Minggu, 30 Oktober 2016

TEMU MOECHIL DI PECEL LONTONG OPOR BU HM


REUNI ALUMNI SMAN III IKIP YK DI RUMAH ETIKA


WD KASDM PKSI UGM 2012--2016


WD KASDM PKSI UGM 2012--2016


TAKZIAH KE RUMAH BUDHE BUDI RIATUN


DEKANAT FIB UGM 2012--2016 (Pujo SHY, Wening Udasmoro, Daud Aris T., HM)















CITA-CITA CINTA

Cita-cita Cinta (Kumpulan Cerita Anak) Penulis : Artha Amalia, Nimas Kinanthi, Choirin Fitri, dkk.





==Sebuah Karya untuk Anak Negeri==

Cita-cita Cinta (Kumpulan Cerita Anak)
Penulis : Artha Amalia, Nimas Kinanthi, Choirin Fitri, dkk.
Tebal: vi + 130 hlm ; 13x19 cm.
Cetakan Pertama, April 2012 oleh Penerbit Merdeka 
ISBN : 978-602-98076-3-9
Harga: Rp Rp 25.000,- – pesan langsung ke 081802633449 an Annie Izzatulkaromah Sp


Dengan membeli buku ini, maka Anda secara langsung membantu program gemar membaca Indonesia. Mengapa? Karena seluruh royalti penulis serta pendapatan yang diperoleh diperuntukkan untuk cetak ulang buku ini dan kembali dibagikan secara GRATIS ke berbagai sekolah di penjuru Nusantara secara bertahap. 

Pada hari ini, Selasa, 8 Mei 2012, sebanyak 26 buku Cita-cita Cinta telah mengisi ke-13 sekolah (9 SD/MI, 2 SMP/MTs, dan 2 SMA/SMK) yang berada di Kecamatan Kraton, Kabupaten Pasuruan.
Dokumentasi bila dilihat di:
http://www.facebook.com/media/set/?set=a.303386076390280.74819.100001566713195&type=1

Pemberitaan ada di wartapasuruan.com, ini linknya: 
http://www.wartapasuruan.com/2012/05/09/bagi-buku-gratis-di-hari-pendidikan/


-----
Komentar untuk buku ini :
Membaca Cita-cita Cinta juga seperti mengarungi lautan karya dalam tebaran kata. Ada ide besar yang menyatukan tema kumpulan cerita ini, tetapi masing-masing membawa rona rasa dan gaya serta nuansa yang berlainan. Itulah daya tariknya. Kumpulan cerita yang ditujukan kepada pembaca Sekolah Dasar dan Menengah ini merangkum banyak cerita pelayaran melintasi berbagai osean. Tentu saja lengkap dengan rekaman atas riak ombak yang menghiasi alur alirnya.

Begitulah kumpulan cerita berjudul Cita-cita Cinta ini mengutarakan nasihat, pesan moral, dan sisi-sisi positif dalam kehidupan dengan cara dan gaya yang beraneka, sebagaimana macam ragam ombak yang beriak di permukaan air laut/samudera. Bagaimanapun setiap orang wajib menganyam harapan dan mengejar cita-cita karena inilah penyulut gairah hidup yang sebenarnya. Gairah pencapaian itu akan semakin mantap ketika dipadukan dengan doa, keyakinan, dan ketulusan. Semoga selalu begitu. Aamiin. ~ Heru Marwata : Dosen Sastra Indonesia UGM

Sejarah Novel Sejarah Indonesia: Komunikasi Antara Dunia Sastra dengan Dunia Nyata

SEJARAH NOVEL SEJARAH INDONESIA:
KOMUNIKASI ANTARA DUNIA SASTRA DENGAN DUNIA NYATA
Oleh Heru Marwata
Jurusan Sastra Indonesia FIB UGM

           
Abstract

Literary works bring their spirit of age.  Its mean  that literary works can’t be separated from certain time context. So, there’s communication between literary and reality. Then, can we use “history” on literary works as a source of history? Several people agree that literary can be positioned as mental fact. Therefore, with certain consideration, with certain filter, and comparison and evaluation process, there’s chance that literary, or historical fact inside letarary works, being use as one secondary historical source.

Keywords: Indonesian historical novel, Literary works, history, reality


  1. Pengantar: Problematika Istilah

Ketika kita berbicara mengenai komunikasi, tak bisa tidak, kita sudah membayangkan adanya korelasi positif atau bahkan interaksi antara dua pihak atau lebih. Demikian pula halnya ketika tulisan kecil ini diberi subjudul KOMUNIKASI ... Sebagai konsekuensinya, perunutan atau pencarian hubungan antara SASTRA sebagai dunia imajiner (dunia imajinasi), dunia khayal, dunia angan-angan, dengan KENYATAAN (DUNIA NYATA) sebagai realitas merupakan kerja tambahan yang harus dilakukan. Meskipun demikian, tentu saja kerja sampingan itu sudah tidak berat lagi karena usaha ke arah itu memang sudah banyak dilakukan, hasilnya sudah banyak dibukukan, dan pengakuan atasnya pun sudah hampir bisa dikatakan tak terhitung lagi jumlahnya. Konsep bahwa sastra merupakan salah satu sarana komunikasi antara pengarang dengan pembaca, misalnya, juga telah diakui oleh banyak ahli. Tidak ada masalah. Sementara itu, judul  SEJARAH NOVEL SEJARAH INDONESIA sengaja dipilih karena dari istilahnya saja sebenarnya sudah mengandung problematika. Dari judul itu setidaknya dapat dibicarakan beberapa konsep atau istilah turunan berikut.

  1. Sejarah Indonesia

Seperti yang telah tergores dalam catatan yang tebal dan penuh mutiara (bahkan luka, darah, dan air mata), tentu sejarah Indonesia bukan lagi barang baru yang perlu diperdebatkan. Kalau toh ditemukan beberapa hal yang dirasa mengganjal atau menggelinjang, tentu bagian itu tidaklah banyak, dan biasanya cenderung menjadi bahan perbincangan sesaat atau beberapa saat saja. Selebihnya, hampir dapat dikatakan bahwa semua yang terjadi di sini, di negeri ini, relatif telah “menyejarah”. Dari sesuatu yang telah menyejarah itu juga tampak betapa hubungan antara sastra dengan realitas historis demikian dekatnya. Bahkan, dalam beberapa hal, hubungan itu demikian saling mempengaruhi.

  1. Novel Indonesia

Novel adalah salah satu genre sastra yang cukup banyak ditulis dengan menggunakan repertoar atau repertoire (terminologi Wolfgang Iser untuk menyebut “realitas ekstratekstual” dalam istilah Holub) peristiwa historis. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa genre sastra lainnya, seperti puisi dan naskah drama, tidak memanfaatkan aspek sejarah. Mengapa novel yang dipilih sebagai bahan diskusi? Dalam kasus ini novel dipandang memiliki  lebih banyak keleluasaan karena secara umum hampir semua unsur sastra (dalam istilah Robert Stanton sering disebut tema, fakta, dan sarana sastra) dapat diekspresikan secara rinci dan lebih gamblang dalam novel. Dalam beberapa hal novel juga lebih menyediakan “ruang” dibandingkan puisi, cerpen, atau naskah drama. Demikian pula halnya dalam kerangka komunikasi antara dua dunia: sastra dan realita.

  1. Sejarah Novel Indonesia

Buku sejarah sastra Indonesia pernah ditulis, misalnya oleh Ajip Rosidi. Buku-buku sejenis karya Ajip juga telah dipublikasikan. Sebagai bagian dari karya sastra Indonesia novel tentu saja juga ikut menjadi bahan bahasan buku-buku tersebut. Apakah yang dimaksud dengan “sejarah sastra”? Apakah pustaka yang berisi periodisasi serta daftar pengarang dan karya-karyanya merupakan buku sejarah sastra? Ada ahli yang mengajak (karena merasa perlu) kita menafsir ulang model penulisan sejarah sastra yang demikian itu. Tertarik?

  1. Novel Sejarah (Indonesia)

Dalam bahan pemicu diskusi tertulis ini novel sejarah diberi batasan sebagai novel yang memanfaatkan “sejarah” sebagai bahan penulisan, terlepas dari ada tidaknya pengakuan penulis. Adakah novel seperti itu di Indonesia? Jika dikaitkan dengan label resmi, misalnya berupa tulisan NOVEL SEJARAH (di sampul, misalnya), memang sangat sedikit contohnya. Di antara yang sedikit itu trilogi Rara Mandut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri karya Mangunwijaya merupakan contoh konkret. Namun, jika dasarnya bukan label, melainkan tanggapan atau pengakuan orang-orang yang berkompeten dalam bidang sastra (saat ini kebanyakan tanggapan/pengakuan seperti itu dimuat/disertakan dalam novel, misalnya di sampul dalam atau belakang, endorsemen), contoh karya yang dapat dimasukkan ke kriteria novel sejarah jumlahnya cukup banyak. Novel-novel karya Pandir Kelana dan Trilogi Gadis Tangsi Suparto Brata dapat disebut sebagai contoh. Juga salah satu di antara karya Pulau Buru Pramoedya. Bagaimana novel-novel itu “memakai” sejarah atau berkomuniksai dengan realitas historis? Apakah dengan demikian berarti “sejarah novel-sejarah” dapat disusun? Atau, jangan-jangan justru sebenarnya semua novel Indonesia adalah novel sejarah. Ini sebuah tantangan bagi para penulis sejarah sastra dan sejarah umum.

  1. Sejarah Novel dan Sejarah Indonesia

Tesis keempat Hans-Robert Jauss yang terkenal adalah SEMANGAT ZAMAN (lengkapnya 7 tesis itu adalah 1) pengalaman pembaca, 2) horison harapan, 3) jarak estetik, 4) semangat zaman, 5) rangkaian sastra, 6) sinkronis dan diakronis, serta 7) sejarah khusus dan sejarah umum). Dalam penjelasan konsep semangat zaman ditemukan semacam kesimpulan bahwa karya sastra membawa semangat zamannya. Arti mudahnya, karya sastra membawa “semangat zaman” ketika karya itu ditulis. Ini merupakan indikasi pengakuan bahwa karya sastra tidak bisa dilepaskan dari konteks waktu tertentu, lebih mudahnya lagi antara sastra dan realitas terjadi komunikasi. Sejarah novel (Indonesia) tidak dapat dicerabut dari akar sejarah (Indonesia). Jika logikanya dibalik, sejarah (Indonesia) telah (bahkan, pasti)  “mewarnai” sejarah novel (Indonesia). Dengan logika yang muluk-muluk, tentu tidak tertutup kemungkinan bahwa novel Indonesia juga punya peluang atau potensi untuk mempengaruhi sejarah Indonesia. Pernahkah kita menyadari bahwa  seri Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer (Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) pernah “mewarnai” sejarah Indonesia?
Semangat zaman adalah bagian dari sejarah. Apa fungsi aspek historis itu bagi novel? Membuat jarak estetik antara karya dan pembaca tidak terlalu renggang. Mengapa? Agar yang ada dalam karya itu tidak menjadi asing dan  tidak dikenali pembaca. Bagaimana dengan “kata mutiara” yang mengatakan bahwa sastra selalu berada dalam ketegangan antara tradisi dan inovasi dan bahwa karya sastra dinilai atau dihargai karena kebaruan atau invensinya? Untuk menjawabnya, karena sudah telanjur menyebut secara lengkap, sebaiknya kita membawa kisah ini ke konteks 7 tesis Jauss.
Hubungan ketujuh tesis Jauss di atas bersifat dialektis. Secara berurutan tesis pertama menjadi dasar tesis kedua, demikian seterusnya. Pengalaman baca seseorang akan mempengaruhi horison harapannya. Horison harapan yang dilandasi oleh pengalaman baca itu akan menentukan renggang rekatnya jarak estetik yang terjadi antara karya sastra dengan pembaca, dan seterusnya. Karya sastra membawa semangat zaman. Karya sastra berada dalam rangkaian sastra. Karya sastra berposisi dalam penampang  sinkronis dan diakronis. Karya sastra juga berada dalam konteks sejarah khusus dan sejarah umum. Tujuh tesis Jauss sebenarnya dapat dikatakan sebagai tesis komunikasi antara sastra dan kenyataan sejarah, antara dunia imajinasi dengan realitas historis.
Sayang memang bahwa kadang-kadang horison harapan pembaca tidak hanya dipengaruhi oleh pengalaman baca, tetapi juga oleh “kepentingan tertentu”. Akibatnya, karya-karya yang ditengarai berpotensi mempengaruhi “keinginan” dan “keingintahuan” pembaca jusru harus menerima tempelan label tertentu: salah satu label yang paling menakutkan adalah DILARANG. Era berganti, masa berlalu, tanggapan orang pun mengalami perubahan, dan label terhadap karya tertentu juga bisa diklethek seperti stiker. Dari uraian yang terbatas ini ada indikasi kemungkinan karya sastra mampu pula “menyemangati zaman” (bukan hanya membawa semangat zaman).
Sebagai ilustrasi, cermati kutipan pendapat Yahob Sumarjo dari halaman akhir roman Anak Semua Bangsa karya Pram berikut. “Kita beruntung menyaksikan novel besar pada dekade ini ... yang ... telah berhasil menggambarkan suasana sosial budaya zamannya.” Secara implisit jelas dalam pernyataan ini ada pengakuan antara sastra sebagai gambaran dunia dengan dunia (nyata) yang dilukiskannya.

  1. Sejarah Novel Sejarah dan Sejarah Indonesia

Dalam uraian sebelumnya (lihat nomor 5) disajikan semacam penjajaran antara Sejarah Novel dan Sejarah Indonesia. Dengan “semangat” yang sama pendampingan “Sejarah Novel Sejarah” dan “Sejarah Indonesia” pun pasti berterima. Sanusi Pane menulis Surapati dan Robert Anak Surapati serta Sandyakalaning Majapahit pada tahun 30-an. Apakah ada korelasi antara karya-karya Sanusi Pane dengan sejarah bangsa kita? Tampaknya sangat sulit untuk menolak atau menisbikan adanya hubungan tersebut.


  1. Novel Sejarah tentang Indonesia

Dalam sejarah novel Indonesia dikenal beberapa judul berikut. Rara Mendut (Balai Pustaka), Rara Mendut (Ajip Rosidi), Rara Mendut (Mangunwijaya). Jika dalam ketiga novel itu disebut-sebut nama tempat seperti Kerajaan Mataram dan Pati serta nama-nama tokoh seperti  Sultan Agung, Adipati Pragola, dan Tumenggung Wiraguna, adakah artinya bagi sejarah? Burung-burung Manyar karya Mangunwijaya, misalnya, menyebut-nyebut nama UGM {ketika tokoh fiktif Larasati mendapatkan gelar doktor dengan predikat summa cum laude di Balai Senat (pernah terjadikah dalam sejarah UGM?)}, menggunakan tiga latar waktu (prarevolusi, revolusi, dan pascarevolusi) penting di Indonesia, serta memasukkan tokoh Sjahrir yang terkenal. Adakah korelasi positif antara karya itu dengan sejarah Indonesia?
Mengapa karya Ki Panji Kusmin Langit Makin Mendung pernah menghebohkan dunia sastra Indonesia pada tahun 60-an? Mengapa Senja di Jakarta Mochtar Lubis dinilai mengritik Soekarno? Mengapa Para Priyayi dan Jalan Menikung serta Sri Sumarah karya Umar Kayam direkomendasikan untuk dibaca oleh orang (asing) yang ingin mengetahui seluk beluk orang (dan budaya) Jawa? Lasi—yang seperti orang Jepang—dalam  Bekisar Merah karya Ahmad Tohari dijadikan istri simpanan oleh seorang pejabat yang merasa perlu—karena gengsi—meniru  “gaya kawin” sang pemimpin besar revolusi. Apakah ini sebuah pertanda betapa cukup positifnya hubungan atau betapa terjalin eratnya  komunikasi antara sejarah dan sastra atau antara sejarah sastra dan sejarah bangsa?

  1. Sejarah dalam Novel (Sejarah)
Perhatikan beberapa kutipan berikut.
Roro Mendut ... dicipta baru dalam bentuk sastra dengan versi khas ... Tanpa meninggalkan pertanggungjawaban segi-segi historisnya yang dilandaskan pada studi tentang Babad Tanah Jawi, dokumen-dokumen .... (sampul belakang novel Roro Mendut karya Mangunwijaya). Apakah ini berarti bahwa dalam karya fiksi yang bergenre novel, khususnya novel sejarah, ada muatan sejarahnya? Jika ya, sejauh mana fakta historis fiksional itu bisa dianggap sebagai sebuah kebenaran? Apakah itu berlaku untuk semua karya dari semua penulis?
Genduk Duku ... mengungkap suasana tahun-tahun terakhir masa pemerintahan Sultan Agung ... serta suasana yang sendi-sendi historisnya dapat kita lacak dalam laporan-laporan sumber Barat, seperti yang didokumentasikan oleh bekas duta besar VOC di Mataram, ... semua itu diolah dalam ramuan cerita fiktif .... (sampul belakang novel Genduk Duku karya Mangunwijaya). Jika di sini disebutkan tentang ramuan cerita fiktif, masih layakkah kita mematok realitas imajinatif sebagai sebuah kenyataan? Di mana batas-batasnya?
... Lusi Lindri ini memantau, dalam bentuk novel sejarah, secermat mungkin data dan fakta historis Sunan Mangkurat I (abad ke-17), raja kejam Mataram dan zamannya yang penuh peristiwa dramatis. ... wilayah-wilayah (yang sekarang disebut) Bagelen, Magelang, dan Gunung Kidul .... (sampul belakang novel Lusi Lindri Mangunwijaya).  Bagaimana kita bisa memilih dan memilah secara tepat yang fakta sejarah dan realitas fiksional?
      Novel BALADA DARA-DARA MENDUT ini sebentuk dokumentasi, bahkan monumen juga berupa sastra yang “mengabadikan” suatu lembaran sejarah perintisan .... (sampul belakang novel Balada Dara-dara Mendut karya Mangunwijaya). Jika dikatakan mengabadikan suatu lembaran sejarah, apakah ini berarti bahwa semua yang dibeberkan adalah nyata adanya?
Perhatikan beberapa hal dan “fakta” berikut.
Suparto menikah dengan Rr. Ariyati, anak seorang petani kaya di Ngombol, Kedu Selatan. Rr. Ariyati lahir di Meurudu 1940, ketika ayahnya jadi serdadu kumpeni. Ketika Perang Dunia II meletus, ayahnya dibubarkan dari kumpeni di Bandung, sedangkan Ariyati bersama tiga orang saudaranya serta ibunya tertinggal bersama istri serdadu kumpeni lainnya di asrama tangsi Medan. Mereka dibawa mengungsi oleh tentara Belanda, tetapi terkejar oleh tentara Jepang di Blankejeren (biografi singkat Suparto yang dimuat di halaman terakhir trilogi novelnya). (realitas historis)
Bandingkan biografi di atas dengan “fakta” yang ada dalam novel Suparto ini.
Tokoh utama Trilogi Gadis Tangsi adalah Teyi. Adik Teyi, Tumpi, lahir di Meurudu. Tangsi Lorong Belawan berada di Medan. Ayah Teyi seorang serdadu kumpeni. Setelah ayahnya tewas dan Belanda mengalami kekalahan dari tentara Jepang, Teyi, Tumpi, dan ibunya bersama dengan istri-anak para serdadu kumpeni diungsikan oleh tentara Belanda. Rombongan pengungsi ini terkejar tentara Jepang di Blankejeren dan dijadikan tawanan. Akhirnya, keluarga Teyi yang berasal dari Ngombol bisa selamat kembali ke daerah asal. Teyi dan ibu serta adiknya sukses membangun Kerajaan Raminem (nama ibu Teyi) di Ngombol, menjadi tuan tanah dan juragan padi-beras. (realitas fiksional)
Perhatikan kutipan ini.
”Narasumber novel Kerajaan Raminem  adalah mertua Suparto Brata” (Kerajaan Raminem, 2006: 470). ”Narasumber novel Mahligai di Ufuk Timur ini adalah kesaksian, pengalaman, dan pengamatan Suparto Brata sendiri, asli dan murni” (sampul belakang Mahligai di Ufuk Timur, 2007). Ketika kita mencermati kata ”narasumber”, terbayanglah adanya sebuah ISI yang memerlukan BENTUK. Yang disampaikan mertua Suparto adalah ISI, dan yang ditulis Suparto dalam triloginya adalah BENTUK itu, yang lengkap dengan isinya dalam bentuk yang agak lain. Di sini ada dua realitas yang berbeda. Yang disampaikan mertua Suparto (kemungkinan besar) adalah realitas historis, sementara yang di-jlentreh-kan Suparto dalam triloginya adalah realitas fiksional. Demikian pula halnya ketika Suparto sendiri menjadi narasumber bagi novel yang ditulisnya.
      Dapatkah kita memanfaatkan ”sejarah” dalam karya sastra sebagai salah satu sumber sejarah? Ada beberapa orang yang bersepakat bahwa sastra dapat didudukkan sebagai fakta mental. Jadi, dalam beberapa hal, dengan berbagai pertimbangan, dengan filter tertentu, lewat proses komparasi dan evaluasi, sebenarnya tidak tertutup kemungkinan sastra, atau fakta historis dalam sastra, digunakan sebagai salah satu sumber sejarah (sekunder).
      Dulu, sebut saja novel-novel sebelum tahun 80-an, karya sastra yang menampilkan adegan yang dekat-dekat dengan seksualitas dianggap agak tabu. Bahkan, ada tokoh yang mensinyalir karya sastra dianggap sebagai pose pengarangnya di depan publik. Akibatnya, hampir tidak ada sastrawan yang ingin dicap suka berpose ”porno” di hadapan khalayak meskipun hanya lewat karyanya. Sekarang, sebut saja karya-karya para pengarang wanita seperti Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Fira Basuki, dan Dewi Lestari, ”pose” yang dulunya dianggap agak melanggar ketabuan justru ditengarai sedang ngetren. Sekadar tambahan informasi mengenai pose pengarang ini, beberapa waktu yang lalu UNY nanggap artis Ria Irawan untuk membacakan Vagina Monolog (dan ternyata diikuti oleh seorang peserta reuni FIB UGM dengan membacakan Vagina Monolog di Pendapa Rumah Dinas Bupati Sleman, edan ora?). Masa berganti, rezim bergulir, dan kita mungkin—jika dianugerahi umur panjang—akan menyaksikan wolak-waliking jaman karena yang dianggap baik dalam kriteria sekarang belum tentu bertahan di era yang telah berubah. Bukankah dalam sejarah juga pernah terjadi fenomena serupa? Bukankah gonta-gantinya buku teks sejarah merefleksikan adanya peristiwa tersebut? Kita lihat saja.


  1. Fakta dan Fiksi: Realita(s) dan Imajinasi à Komunikasi
Dalam konteks hubungan antara fakta dan fiksi, di manakah pengarang berposisi? Menurut teori strukturalisme-genetik sosiologi sastra Lucien Goldmann pengarang bukanlah individu, ia transindividu, menulis dengan pandangan dunia tertentu. Sebagai subjek transindividu pengarang “berbicara” (termasuk melalui karya sastra) atas nama kelompok tertentu atau kelompoknya (disadari atau tidak).
Konon, pengarang (apalagi pengarang besar/utama) termasuk kelompok orang yang memiliki kepekaan, daya perenungan, dan sekaligus kekuatan berimajinasi yang relatif tinggi. Ketika “berbicara” pengarang tidak hanya menyampaikan informasi atau fakta secara wantah, tetapi telah “membumbuinya” dengan pandangan, pikiran, harapan, serta misi dan visi tertentu. Bagi seorang “koki” fiksi, fakta adalah bahan mentah yang harus diolah agar siap saji, syukur-syukur dengan aroma yang merangsang indera, dengan performa yang mempesona, dengan citarasa yang memanjakan penggemarnya, dan dengan berjuta maksud yang belum tentu dapat kita raba-duga.
      Makin tinggi kemampuan sang koki fiksi dalam berimajinasi, makin tinggi pula kemungkinan fakta mentah yang diolahnya menjadi demikian mengundang selera (baca), dan dengan demikian, makin mudah pulalah komunikasi antara sastra dan realitas terjalin manis. Dalam konteks ini, semakin besar pulalah probabilitas karya cipta itu “menyejarah” dan mempengaruhi sejarah. Benarkah?

  1.  Penutup: Apologi

Demikian sekadar pemicu diskusi tertulis yang dapat disajikan mengenai komunikasi antara sastra dan realitas, antara dunia angan dengan kenyataan, antara dunia ciptaan pengarang dengan dunia hidup pengarang. Dengan mempertimbangkan beberapa uraian dan sekaligus bukti yang penulis coba beberkan, tampaknya mengakui adanya komunikasi antara dua dunia, sastra dan sejarah, bukanlah pengakuan yang tanpa dasar. Terlalu banyak bukti yang dapat dikemukakan sebagai pendukung atas pengakuan itu. Bagaimana dengan Anda?



DAFTAR PUSTAKA

Ananta Toer, Pramoedya. 1980. Bumi Manusia. Jakarta: Hasta Mitra.

_______. 1980. Anak Semua Bangsa.  Jakarta: Hasta Mitra.

_______. 1980. Rumah Kaca. Jakarta: Hasta Mitra.

Brata, Suparto. 2004. Gadis Tangsi. Jakarta: Kompas.

_______. 2006. Kerajaan Raminem. Jakarta: Kompas.

_______. 2007. Mahligai di Ufuk Timur. Jakarta: Kompas.

Barthes, Roland. 1990. S/Z. United Kingdom: Basil Blackwell Ltd.

Goldmann, Lucien. 1975. Towards a Sociology of the Novel. London: Tavistock Publication Ltd.

Holub, Robert C. 1989. Reception Theory: A Critical Introduction. London: Routledge.

Iser, Wolfgang. 1987. The Act of Reading: A Theory of Aesthetic Response. Baltimore & London: The John Hopkins University Press.

Jauss, Hans Robert. 1983. Toward an Aesthetic of Reception. Minneapolis: University of Minnesota Press.

Mangunwijaya, Y.B. 1993. Balada Dara-dara Mendut. Yogyakarta: Kanisius.

_______. 1994. Rara Mendut. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

_______. 1994. Genduk Duku. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

_______. 1994. Lusi Lindri. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

_______. 1986. Burung-burung Manyar. ? : Djambatan.

Stanton, Robert. 1964. An Introduction to Fiction. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc.

Sejarah Novel Sejarah Indonesia

JURNAL DAKWAH DAN KOMUNIKASI
Jurusan Dakwah STAIN Purwokerto KOMUNIKA ISSN: 1978-126
Vol.2 No.2 Jul-Des 2008 pp.131-139
SejarahNovel Sejarah Indonesia:
Komunikasi antara Dunia Sastra
dengan Dunia Nyata
Heru Marwata *)
*)Penulis adalah dosen tetap di Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya UGM Yogyakarta.
Abstract: Literary works bring their spirit of age. Its mean that literary works cant be separated from certain time context. So,
there’s communication between literary and reality. Then, can we use “history” on literary works as a source of history? Several
people agree that literary can be positioned as mental fact. Therefore, with certain consideration, with certain filter, and
comparison and evaluation process, there’s chance that literary, or historical fact inside literary works, being used as one
secondary historical source. Keywords: Indonesian historical novel, Literary works, history, reality.
PENGANTAR: PROBLEMATIKA ISTILAH
Ketika kita berbicara mengenai komunikasi, tidak bisa tidak, kita sudah membayangkan adanya korelasi positif atau
bahkan interaksi antara dua pihak atau lebih. Demikian pula halnya ketika tulisan kecil ini diberi subjudul Komunikasi ...
Sebagai konsekuensinya, perunutan atau pencarian hubungan antara Sastra sebagai dunia imajiner (dunia imajinasi), dunia
khayal, dunia angan-angan, dengan Kenyataan (Dunia Nyata) sebagai realitas merupakan kerja tambahan yang harus
dilakukan. Meskipun demikian, tentu saja kerja sampingan itu sudah tidak berat lagi karena usaha ke arah itu sudah banyak
dilakukan, hasilnya sudah banyak dibukukan, dan pengakuan atasnya pun sudah hampir bisa dikatakan tidak terhitung lagi
jumlahnya. Konsep bahwa sastra merupakan salah satu sarana komunikasi antara pengarang dengan pembaca, misalnya,
juga telah diakui oleh banyak ahli. Tidak ada masalah. Sementara itu, judul Sejarah Novel Sejarah Indonesia sengaja dipilih
karena dari istilahnya saja sebenarnya sudah mengandung problematika. Dari judul itu setidaknya dapat dibicarakan
beberapa konsep atau istilah turunan berikut.
SEJARAH INDONESIA
Seperti yang telah tergores dalam catatan yang tebal dan penuh mutiara (bahkan luka, darah, dan air mata), tentu sejarah
Indonesia bukan lagi barang baru yang perlu diperdebatkan. Kalau pun ditemukan beberapa hal yang dirasa mengganjal atau
menggelinjang, tentu bagian itu tidaklah banyak, dan biasanya cenderung menjadi bahan perbincangan sesaat atau beberapa
saat saja. Selebihnya, hampir dapat dikatakan bahwa semua yang terjadi di sini, di negeri ini, relatif telah “menyejarah”. Dari
sesuatu yang telah menyejarah itu juga tampak betapa hubungan antara sastra dengan realitas historis demikian dekatnya.
Bahkan, dalam beberapa hal, hubungan itu demikian saling mempengaruhi.
NOVEL INDONESIA
Novel adalah salah satu genre sastra yang cukup banyak ditulis dengan menggunakan repertoar atau repertoire
(terminologi Wolfgang Iser untuk menyebut “realitas ekstratekstual” dalam istilah Holub) peristiwa historis. Meskipun
demikian, tidak berarti bahwa genre sastra lainnya, seperti puisi dan naskah drama, tidak memanfaatkan aspek sejarah.
Mengapa novel yang dipilih sebagai bahan diskusi? Dalam kasus ini novel dipandang memiliki lebih banyak keleluasaan
karena secara umum hampir semua unsur sastra (dalam istilah Robert Stanton sering disebut tema, fakta, dan sarana sastra)
dapat diekspresikan secara rinci dan lebih gamblang dalam novel. Dalam beberapa hal novel juga lebih menyediakan “ruang”
JURNAL DAKWAH DAN KOMUNIKASI
Jurusan Dakwah STAIN Purwokerto KOMUNIKA ISSN: 1978-126
Vol.2 No.2 Jul-Des 2008 pp.131-139
dibandingkan puisi, cerpen, atau naskah drama. Demikian pula halnya dalam kerangka komunikasi antara dua dunia: sastra
dan realita.
SEJARAH NOVEL INDONESIA
Buku sejarah sastra Indonesia pernah ditulis, misalnya oleh Ajip Rosidi. Buku-buku sejenis karya Ajip juga telah
dipublikasikan. Sebagai bagian dari karya sastra Indonesia novel tentu saja juga ikut menjadi bahan bahasan buku-buku
tersebut. Apakah yang dimaksud dengan “sejarah sastra”? Apakah pustaka yang berisi periodisasi serta daftar pengarang dan
karya-karyanya merupakan buku sejarah sastra? Ada ahli yang mengajak (karena merasa perlu) kita menafsir ulang model
penulisan sejarah sastra yang demikian itu. Tertarik?
NOVEL SEJARAH (INDONESIA)
Dalam bahan pemicu diskusi tertulis ini novel sejarah diberi batasan sebagai novel yangmemanfaatkan “sejarah” sebagai
bahan penulisan, terlepas dari ada tidaknya pengakuan penulis. Adakah novel seperti itu di Indonesia? Jika dikaitkan dengan
label resmi, misalnya berupa tulisan Novel Sejarah (di sampul, misalnya), memang sangat sedikit contohnya. Di antara yang
sedikit itu trilogi Rara Mandut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri karya Mangunwijaya merupakan contoh konkret. Namun, jika
dasarnya bukan label, melainkan tanggapan atau pengakuan orang-orang yang berkompeten dalam bidang sastra (saat ini
kebanyakan tanggapan/pengakuan seperti itu dimuat/disertakan dalam novel, misalnya di sampul dalam atau belakang,
endorsemen), contoh karya yang dapat dimasukkan ke kriteria novel sejarah jumlahnya cukup banyak. Novel-novel karya
Pandir Kelana dan Trilogi Gadis Tangsi Suparto Brata dapat disebut sebagai contoh. Juga salah satu di antara karya Pulau
Buru Pramoedya. Bagaimana novel-novel itu “memakai” sejarah atau berkomuniksai dengan realitas historis? Apakah dengan
demikian berarti “sejarah novel-sejarah” dapat disusun? Atau, jangan-jangan justru sebenarnya semua novel Indonesia adalah
novel sejarah. Ini sebuah tantangan bagi para penulis sejarah sastra dan sejarah umum.
SEJARAH NOVEL DAN SEJARAH INDONESIA
Tesis keempat Hans-Robert Jauss yang terkenal adalah Semangat Zaman (lengkapnya 7 tesis itu adalah; (1)
pengalaman pembaca, (2) horison harapan, (3) jarak estetik, (4) semangat zaman, (5) rangkaian sastra, (6) sinkronis dan
diakronis, serta (7) sejarah khusus dan sejarah umum). Dalam penjelasan konsep semangat zaman ditemukan semacam
kesimpulan bahwa karya sastra membawa semangat zamannya. Arti mudahnya, karya sastra membawa “semangat zaman”
ketika karya itu ditulis. Hal ini merupakan indikasi pengakuan bahwa karya sastra tidak bisa dilepaskan dari konteks waktu
tertentu, lebih mudahnya lagi antara sastra dan realitas terjadi komunikasi. Sejarah novel (Indonesia) tidak dapat dicerabut
dari akar sejarah (Indonesia). Jika logikanya di balik, sejarah (Indonesia) telah (bahkan, pasti) “mewarnai” sejarah novel
(Indonesia). Dengan logika yang muluk-muluk, tentu tidak tertutup kemungkinan bahwa novel Indonesia juga punya peluang
atau potensi untuk mempengaruhi sejarah Indonesia. Pernah-kah kita menyadari bahwa seri Bumi Manusia Pramoedya
Ananta Toer (Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) pernah“mewarnai” sejarah Indonesia?
Semangat zaman adalah bagian dari sejarah. Apa fungsi aspek historis itu bagi novel? Membuat jarak estetik antara karya
dan pembaca tidak terlalu renggang. Mengapa? Agar yang ada dalam karya itu tidak menjadi asing dan tidak dikenali
pembaca. Bagaimana dengan “kata mutiara” yang mengatakan bahwa sastra selalu berada dalam ketegangan antara tradisi
dan inovasi dan bahwa karya sastra dinilai atau dihargai karena kebaruan atau invensinya? Untuk menjawabnya, karena
sudah telanjur menyebut secara lengkap, sebaiknya kita membawa kisah ini ke konteks 7 tesis Jauss.
Hubungan ketujuh tesis Jauss di atas bersifat dialektis. Secara berurutan, tesis pertama menjadi dasar tesis kedua,
demikian seterusnya. Pengalaman baca seseorang akan mempengaruhi horison harapannya. Horison harapan yang dilandasi
oleh pengalaman baca itu akan menentukan renggang rekatnya jarak estetik yang terjadi antara karya sastra dengan pembaca,
dan seterusnya. Karya sastra membawa semangat zaman. Karya sastra berada dalam rangkaian sastra. Karya sastra berposisi
JURNAL DAKWAH DAN KOMUNIKASI
Jurusan Dakwah STAIN Purwokerto KOMUNIKA ISSN: 1978-126
Vol.2 No.2 Jul-Des 2008 pp.131-139
dalam penampang sinkronis dan diakronis. Karya sastra juga berada dalam konteks sejarah khusus dan sejarah umum. Tujuh
tesis Jauss sebenarnya dapat dikatakan sebagai tesis komunikasi antara sastra dan kenyataan sejarah, antara dunia imajinasi
dengan realitas historis.
Sayang memang bahwa kadang-kadang horison harapan pembaca tidak hanya dipengaruhi oleh pengalaman baca,
tetapi juga oleh “kepentingan tertentu”. Akibatnya, karya-karya yang ditengarai berpotensi mempengaruhi “keinginan” dan
“keingintahuan” pembaca jusru harus menerima tempelan label tertentu: salah satu label yang paling menakutkan adalah
Dilarang. Era berganti, masa berlalu, tanggapan orang pun mengalami perubahan, dan label terhadap karya tertentu juga bisa
diklethek seperti stiker. Dari uraian yang terbatas ini ada indikasi kemungkinan karya sastra mampu pula “menyemangati
zaman” (bukan hanya membawa semangat zaman).
Sebagai ilustrasi, cermati kutipan pendapat Jakob Sumarjo dari halaman akhir roman Anak Semua Bangsa karya Pram
berikut. “Kita beruntung menyaksikan novel besar pada dekade ini ... yang ... telah berhasil menggambarkan suasana sosial
budaya zamannya.” Secara implisit jelas dalam pernyataan ini ada pengakuan antara sastra sebagai gambaran dunia dengan
dunia (nyata) yang dilukiskannya.
SEJARAH NOVEL SEJARAH DAN SEJARAH INDONESIA
Dalam uraian sebelumnya disajikan semacam penjajaran antara Sejarah Novel dan Sejarah Indonesia. Dengan
“semangat” yang sama pendampingan “Sejarah Novel Sejarah” dan “Sejarah Indonesia” pun pasti berterima. Sanusi Pane
menulis Surapati dan Robert Anak Surapati serta Sandyakalaning Majapahit pada tahun 30-an. Apakah ada korelasi antara
karya-karya Sanusi Pane dengan sejarah bangsa kita? Tampaknya sangat sulit untuk menolak atau menisbikan adanya
hubungan tersebut.
NOVEL SEJARAH TENTANG INDONESIA
Dalam sejarah novel Indonesia dikenal beberapa judul berikut. Rara Mendut (Balai Pustaka), Rara Mendut (Ajip
Rosidi), Rara Mendut (Mangunwijaya). Jika dalam ketiga novel itu disebut-sebut nama tempat seperti Kerajaan Mataram dan
Pati serta nama-nama tokoh seperti Sultan Agung, Adipati Pragola, dan Tumenggung Wiraguna, adakah artinya bagi sejarah?
Burung-burung Manyar karya Mangunwijaya, misalnya, menyebut-nyebut nama UGM {ketika tokoh fiktif Larasati
mendapatkan gelar doktor dengan predikat summa cum laude di Balai Senat (pernah terjadikah dalam sejarah UGM?)},
menggunakan tiga latar waktu (prarevolusi, revolusi, dan pascarevolusi) penting di Indonesia, serta memasukkan tokoh
Sjahrir yang terkenal. Adakah korelasi positif antara karya itu dengan sejarah Indonesia?
Mengapa karya Ki Panji Kusmin Langit Makin Mendung pernah menghebohkan dunia sastra Indonesia pada tahun
60-an? Mengapa Senja di Jakarta Mochtar Lubis dinilai mengritik Soekarno? Mengapa Para Priyayi dan Jalan Menikung
serta Sri Sumarahkarya Umar Kayam direkomendasikan untuk dibaca oleh orang (asing) yang ingin mengetahui seluk beluk
orang (dan budaya) Jawa? Lasi—yang seperti orang Jepang—dalam Bekisar Merah karya Ahmad Tohari dijadikan istri
simpanan oleh seorang pejabat yang merasa perlu—karena gengsi—meniru “gaya kawin” sang pemimpin besar revolusi.
Apakah ini sebuah pertanda betapa cukup positifnya hubungan atau betapa terjalin eratnya komunikasi antara sejarah dan
sastra atau antara sejarah sastra dan sejarah bangsa?
SEJARAH DALAM NOVEL (SEJARAH)
Perhatikan beberapa kutipan berikut.
Roro Mendut ... dicipta baru dalam bentuk sastra dengan versi khas ... Tanpa meninggalkan pertanggungjawaban segi-segi historisnya yang
dilandaskan pada studi tentang Babad Tanah Jawi, dokumen-dokumen .... (sampul belakang novel Roro Mendutkarya Mangunwijaya).
JURNAL DAKWAH DAN KOMUNIKASI
Jurusan Dakwah STAIN Purwokerto KOMUNIKA ISSN: 1978-126
Vol.2 No.2 Jul-Des 2008 pp.131-139
Apakah ini berarti bahwa dalam karya fiksi yang bergenre novel, khususnyanovel sejarah, ada muatan sejarahnya? Jika
ya, sejauh mana fakta historis fiksional itu bisa dianggap sebagai sebuah kebenaran? Apakah itu berlaku untuk semua karya
dari semua penulis?
Genduk Duku ... mengungkap suasana tahun-tahun terakhir masa pemerintahan Sultan Agung ... serta suasana yang sendi-sendi historisnya
dapat kita lacak dalam laporan-laporan sumber Barat, seperti yang didokumentasikan oleh bekas duta besar VOC di Mataram, ... semua itudiolah
dalam ramuan cerita fiktif.... (sampul belakang novel Genduk Dukukarya Mangunwijaya).
Jika di sini disebutkan tentang ramuan cerita fiktif, masih layakkah kita mematok realitas imajinatif sebagai sebuah
kenyataan? Di mana batas-batasnya?
... Lusi Lindri ini memantau, dalam bentuk novel sejarah, secermat mungkin data dan fakta historis Sunan Mangkurat I (abad ke-17), raja
kejam Mataram dan zamannya yang penuh peristiwa dramatis. ... wilayah-wilayah (yang sekarang disebut) Bagelen, Magelang, dan Gunung Kidul
.... (sampul belakang novel Lusi Lindri Mangunwijaya).
Bagaimana kita bisa memilih dan memilah secara tepat yang fakta sejarah dan realitas fiksional?
Novel BALADA DARA-DARA MENDUT ini sebentuk dokumentasi, bahkan monumen juga berupa sastra yang “mengabadikan” suatu
lembaran sejarahperintisan .... (sampul belakang novel Balada Dara-dara Mendutkarya Mangunwijaya).
Jika dikatakan mengabadikan suatu lembaran sejarah, apakah ini berarti bahwa semua yang dibeberkan adalah nyata
adanya?
Perhatikan beberapa hal dan “fakta” berikut.
Suparto menikah dengan Rr. Ariyati, anak seorang petani kaya di Ngombol, Kedu Selatan. Rr. Ariyati lahir di Meurudu
1940, ketika ayahnya jadi serdadu kumpeni. Ketika Perang Dunia II meletus, ayahnya dibubarkan dari kumpeni di Bandung,
sedangkan Ariyati bersama tiga orang saudaranya serta ibunya tertinggal bersama istri serdadu kumpeni lainnya di asrama
tangsi Medan. Mereka dibawa mengungsi oleh tentara Belanda, tetapi terkejar oleh tentara Jepang di Blankejeren (biografi
singkat Suparto yang dimuat di halaman terakhir trilogi novelnya) (realitas historis).
Bandingkan biografi di atas dengan “fakta” yang ada dalam novel Suparto ini.
Tokoh utama Trilogi Gadis Tangsi adalah Teyi. Adik Teyi, Tumpi, lahir di Meurudu. Tangsi Lorong Belawan berada di
Medan. Ayah Teyi seorang serdadu kumpeni. Setelah ayahnya tewas dan Belanda mengalami kekalahan dari tentara Jepang,
Teyi, Tumpi, dan ibunya bersama dengan istri-anak para serdadu kumpeni diungsikan oleh tentara Belanda. Rombongan
pengungsi ini terkejar tentara Jepang di Blankejeren dan dijadikan tawanan. Akhirnya, keluarga Teyi yang berasal dari
Ngombol bisa selamat kembali ke daerah asal. Teyi dan ibu serta adiknya sukses membangun Kerajaan Raminem (nama ibu
Teyi) di Ngombol, menjadi tuan tanah dan juragan padi-beras (realitas fiksional).
Perhatikan kutipan ini.
“Narasumber novel Kerajaan Raminem adalah mertua Suparto Brata” (Kerajaan Raminem, 2006: 470). “Narasumber
novel Mahligai di Ufuk Timur ini adalah kesaksian, pengalaman, dan pengamatan Suparto Brata sendiri, asli dan murni”
(sampul belakang Mahligai di Ufuk Timur, 2007). Ketika kita mencermati kata “narasumber”, terbayanglah adanya sebuah Isi
yang memerlukan Bentuk. Yang disampaikan mertua Suparto adalah Isi, dan yang ditulis Suparto dalam triloginya adalah
Bentuk itu, yang lengkap dengan isinya dalam bentuk yang agak lain. Di sini ada dua realitas yang berbeda. Yang disampaikan
mertua Suparto (kemungkinan besar) adalah realitas historis, sementara yang di-jlentreh-kan Suparto dalam triloginya adalah
realitas fiksional. Demikian pula halnya ketika Suparto sendiri menjadi narasumber bagi novel yang ditulisnya.
Dapatkah kita memanfaatkan “sejarah” dalam karya sastra sebagai salah satu sumber sejarah? Ada beberapa orang yang
bersepakat bahwa sastra dapat didudukkan sebagai fakta mental. Jadi, dalam beberapa hal, dengan berbagai pertimbangan,
dengan filter tertentu, lewat proses komparasi dan evaluasi, sebenarnya tidak tertutup kemungkinan sastra, atau fakta historis
dalam sastra, digunakan sebagai salah satu sumber sejarah (sekunder).
Dulu, sebut saja novel-novel sebelum tahun 80-an, karya sastra yang menampilkan adegan yang dekat-dekat dengan
seksualitas dianggap agak tabu. Bahkan, ada tokoh yang mensinyalir karya sastra dianggap sebagai pose pengarangnya di
depan publik. Akibatnya, hampir tidak ada sastrawan yang ingin dicap suka berpose “porno” di hadapan khalayak, meskipun
JURNAL DAKWAH DAN KOMUNIKASI
Jurusan Dakwah STAIN Purwokerto KOMUNIKA ISSN: 1978-126
Vol.2 No.2 Jul-Des 2008 pp.131-139
hanya lewat karyanya. Sekarang, sebut saja karya-karya para pengarang wanita seperti Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Fira
Basuki, dan Dewi Lestari, “pose” yang dulunya dianggap agak melanggar ketabuan justru ditengarai sedang ngetren. Sekadar
tambahan informasi mengenai pose pengarang ini, beberapa waktu yang lalu UNY nanggap artis Ria Irawan untuk
membacakan Vagina Monolog (dan ternyata diikuti oleh seorang peserta reuni FIB UGM dengan membacakan Vagina
Monolog di Pendapa Rumah Dinas Bupati Sleman, edan ora?). Masa berganti, rezim bergulir, dan kita mungkin—jika
dianugerahi umur panjang—akan menyaksikan wolak-waliking jaman karena yang dianggap baik dalam kriteria sekarang,
belum tentu bertahan di era yang telah berubah. Bukankah dalam sejarah juga pernah terjadi fenomena serupa? Bukankah
gonta-gantinyabuku teks sejarah merefleksikan adanya peristiwa tersebut? Kita lihat saja.
FAKTA DAN FIKSI: REALITA(S) DAN IMAJINASI --> KOMUNIKASI
Dalam konteks hubungan antara fakta dan fiksi, di manakah pengarang berposisi? Menurut teori strukturalisme-genetik
sosiologi sastra Lucien Goldmann pengarang bukanlah individu, ia transindividu, menulis dengan pandangan dunia tertentu.
Sebagai subjek transindividu pengarang “berbicara” (termasuk melalui karya sastra) atas nama kelompok tertentu atau
kelompoknya (disadari atau tidak).
Konon, pengarang (apalagi pengarang besar/utama) termasuk kelompok orang yang memiliki kepekaan, daya
perenungan, dan sekaligus kekuatan berimajinasi yang relatif tinggi. Ketika “berbicara” pengarang tidak hanya menyampaikan
informasi atau fakta secara wantah, tetapi telah “membumbuinya” dengan pandangan, pikiran, harapan, serta misi dan visi
tertentu. Bagi seorang “koki” fiksi, fakta adalah bahan mentah yang harus diolah agar siap saji, syukur-syukur dengan aroma
yang merangsang indera, dengan performa yang mempesona, dengan citarasa yang memanjakan penggemarnya, dan dengan
berjuta maksud yang belum tentu dapat kita raba-duga.
Makin tinggi kemampuan sang koki fiksi dalam berimajinasi, makin tinggi pula kemungkinan fakta mentah yang
diolahnya menjadi demikian mengundang selera (baca), dan dengan demikian, makin mudah pulalah komunikasi antara
sastra dan realitas terjalin manis. Dalam konteks ini, semakin besar pulalah probabilitas karya cipta itu “menyejarah” dan
mempengaruhi sejarah. Benarkah?
PENUTUP: APOLOGI
Demikian sekadar pemicu diskusi tertulis yang dapat disajikan mengenai komunikasi antara sastra dan realitas, antara
dunia angan dengan kenyataan, antara dunia ciptaan pengarang dengan dunia hidup pengarang. Dengan
mempertimbangkan beberapa uraian dan sekaligus bukti yang penulis coba beberkan, tampaknya mengakui adanya
komunikasi antara dua dunia, sastra dan sejarah, bukanlah pengakuan yang tanpa dasar. Terlalu banyak bukti yang dapat
dikemukakan sebagai pendukung atas pengakuan itu. Bagaimana dengan Anda?
DAFTAR PUSTAKA
Ananta Toer, Pramoedya. 1980. Bumi Manusia.Jakarta: Hasta Mitra.
. 1980. Anak Semua Bangsa. Jakarta: Hasta Mitra.
. 1980. Rumah Kaca.Jakarta: Hasta Mitra.
Brata, Suparto. 2004. Gadis Tangsi. Jakarta: Kompas.
. 2006. Kerajaan Raminem. Jakarta: Kompas.
. 2007. Mahligai di UfukTimur. Jakarta: Kompas.
Barthes, Roland. 1990. S/Z. United Kingdom: Basil Blackwell Ltd.
Goldmann, Lucien. 1975. Towards a Sociology of the Novel. London: Tavistock Publication Ltd.
Holub, Robert C. 1989. Reception Theory: A Critical Introduction.London:Routledge.
Iser, Wolfgang. 1987. The Act of Reading: A Theory of Aesthetic Response.Baltimore & London: The John Hopkins University Press.
Jauss, Hans Robert. 1983. Toward an Aesthetic of Reception.Minneapolis: University of Minnesota Press.
JURNAL DAKWAH DAN KOMUNIKASI
Jurusan Dakwah STAIN Purwokerto KOMUNIKA ISSN: 1978-126
Vol.2 No.2 Jul-Des 2008 pp.131-139
Mangunwijaya, Y.B. 1993. Balada Dara-dara Mendut.Yogyakarta: Kanisius.
. 1994. Rara Mendut.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
. 1994. Genduk Duku.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
. 1994. Lusi Lindri.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
. 1986. Burung-burung Manyar.?: Djambatan.
Stanton, Robert. 1964. An Introduction to Fiction. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc.

Dosen Tak Ada yang Pelit Nilai (Guidance Sesat Memilih Dosen FEB)

Posted by in College: Black and Blue, Life Is Beautiful

Yah, saya sadar ada beberapa di antara Anda-Anda semua yang akan berpikir, “What?? Sombong banget nih yang punya blog!” atau ada yang ingin bilang, “What the h*ll!!”. Tapi karena ini adalah blog saya -dan saya berhak menulis apapun –> APAPUN!!!- jadi terserah kalian mau berpendapat apa. Silakan menanggapi, karena saya adalah tukang kritik jadi I don’t mind dikritik juga.
Tapi, saya adalah penganut pendapat: “Tak ada dosen yang ingin mahasiswanya dapat nilai jelek”. Analoginya, tak ada dokter manapun yang ingin pasiennya masih tetap sakit atau tambah kronis sakitnya apalagi sampai mati. Bayangkan jika dokter itu bertemu dengan dokter yang lain dan menanyakan, “Bagaimana pasienmu?” Saya yakin -bahkan haqqul yakin– kalau Sang Dokter tak akan bangga saat mengatakan bahwa pasiennya masih begitu-begitu saja, belum menunjukkan perkembangan padahal potensi sembuhnya sangat besar.
Ada dua masalah di sini: Masalah PENYAMPAIAN MATERI dan NILAI.
Layaknya produsen dan konsumen, dalam masalah penyampaian nilai, kita adalah konsumen dan dosen adalah produsen. Yang ada hanyalah dosen yang memiliki ekspektasi dan standar tinggi terhadap kelasnya atau dosen yang cukup memaklumi bahwa mahasiswa-mahasiswanya ini memang pemalas dan tak mau susah. Yang ada adalah dosen yang mengajarkan hal yang sama dengan cara yang berbeda: ada yang aktif berinteraksi dengan mahasiswa, ada yang kasih insight pengalaman-pengalaman empiris karena Bapak/Ibunya banyak berkecimpung jadi praktisi, ada yang terlalu slide-minded kayak mahasiswa, ada yang text-book banget, dll, dll. Terserah kita mau memilih produk yang mana agar kita dapat memenuhi kebutuhan dan mencapai high satisfaction.
Masalah nilai malah sebaliknya. Kita dan dosen seperti produsen dan konsumen. Konsumen minta apa, kita harus bisa memberikannya. Semua itu sudah terangkum dalam daftar ukuran yang diminta oleh konsumen: SILABUS. Ya, itulah arah peta kita untuk sukses mengambil kitab suci di Barat. Biasanya akan ada beberapa item, seperti partisipasi, kehadiran, kuis, tugas, presentasi, UTS, UAS. Masing-masing dosen memberikan poin yang berbeda. Yang membuat bingung, terkadang ada beberapa dosen yang “tidak konsisten” dengan format penilaian di silabus. Jangansalah, ketidakkonsistenan ini bisa berakibat nilai kita jauh di bawah ataupun di atas ekspektasi awal.
Baiklah. Berawal dari perang KRS FEB UGM yang sangat terkenal, dilanjutkan dengan motto “kelas/dosen menentukan prestasi”, maka muncullah pertanyaan beberapa anak tentang dosen-dosen yang recommended untuk mata kuliah tertentu dan sambungan buanyak pertanyaan lainnya. Well, at the first sight it was okay to receive such a question. Tetapi saat timbul kekhawatiran yang berlebihan seperti, “Kata Si Anu kok kelas Bapak X ini kemarin kebanyakan dapat C dan D? Benar pas kelas Mbak dulu pada dapat A dan B?” setelah saya menjelaskan panjang lebar tentang Bapak X itu dan bagaimana caranya mendapatkan nilai A di kelasnya, jelas saya merasa pertanyaan ini agak annoying. Jadi, daripada bertanya-tanya terus menerus dengan jawaban yang berbeda-beda, saya akan memberikan pendapat -yang jelas subjektif- di sini. Tapi, saya akan mencoba menggambarkan secara deskriptif tentang masing-masing dosen yang pernah saya ikuti kelasnya.
Satu hal yang harus diketahui di sini: saya tipe mahasiswa yang harus suka mengikuti kelas tertentu.  Jika sudah suka, saya akan melakukan apapun yang diminta untuk mendapatkan ilmu dan tentu saja nilai🙂 Ada dua faktor saya merasa click dengan sebuah kelas: satu, karena saya tertarik mempelajari ilmu yang diajarkan walaupun dosennya tidak sesuai. Yups, saya adalah mahasiswa yang suka banyak ineraksi antara dosen dan mahasiswa. Saya suka tipe dosen yang banyak memberikan insight selain apa yang sudah tertulis di buku. Atau kedua, saya menyukai dosennya walaupun mata kuliahnya bukan bidang yang saya minati. Kenapa hal ini penting? Karena inilah yang menjadi dasar penilaian saya terhadap para dosen yang akan tertulis di bawah ini. Ingat, ini di masa saya. Mungkin ada sedikit perubahan tentang frekuensi pemberian tugas atau lainnya.
Let the story begins…
 

37. Heru Marwata (Bahasa Indonesia)
Banyak bercerita di dalam kelas, penjelasan disertai dengan contoh, selera humor tinggi, banyak memberikan tugas membuat esai singkat satu atau dua paragraf tentang tema tertentu, latihan penulisan banyak dijadikan contoh untuk mengetahui kesalahan masing-masing. Nilai partisipasi berpengaruh, jika memiliki tulisan jenis apa saja -artikel, esai, cerpen- yang pernah dimuat di media atau memenangkan lomba tertentu atau tidak mendapatkan apapun bisa dikirimkan ke email Pak Heru untuk mendapat kritik dan saran dan sangat berpengaruh signifikan membantu nilai, hasil ujian sangat berpengaruh.

Hore aku ada di sini, nomor 37. Sip.