Minggu, 30 Oktober 2016

MEMBACA SEMANGAT ZAMAN: Memantapkan Peran Sastra dalam Membangun Karakter Bangsa Makalah ke Pulau Penang Malaysia 2012



MEMBACA SEMANGAT ZAMAN:
Memantapkan Peran Sastra dalam Membangun Karakter Bangsa
Heru Marwata (Jurusan Sastra Indonesia FIB UGM)


Abstrak

            Perubahan dunia berlangsung begitu cepat. Berbagai fenomena dan pemikiran silih berganti menempatkan diri sebagai kecenderungan umum dalam kehidupan. Di tengah derasnya bermacam arus perubahan, karya sastra masih setia mengambil peran sebagai penyegar dan alternatif penting dalam proses pendewasaan cara berpikir dan bertindak. Dinamika estetika dalam sastra begitu lentur dan mudah menyesuaikan diri dengan segala pergeseran yang terjadi di luar dirinya. Karya sastra telah mengisi sebagian relung kehidupan dengan cara yang kadang-kadang tidak bisa dilakukan oleh sarana lain, dengan tingkat elegansi yang menawan, dengan keanggunan yang kadang tidak terlawan. Demikianlah salah satu peran yang telah dimainkan oleh karya sastra Indonesia.
           
Membaca karya sastra adalah petualangan membaca semangat zaman dan sekaligus melakukan proses perjalanan menuju pengakuan tak terungkapkan betapa karya sastra bisa berperan, dengan caranya yang spesifik, membangun karakter bangsa. Barangkali ini ungkapan yang berlebihan. Namun, setidaknya, dalam tingkat tertentu, pembaca akan menemukan betapa masih relevannya karya sastra dengan berbagai aspek kehidupan.

            Novel yang notabene hanyalah fiksi, karya imajinatif, telah (dan mampu) menyentuh sisi-sisi kehidupan manusia dengan cara yang sangat manis. Membaca karya sastra adalah membaca semangat zaman, membaca semangat anak zaman, dan membaca peran karya sastra dalam proses pendewasaan bangsa.

Kata kunci: karya sastra, peran sastra, semangat zaman, membangun karakter bangsa

Nama Lengkap            : Drs. Heru Marwata, M.Hum.
Pekerjaan                     : PNS, Dosen
Pendidikan                  : S2 (Magister Sastra)
Bidang Studi               : Sastra Indonesia Modern
Alamat Kantor                        : Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah
  Mada, Jalan Sosio-Humaniora, Kampus Bulaksumur, Yogyakarta 55281
Email                           : herumarwata@yahoo.com / heru.marwata.ugm@gmail.com
HP                               : 081802748117 / 08157950928 / 085743423662
Fax                              : +62 274 550451
Sastra sebagai Identitas dan Jati Diri Bangsa
            Slogan atau motto “bahasa menunjukkan bangsa” tampaknya belum memiliki kekuatan dan daya dobrak untuk menggerakkan berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahasa dan sastra masih dipandang sebelah mata dalam berbagai ajang kejuaraan dan atau perlombaan. Padahal, sebenarnya bahasa dan sastra bisa dan bahkan sudah diakui sebagai identitas dan jati diri bangsa.
            Ke depan sastra Indonesia harus dieksplorasi dan didayagunakan secara maksimal untuk mendukung pembentukan karakter bangsa. Peran ini tidak akan bisa dimainkan tanpa dukungan penuh negara lewat berbagai kebijakan yang relevan dan tanpa niat serta semangat segenap anak bangsa di dalamnya.
Menjalani Kehidupan dengan Hati
            Perubahan dunia berlangsung begitu cepat. Berbagai fenomena dan pemikiran silih berganti menempatkan diri sebagai kecenderungan umum dalam kehidupan. Di tengah derasnya bermacam arus perubahan, karya sastra masih setia mengambil peran sebagai penyegar dan alternatif penting dalam proses pendewasaan cara berpikir dan bertindak. Dinamika estetika dalam sastra begitu lentur dan mudah menyesuaikan diri dengan segala pergeseran yang terjadi di luar dirinya. Karya sastra telah mengisi sebagian relung kehidupan dengan cara yang kadang-kadang tidak bisa dilakukan oleh sarana lain, dengan tingkat elegansi yang menawan, dengan keanggunan yang kadang tidak terlawan.
Membaca karya sastra adalah petualangan membaca semangat zaman dan sekaligus melakukan proses perjalanan menuju pengakuan tak terbantahkan betapa karya sastra bisa berperan, dengan caranya yang spesifik, membangun karakter bangsa. Barangkali ini ungkapan yang berlebihan. Namun, setidaknya, dalam tingkat tertentu, pembaca akan menemukan betapa masih relevannya karya sastra, dengan berbagai aspek kehidupan.
Karya sastra yang notabene hanyalah fiksi, karya imajinatif, telah (dan mampu) menyentuh sisi-sisi kehidupan manusia dengan cara yang sangat manis. Membaca karya sastra adalah membaca semangat zaman, membaca semangat anak zaman, dan membaca peran karya sastra dalam proses pendewasaan bangsa. Karya sastra akan memberikan pengayaan pada manusia untuk menjalani kehidupan dengan hati.
Dengan kerangka berpikir bahwa bahasa dan sastra akan berkontribusi dalam proses pembangunan karakter bangsa, marilah kita menyatukan energi bersama-sama mengucapkan mantra-mantra sakti untuk bermufakat menyeru bahwa bahasa dan sastra dapat menjalankan peran suci melontargelontorkan wacana yang sangat relevan dengan kehidupan. Bahasa dan sastra adalah penyemat semangat yang memiliki daya rekat serta kemampuan untuk mengemban peran yang tidak bisa dipikul oleh “pahlawan-pahlawan” kehidupan lainnya. Salahkah?
Tentu saja tidak ada salahnya menggalang kekuatan untuk mengangkat kembali pilar-pilar jembatan kehidupan yang pernah tegak kokoh kuat menjadi penyangga dan sekaligus penjaga hamparan dunia harapan berbangsa. Bahasa dan sastra, dari sisi pemikir dan penggemar serta penjaganya, pastilah dapat berperan sebagai penyumbang besar asupan gizi bangsa menuju pertumbuhkembangan menuju kedewasaan. Lewat berbagai cara dan rupa, bahasa dan sastra telah (minimal pernah) merasuki aliran nadi dan getar edar pendar jiwa kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menjelajah Bongkah Bingkai Rangkai Sejarah
Dalam sejarah sastra dunia—khususnya Amerika—Uncle Tom’s Cabin (Life Among the Lowly) Harriet Beecher Stowe pastilah salah satu karya yang sangat layak disebut betapa nyatanya korelasi positif antara novel, karya sastra, dunia imajinasi, dengan kehidupan, dengan dunia nyata. Salah duanya, barangkali, adalah Romeo and Juliet William Shakespeare yang pernah begitu mengesankan perbendaharaan karya sastra Inggris dan dunia. Mengapa harus berlari jauh ke negeri Paman Sam atau negeri yang pernah membenamkan kuku hegemoni di bumi persada kita seperti Britania Raya? Tampaknya sah-sah saja. Bukankah sejarah pemikiran selalu membawa pengaruh besar pada sejarah dunia dan sejarah sastra? Bukankah, diakui atau tidak, sastra Indonesia juga sangat dipengaruhi oleh sastra (dunia) Barat? Bukankah sampai sekarang kita juga masih sangat getol berjuang untuk mengukuhkan bahwa sastra Indonesia adalah warga sastra dunia yang patut mendapat tempat duduk sama empuk dengan sastra dunia?
Sastra Indonesia—yang boleh disebut sebagai bagian dari sastra Timur—pastilah belum begitu tua usianya, khususnya jika dikomparasikan dengan sastra Barat. Meskipun demikian, pasti jugalah merupakan kenyataan tak terbantah bahwa sejarah sastra Indonesia telah menorehkan kisah historis manis (dan barangkali juga melankolis dramatis) dalam mewarnai pelangi bangsa. Untuk apa pernah ada “Nota Rinkes” pada masa Balai Pustaka kalau tidak ada pandangan bahwa sastra berpotensi menimbulkan “sesuatu” dalam kehidupan masyarakat?
Kehidupan bersastra terus berlanjut. Angkatan atau periodisasi dan atau kecenderungan sastrawan pendukungnya mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Aliran dan pengaruh filosofi juga berganti-ganti. Pergeseran pastilah terus terjadi. Adakah peran yang terus dan konsisten dimainkan sastra? Pastilah ada, dan peran atau fungsi sosial sastra adalah salah satunya.
Bagaimanapun, kalau kita runut, karya-karya sastra Indonesia pernah menjalankan fungsi sosialnya. Dalam fungsi ini sastra pernah menjalankan peran sebagai sarana untuk mengritik, untuk mempengaruhi, menjadi petunjuk, menjadi perekam fenomena sekaligus pengedepan gagasan, dan menjadi pembawa semangat zaman. Apa peran yang bisa dimainkannya sebagai sebuah karya sastra? Mari kita lihat salah satu karya sastra Indonesia yang berjudul Keydo karya Tatty Elmir (Elmir, Tatty. 2011. Keydo: Sebuah Novel tentang Perempuan, Cinta, dan Para Pahlawan di Jalan Sunyi. Jakarta: Qanita). Apakah Keydo, misalnya, sebagai contoh kasus sederhana, juga berpotensi membawa semangat zaman? Mari kita cermati beberapa ulasan berikut.
Membaca Keydo Membaca Semangat Zaman
            Dalam “Sapa Sang Guru” (hlm. xi) Taufiq Ismail menulis:
“Pembaca diajak mengembara melalui plot tidak sederhana dengan pelaku banyak pula. Tokoh-tokohnya sangat beragam suku dan agamanya, dari barat sampai ke timur Indonesia, hingga ke komunitas Amish yang zuhud di Amerika Utara. Berbagai zaman bergolak dilaluinya, dengan tokoh-tokoh sosial bermacam disiplin aktivitas pula. Sungguh suatu keleidoskop berwarna-warni, sebuah konser simfoni dengan banyak instrumennya. Pembaca merasakan keindonesian yang kukuh, kesalehan dalam iman, keperempuanan yang bermakna, rasa kuat terlibat masalah masyarakat, kemanusiaan yang hangat. Dengan meninggalnya Keydo, saya ikut merasa sangat kehilangan bersama Kinang.”
            Semangat multikultural mengedepan dalam Keydo. Jakarta, Magelang, Jayapura, Padang, Amish (di Amerika Utara) adalah wilayah jelajah kisah Keydo yang cukup intensif melatari cerita. Semua membawa konsekuensi pandangan, pemikiran, pemahaman, dan aspek-aspek kehidupan dalam kerangka keindonesiaan. Kristen, Katolik, Islam, hadir dan menghiasi kisah perjalanan Keydo dan tokoh-tokoh penting Keydo. Semua hadir dengan tampilan yang bebas pretensi, membangun harmonia dan semangat kebersamaan.
            Di sampul depan Keydo tertulis “Sebuah Novel tentang Perempuan, Cinta, dan Para Pahlawan di Jalan Sunyi”. Jalan sunyi itu pulalah yang dilewati oleh pejuang selain Keydo, misalnya Sarianti.
“Bagi masyarakat Minang tahun 1800-an, peristiwa itu (perkawinan antarteman satu suku, pen.) merupakan aib besar yang tak termaafkan. Namun bagi Sarianti, ini adalah satu bentuk perjuangan untuk menempatkan adat pada posisinya, yang tidak boleh mengalahkan syariat agama.” (hlm. 174) “’Meski satu suku, jika lain daerah asal, tidak ada pertalian darah, bukan perkawinan yang diharamkan agama. Lihat Al-Quran. Berpedomanlah pada kitab suci, bukan kitab adat yang direka-reka manusia,’ Sarianti tak lelah meneriakkan protesnya.” (hlm. 175)
            Perjuangan Sarianti adalah salah satu “ … pesan pembebasan, baik dari lingkungan adat maupun ketidakadilan gender, yang disajikan dengan jeli dan mengalir seputar pergulatan budaya, politik, konflik nilai, dan pencarian makna hidup, yang kesemuanya tengah berlangsung dalam masyarakat kita yang amat majemuk ini,” kata Komaruddin Hidayat dalam endorsement novel Keydo. Demikianlah Keydo dan Keydo telah merekam zaman lengkap dengan segala gejolak dan “gairah” yang berkelebat sepanjang perjalanan sejarah. Karya sastra sebagai sebuah olah cipta imajinatif pastilah memiliki korelasi dengan kehidupan. Oleh karena itu, tentu tak mengada-ada pernyataan Fachrian Adi (lihat di endorsement novel Keydo) ini. “Kalau saja saya tidak pernah bertemu Bunda Tatty and the gank secara personal, mungkin saya akan mengira karakter-karakter di buku ini 100% imajinatif, yang tercipta untuk sekadar menoreh inspirasi ….”
            Beberapa tahun lalu pesawat Adam Air hilang dalam perjalanan dan konon sampai sekarang belum ditemukan lokasi jatuhnya (mungkin sudah bisa diperkirakan, tetapi sangat sulit dievakuasi, dan mahal biayanya). Dalam Keydo pengarang telah mematikan Keydo—istri Kinang, yang belum lama dinikahinya—dan  menghilangkannya bersama pesawat yang ditumpangi dari Padang menuju Jakarta. Pastilah ada perbedaan antara hilangnya Adam Air dengan hilangnya pesawat yang membawa Keydo. Namun, bayangan imajinatif asosiatif antarkeduanya pastilah bisa dicari. Tampaknya model “pembunuhan” tokoh lewat pesawat ini lumayan populer dalam sastra. Film berjudul Back Street (dua versi, satunya disutradarai oleh Robert Stevenson dan satunya oleh David Miller) mematikan salah satu tokoh utamanya lewat pesawat, demikian pula Burung-Burung Manyar Mangunwijaya dan Keydo Tatty Elmir. Ketiganya berasal dari semangat zaman yang berbeda (1940-an, 1970/1980-an, 2000-an). 

Belajar Cara Menerapkan Hukuman bagi Pelanggar Aturan
Di Amish, suatu wilayah di Amerika Utara, pelanggar aturan mendapatkan hukuman. Apa hukumannya?
“They are excommunicated (dikucilkan), tapi tidak dipermalukan, … kekerabatan sangat penting di Amish, jadi sebetulnya kasus pelanggaran juga nyaris tidak ada. Kalaupun ada, mereka memberlakukan hukuman dengan bijak namun tegas. Itu pun setelah melalui proses panjang dengan hasil keputusan kolektif dan suara bulat yang diamini semua jemaat. Namun si pembangkang akan diterima kembali jika mereka mengakui kesalahan dan melakukan pertobatan.”  (hlm. 231)
            Kita bisa belajar dari suku Amish lewat dua kata kunci yang ada dalam penerapan hukuman: bijak, tegas. Tampaknya semangat yang terkandung dalam dua kata kunci itu sangat penting sebagai sarana pembelajaran bagi penerapan hukum dan hukuman di Indonesia. Bukankah itu signifikan?
Saling menghargai dan memberi apresiasi adalah hal penting dalam pergaulan antarmanusia, antaragama, antarsuku, antarbudaya, dan seterusnya. Kita juga bisa belajar dari Keydo untuk soal ini. Perhatikan kutipan berikut.
“… tiga hari dua malam selalu bersama. … Keydo telah belajar zuhud dalam kerangka iman yang berbeda.  Di sini, semua orang berorientasi pada penghambaan, bukan dipertuankan. Annie telah menularkan spirit kesederhanaan, percaya diri, ketaatan pada agama, kerendahhatian, kemandirian, dan banyak lagi kearifan Amish yang mungkin dicibir oleh mata kosmopolit. ... Terlepas dari setuju atau tidaknya dia terhadap beberapa nilai, Keydo sangat menghargai perbedaan. Dia mengapresiasi keteguhan mereka semua karena keteguhan memegang nilai-nilai adalah sesuatu yang sudah luntur di luar sana.”
Apresiasi dan saling menghargai adalah sikap yang hanya akan muncul kalau ada pemahaman atau perasaan dan keinginan untuk saling mengakui dan sekaligus menerima adanya perbedaan. Kata bijak yang mengatakan bahwa “perbedaan adalah rahmat atau berkah” tampaknya hanya akan menjadi slogan kosong tanpa implementasi dalam kehidupan. Terlalu banyak perbedaan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat atau berbangsa yang multikultural seperti Indonesia, dan semua itu pasti akan memunculkan masalah jika tidak disikapi secara arif.
            Bagaimana kita menyikapi perbedaan yang berimplikasi pada kehidupan secara luas? Tampaknya kutipan berikut bisa kita pergunakan sebagai sarana introspeksi.

“Politik sekarang bukan lagi sarana untuk kebajikan. Cuma berputar-putar di persolan menang dan kalah.”
“Lalu.”
“Yang salah jadi benar  karena punya power, dan yang benar jadi salah karena kalah.” (hlm. 141)

Benarkah semangat zaman yang kita gelorakan sekarang seperti ini? Barangkali tidak sepenuhnya benar, tetapi pasti akan sangat mudah, atau bahkan terlalu mudah, untuk menemukan kasus semacam ini dalam tradisi kehidupan berbangsa kita.
Bagaimana sikap atau perilaku aparat kita dalam menghadapi perkembangan di masyarakat. Apa kata Keydo tentang hal ini? “Gue kesel, intel di mana-mana,” Keydo diam. “Masak orang ngaji aja diintelin. Emang orang ngaji bisa bikin presiden mampus, ya? Emang sarung ama peci bisa disulap jadi meriam, ya?” (hlm. 144) Terlepas dari ada tidaknya korelasi antara ironi yang disampaikan Keydo dalam Keydo sebagai realitas imajinatif-fiktif dengan realitas historis yang ada dalam sejarah Indonesia, kita pasti tahu bahwa berita semacam itu berseliweran di indera dengar dan penglihatan kita, nyaris tak tertolak.

Latar Belakang dan Latar Depan
            Jika menarik kisah fiksi dalam sejarah sastra Indonesia, kita pernah memiliki Y.B. Mangunwijaya. Salah satu karyanya adalah Burung-Burung Manyar. Novel Mangunwijaya ini bisa menjadi salah satu latar belakang bagi penciptaan Keydo. Di bagian akhir Burung-Burung Manyar akhirnya Teto (Setadewa) merawat anak-anak Atik (Larasati)—Janakatamsi yang tewas dalam kecelakaan pesawat yang membawanya ke Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji. Di bagian akhir Keydo, Kinang, suami Keydo, merawat dan menjadi ayah bagi 5 anak Kilin dan Sisil. Apakah ini bermakna? Dalam kaitan dengan cinta yang universal dan hubungan antarmanusia, pasti iya.
            Teto menjadi bapak/ayah bagi anak-anak Atik—Janakatamsi. Ini bukan semata karena Atik adalah kekasih yang tidak berhasil dinikahinya karena berbagai masalah, melainkan karena cinta antarumat manusia. Atik dan Teto pernah menjalin cinta dalam arti hubungan antara laki-laki dan perempuan. Ini berbeda, atau mengalami perkembangan dalam kasus Kinang. Kilin adalah saudara sepersusuan Kinang. Yang jelas, keduanya, Burung-Burung Manyar dan Keydo, sama-sama membawa semangat cinta antarmanusia. Semoga latar belakang cinta yang universal dan semangat zaman yang dibawa keduanya bisa menjadi latar depan yang akan membawa arah tepat bagi capaian perjalanan sejarah manusia.
            Semangat manusia adalah semangat zaman dan semangat zaman membawa pengaruh besar pada semangat manusia. Bisakah semangat Keydo ini mencerminkan dan sekaligus membawa semangat zaman?
“Melelahkan, memang. Tapi Keydo pantang menyerah. Dan ketika sampai masanya, rezeki memang takkan ke mana. Siang itu, Gina membawa formulir seleksi duta perdamaian dunia sekaligus Youth International Visitor Program (YIVP) ke kampus. Program YIVP digagas oleh USIS (United States Information Services), bagian lembaga informasi pemerintah Amerika di bawah naungan Departemen Luar Negeri.” (hlm. 205)
Kesempatan inilah yang membawa Keydo ke Amish di Amerika dan mendapatkan banyak pengalaman serta pembelajaran sebagai duta bangsa dan duta kemanusiaan. Semangat untuk belajar dan mengetahui banyak hal membuat manusia menjadi kaya warna, kekayaan yang membuat hidup lebih berarti. Mengikuti pengembaraan Keydo dan Kinang, Kilin, Sisil, dan tokoh-tokoh Keydo menjelajah ruang dan waktu seperti merangkai jembatan untuk melakukan penyeberangan ke berbagai tujuan.
Benarkah Fungsi Sosial Sastra Itu Ada?
            Dalam khazanah sastra Indonesia pernah ada karya berjudul Dengar Keluhan Pohon Mangga karya Maria Amin. Pada masa awal kemunculan Angkatan 45 kita mengenal dan membaca kumpulan puisi Tiga Menguak Takdir karya bersama Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani. Konon, kalau jujur, nyaris tidak ada penyair Indonesia pascakemerdekaan yang tidak terpengaruh oleh Chairil Anwar. Kita pasti ingat juga bahwa pada tahun 60-an Ki Panji Kusmin menggegerkan panggung dan jagat pakeliran sastra Indonesia dengan cerpennya yang berjudul Langit Makin Mendung. Sastra pasti memiliki potensi, bahkan dalam beberapa kasus bisa saja potensi itu sangat besar.
            Bagaimanapun, kalau kita runut, karya-karya sastra Indonesia pernah menjalankan fungsi sosialnya. Dalam fungsi ini sastra pernah menjalankan peran sebagai sarana untuk mengritik, untuk mempengaruhi, menjadi petunjuk, menjadi perekam fenomena sekaligus pengedepan gagasan, dan peran-peran lainnya.
            Apresiasi dan saling menghargai adalah sikap yang hanya akan muncul kalau ada pemahaman atau perasaan dan keinginan untuk saling mengakui dan sekaligus menerima adanya perbedaan. Kata bijak yang mengatakan bahwa “perbedaan adalah rahmat atau berkah” tampaknya hanya akan menjadi slogan kosong tanpa implementasi dalam kehidupan. Terlalu banyak perbedaan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat atau berbangsa yang multikultural seperti Indonesia, dan semua itu pasti akan memunculkan masalah jika tidak disikapi secara arif.
            Bagaimana kita menyikapi perbedaan yang berimplikasi pada kehidupan secara luas? Benarkah semangat zaman yang kita gelorakan sekarang seperti ini? Barangkali tidak sepenuhnya benar, tetapi pasti akan sangat mudah, atau bahkan terlalu mudah, sekali lagi, untuk menemukan kasus semacam ini dalam tradisi kehidupan berbangsa kita.
            Semangat manusia, sekali lagi, adalah semangat zaman dan semangat zaman membawa pengaruh besar pada semangat manusia. Semangat untuk belajar dan mengetahui banyak hal membuat manusia menjadi kaya warna, kekayaan yang membuat hidup lebih berarti, dan itu bisa diperoleh lewat jalan sastra.

Membangun Karakter Bangsa
            Fungsi sosial sastra tampaknya cukup berterima untuk memberikan argumen bahwa ada potensi korelasi dan saling pengaruh antara fiksi dengan realitas. Bagaimana dengan fungsi sosial sastra sebagai salah satu unsur pembangun karakter bangsa?  Karya sastra atau sastra secara umum adalah bagian dari hasil olah kreativitas pikiran manusia. Dalam hal ini, jika dimanfaatkan secara maksimal, pastilah sastra juga berpotensi besar menjadi sarana untuk menjaga jati diri bangsa, menjadi bagian dari identitas bangsa, dan dalam kerangka yang lebih luas bisa saja menjadi unsur penting dalam membangun masyarakat madani.
            Sastra sebagai salah satu aspek penggunaan bahasa, sebagai bagian dari kebudayaan manusia secara umum, memiliki sisi-sisi positif untuk menjadi pemandu tingkah laku dan pola pikir masyarakat penggemarnya. Tidak tertutup kemungkinan, sastra yang memiliki ciri mengajak tanpa memaksa dapat dimanfaatkan sebagai sarana membangun dan mengarahkan karakter bangsa. Jiwa dan pikiran yang jernih tokoh-tokoh dalam karya sastra bisa dijadikan sebagai salah satu contoh. Kehidupan rukun yang dijalani tokoh-tokoh dalam karya sastra yang bermacam ragam latar belakang suku dan agamanya juga bisa menjadi salah satu contoh konkret penanaman jiwa multukultural dalam diri pembaca.
            Sebagai sebuah karya imajinatif, sastra diyakini telah merekam banyak sisi kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika rekaman itu disisipi misi atau visi tertentu, yang positif, dengan cara muat yang artistik, pastilah karya sastra pada umumnya memiliki banyak peluang untuk memainkan peran penting dalam proses pendewasaan bangsa. Apalagi jika tampilan muatan dalam sastra itu juga menyinggung aspek historis faktual yang memang nyata adanya.
            Karya sastra seperti novel Keydo telah membawa banyak pengetahuan pada pembaca. Keydo dan Kinang, juga beberapa tokoh penting dalam Keydo, adalah pribadi-pribadi yang berkarakter, berpendirian, dan bisa menjadi contoh sebenarnya seperti apa karakter individu yang diperlukan untuk merepresentasikan karakter bangsa secara umum. Tokoh-tokoh Keydo telah banyak memberi tekanan tentang arti dan jalan perjuangan, makna kesetiaan, dan drama warna bangsa, serta aspek-aspek kehidupan lainnya. Kritik atas tradisi yang mestinya telah ditinggalkan, juga atas berbagai fenomena bernada “minor” muncul pula secara arif dalam Keydo.
            Karya sastra telah membawa banyak rekaman pengetahuan dan semangat zaman pada pembaca. Kehidupan bangsa Indonesia yang bersuku-suku, yang berlatar belakang budaya tertentu, yang memiliki keyakinan beraneka rupa, juga konstruksi bangunan-bangunan pikiran yang beragam, telah hadir dalam fiksi yang fiktif dan imajinatif itu. Ide-ide tentang nilai universal, gagasan-gagasan mengenai cinta, perjuangan perempuan, juga berbagai aspek kehidupan dunia pikir tentang persahabatan atau pertemanan, muncul dalam banyak karya sastra Indonesia. Oleh karena itu, sepanjang kita bisa memilah dan memilih, tidak melakukan justifikasi yang bermodel “gebyah uyah”, tampaknya tak akan pernah ada alasan kuat untuk menolak bahwa sastra dapat memiliki peran penting dalam proses pendewasaan bangsa, dalam proses memanusiakan manusia, dan dalam proses membangun karakter bangsa atau dalam membangun bangsa yang berkarakter. Insya Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar