kesadaran lokal, nasional, serta internasional
mengenai pentingnya warisan budaya tak benda, dan apresiasinya satu sama lain;
sehingga; (4).Memberikan kerjasama dan bantuan internasional (unesco.org,
2012). Jadi disini jelas ICH hanya sekedar memfasilitasi kelestarian warisan
budaya tak benda dengan meningkatkan kesadaran hingga skala internasional,
sehingga dapat memunculkan kerjasama dan bantuan internasional untuk
mengusahakan kelestarian warisan budaya tak benda tersebut. Tidak ada urusannya
dengan Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Apalagi seolah-olah budaya bisa
dipatenkan.
Penutup
Dari penjelasan diatas, penulis
beragurmen bahawa munculnya isu konflik Inondesia-Malaysia adalah sesuatu yang
lumrah terjadi. Alasan sejarah dimana kedua negara tersebut pernah hidup
serumah dan “diceraikan” oleh penjajah adalah salah satu faktor munculnya
tumpang tindih persoalan sosial dan budaya diantara keduanya. Ini adalah
realita yang tidak boleh ditampik. Namun begitu bahawa ada sisi positif dari
kedua hubungan tersebut adalah juga realita yang harus dikemukakan dan
didorong. Sudah banyak terbukti banyak aspek yang diuntungkan oleh adanya
hubungan tersebut. Maknanya memberikan persoalan yang seimbang dalam persepktif
yang beragam sangatlah penting karena ini juga merupakan usaha transformasi isu
yang konstruktif.
Usaha transformasi isu yang lain
bisa dilakukan dengan menunjukkan betapa budaya yang sering mengalami konflik
diantara kedua negara ini, adalah wilayah yang sedari dulu berhubungan satu
sama lain, baik secara lokal, antar lokal maupun global. Konsekuensinya, jika
tidak terjadi hibridisasi maka terjadi pengaruh satu sama lain, atau bahkan
kemungkinan negatif terjadinya proses penjiplakan budaya. Sebelum marah dengan
apa yang terjadi di Malaysia yang diterjemahkan sebagai klaim budaya oleh
sebagian masyarakat Indonesia, maka berkaca diri dalam sejarah budaya sangatlah
penting untuk didorong terus menerus.
Media dan pemerintah serta elit
politik memiliki peranan vital dalam memelopori usaha ini, bukannya malah
memprovokasi masyarakat. Banyak masyarakat tidak memahami bagaimana substansi
persoalan yang sesungguhnya. Anehnya ini dimanfaatkan oleh media untuk membakar
isu murahan menjadi konflik baru. Jadi kalau ada ungkapan bahwa kalau ada orang
digigit anjing bukan berita tetapi kalau anjing digigit orang baru berita
nampaknya masih menjadi paham bersama sebagian besar media di Indonesia.
Padahal di era global seperti sekarang ini, fakta-fakta baru bisa ditemukan
yang menunjukkan perilaku yang sama dengan tuduhan kepada Malaysia yang
dianggap suka memfoto kopi budaya. Ibaratnya seperti kisah baru yang dipaksakan
muncul yaitu si Tukang Foto Kopi (Malaysia) dan Penjual CD bajakan (Indonesia)
di wilayah Asia Tenggara. Ini akan membuat lebih malu bangsa ini karena semakin
dianggap aneh oleh bangsa-bangsa lain.***
Rujukan:
Buku-Buku:
• 1000 Tahun Nusantara, 2000, Kompas, Jakarta.
• C.Reimann, 2001, Towards gender mainstreaming in crisis pre-vention and conflict management. Guidelines for Ger-man technical co-operation, Eschborn.
• Hugh Miall, Oliver Ramsbotham, Tom Woodhouse. 1999. Contemporary Conflict Resolution: The Prevention, Management and Transformation of Deadly Conflicts. Polity Press.
• Lederach, John Paul. 2003. “Conflict Transformation.” Beyond Intractability. Eds. Guy Burgess and Heidi Burgess. Conflict Information Consortium, University of Colorado, Boulder.
• Raimo Vayrynen, ed. 1991. New Directions in Conflict Theory. Sage Publications, London.
• 1000 Tahun Nusantara, 2000, Kompas, Jakarta.
• C.Reimann, 2001, Towards gender mainstreaming in crisis pre-vention and conflict management. Guidelines for Ger-man technical co-operation, Eschborn.
• Hugh Miall, Oliver Ramsbotham, Tom Woodhouse. 1999. Contemporary Conflict Resolution: The Prevention, Management and Transformation of Deadly Conflicts. Polity Press.
• Lederach, John Paul. 2003. “Conflict Transformation.” Beyond Intractability. Eds. Guy Burgess and Heidi Burgess. Conflict Information Consortium, University of Colorado, Boulder.
• Raimo Vayrynen, ed. 1991. New Directions in Conflict Theory. Sage Publications, London.
Internet:
• ” Indonesia Targetkan Wisatawan Malaysia Naik 10 Persen”, Antara Sumut, dalam http://www.antarasumut.com/pariwisata/indonesia-targetkan-wisatawan-malaysia-naik-10-persen/ (Diunduh 15 Mei 2012)
• “Konflik Perbatasan, Hayono Isman: Malaysia Kurang Ajar, Perang!”, Lensa Indonesia.com, Selasa, 8 Mei 2012, dalam http://www.lensaindonesia.com/2012/05/08/hayono-isman-malaysia-kurang-ajar-perang.html (diunduh 15 Mei 2012)
• “Lagu “Indonesia Raya” Menjiplak Lagu “Pinda Pinda Lekka Lekka”?”, VoA Islam, dalam http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2011/02/17/13365/lagu-indonesia-raya-menjiplak-pinda-lekka/ (diunduh 15 Mei 2012).
• “Lagu Kebangsaan Malaysia Menjiplak ”Terang Bulan”, Suara Merdeka.com, 1 Septembe 2009, dalam http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2009/09/01/78830/Lagu.Kebangsaan.Malaysia.Menjiplak….Tera (diunduh 15 Mei 2012).
• “Malaysia Menjadi Primadona TKI Mencari Uang di Luar Negeri”, Detikfinance, Minggu, 28 Pebruari 2010, dalam http://finance.detik.com/read/2010/02/28/180153/1307974/4/malaysia-menjadi-primadona-tki-mencari-uang-di-luar-negeri (Diunduh 15 Mei 2012)
• “Malaysia Minta 5.000 Lulusan SMK Elektronik”, Kompas, 29 Juni 2012
• “Ribuan Dosen Indonesia Mengajar di Malaysia”, AntaraNews, Rabu, 9 Maret 2011, dalam http://www.antaranews.com/news/249275/ribuan-dosen-indonesia-mengajar-di-malaysia (Diunduh 15 Mei 2012)
• “Salah Kaprah Paten Budaya”, Arif Havas Oegroseno, Kompas, 9 Oktober 2009.
• “Wakil Ketua DPR: Ganti Film Upin-Ipin dengan Si Unyil”, Detik.com, Senin 30 Agustus 2010, http://news.detik.com/read/2010/08/30/091241/1430749/10/wakil-ketua-dpr-ganti-film-upin-ipin-dengan-si-unyil?nd992203605 (diunduh 1 Mei 2012).
• http://unesco.org/culture/ich
• ” Indonesia Targetkan Wisatawan Malaysia Naik 10 Persen”, Antara Sumut, dalam http://www.antarasumut.com/pariwisata/indonesia-targetkan-wisatawan-malaysia-naik-10-persen/ (Diunduh 15 Mei 2012)
• “Konflik Perbatasan, Hayono Isman: Malaysia Kurang Ajar, Perang!”, Lensa Indonesia.com, Selasa, 8 Mei 2012, dalam http://www.lensaindonesia.com/2012/05/08/hayono-isman-malaysia-kurang-ajar-perang.html (diunduh 15 Mei 2012)
• “Lagu “Indonesia Raya” Menjiplak Lagu “Pinda Pinda Lekka Lekka”?”, VoA Islam, dalam http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2011/02/17/13365/lagu-indonesia-raya-menjiplak-pinda-lekka/ (diunduh 15 Mei 2012).
• “Lagu Kebangsaan Malaysia Menjiplak ”Terang Bulan”, Suara Merdeka.com, 1 Septembe 2009, dalam http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2009/09/01/78830/Lagu.Kebangsaan.Malaysia.Menjiplak….Tera (diunduh 15 Mei 2012).
• “Malaysia Menjadi Primadona TKI Mencari Uang di Luar Negeri”, Detikfinance, Minggu, 28 Pebruari 2010, dalam http://finance.detik.com/read/2010/02/28/180153/1307974/4/malaysia-menjadi-primadona-tki-mencari-uang-di-luar-negeri (Diunduh 15 Mei 2012)
• “Malaysia Minta 5.000 Lulusan SMK Elektronik”, Kompas, 29 Juni 2012
• “Ribuan Dosen Indonesia Mengajar di Malaysia”, AntaraNews, Rabu, 9 Maret 2011, dalam http://www.antaranews.com/news/249275/ribuan-dosen-indonesia-mengajar-di-malaysia (Diunduh 15 Mei 2012)
• “Salah Kaprah Paten Budaya”, Arif Havas Oegroseno, Kompas, 9 Oktober 2009.
• “Wakil Ketua DPR: Ganti Film Upin-Ipin dengan Si Unyil”, Detik.com, Senin 30 Agustus 2010, http://news.detik.com/read/2010/08/30/091241/1430749/10/wakil-ketua-dpr-ganti-film-upin-ipin-dengan-si-unyil?nd992203605 (diunduh 1 Mei 2012).
• http://unesco.org/culture/ich
Tidak ada komentar:
Posting Komentar