Minggu, 30 Oktober 2016

Perubahan Paradigma dan Masa Depan Kajian Malaysia-Indonesia Makalah Simposium HUFS 2014



Perubahan Paradigma dan Masa Depan Kajian Malaysia-Indonesia
Heru Marwata
Staf Pengajar Jurusan Sastra Indonesia
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta

Abstrak:
Banyak sekali pemicu internal dan eksternal yang mengubah orientasi kajian terhadap suatu negara, termasuk Malaysia dan Indonesia. Perubahan kebijakan, pergeseran kepentingan, dan siasat serta strategi setiap negeri menghadapi tantangan dunia baru merupakan faktor pemicu yang cukup dominan dari dalam. Sementara itu, globalisasi, persaingan (perdagangan) bebas, dan berbagai perjanjian/kesepakatan bilateral dan multilateral pastilah merupakan unsur luaran yang tak bisa dikesampingkan oleh negara mana pun.
Pemicu internal dan eksternal harus disikapi setiap negeri dengan usaha-usaha menempatkan diri secara proporsional. Ini pulalah yang mengubah paradigma kajian dalam dan terhadap suatu negara serta memunculkan paradigma-paradigma baru yang lebih menantang. Dengan demikian, perubahan paradigma justru akan mendinamiskan dan menawarkan masa depan kajian yang lebih prospektif, khusunya bagi Malaysia dan Indonesia.
Kata kunci: perubahan, paradigma, kajian, prospektif

Pengantar

Dunia selalu berproses. Dalam proses itu ada dinamika. Dalam dinamika ada tantangan dan peluang. Tantangan dan peluang adalah daya tarik dan sekaligus pemicu besar untuk melakukan perubahan. Perubahan adalah sebuah keniscayaan. Negara yang melakukan perubahan dengan mempertimbangkan tantangan dan memanfaatkan peluanglah yang akan menuai hasil yang lebih menjanjikan.
Wilayah Asia Timur, Asia Pasifik, adalah sumber tantangan dan peluang yang sangat menggairahkan. Kawasan yang pernah memegang rekor sebagai juara dalam kecepatan perkembangan ekonomi dunia ini memiliki pesona yang luar biasa, baik bagi masing-masing penghuni maupun (dan apalagi) bagi wilayah-wilayah lain di berbagai belahan dunia. Tantangan dan peluang selalu berkaitan dengan potensi. Potensi selalu berhubungan dengan eksistensi. Dalam konteks inilah perubahan akan ditempatkan, dan di jalur ini pulalah berbagai penyesuaian akan ditemukan di ladang persemaian.

Korea, Malaysia, dan Indonesia
Korea, Malaysia, dan Indonesia adalah tiga pilar di tiga sisi dalam salah satu konsep ASEAN Plus: utara, tengah, selatan. Secara ekonomis ketiganya memiliki perbedaan dan sekaligus persamaan. Korea dengan segala tantangan yang ada dan peluang yang bisa dimanfaatkannya telah berkembang ke arah yang cenderung memasukkannya ke kelompok Utara: biasanya maju dan kaya. Sementara itu, Malaysia dan Indonesia, dengan segala tantangan dan peluangnya masih cenderung berada di barisan Selatan: biasanya masih berkembang dan belum (begitu) kaya.

Bagi Korea mungkin Malaysia dan Indonesia lebih cenderung sebagai peluang. Sementara itu, bagi Malaysia dan Indonesia, Korea lebih tampil sebagai tantangan untuk melakukan pengejaran dan sekaligus peluang untuk meningkatkan daya saing. Dalam berbagai hal ketiganya bisa saling "menantang" dan memberi (menawarkan) peluang.

Faktor Eksternal dan Internal

Banyak sekali pemicu eksternal dan internal  yang mengubah orientasi kajian terhadap suatu negara, termasuk Malaysia dan Indonesia. Perubahan kebijakan, pergeseran kepentingan, dan siasat serta strategi setiap negeri menghadapi tantangan dunia baru merupakan faktor pemicu yang cukup dominan dari dalam. Sementara itu, globalisasi, persaingan (perdagangan) bebas, dan berbagai perjanjian/kesepakatan bilateral dan multilateral pastilah merupakan unsur luaran yang tak bisa dikesampingkan oleh negara mana pun.

Tragedi (kalau boleh dihiperbolakan) ekonomi tahun 1997/1998 telah menempatkan negara-negara di dunia, termasuk Korea, Malaysia, dan Indonesia, ke suatu kondisi yang carut marut. Kebangkitan dan usaha-usaha rekaveri setelah itu benar-benar menyerap berbagai sumber negara: sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber keuangan negara. Ini membawa konsekuensi yang luar biasa besar. Kebijakan penganggaran untuk berbagai riset serta studi mengalami pergeseran. Tentu saja kebanyakan muaranya ke perbaikan semua lini yang terguncang akibat krisis ekonomi tersebut.

Globalisasi yang bak bola api atau bola salju juga melindas dan melintasi  semua negara. Irama yang serba lintas negara, lintas wilayah, dan mendunia, juga membawa konsekuensi yang beraneka. Yang pasti semua sisi kehidupan bernegara dan berbangsa tak ada yang lepas dari pengaruh globalisasi, demikian pula dengan orientasi studi atas suatu negeri serta segenap aspek yang ada di dalamnya. Globalisasi, persaingan (perdagangan) bebas, dan berbagai perjanjian/kesepakatan bilateral dan multilateral pastilah merupakan unsur luaran yang tak bisa dikesampingkan oleh negara mana pun.

Banyak sekali pemicu internal  yang mengubah orientasi kajian terhadap suatu negara, termasuk Malaysia dan Indonesia. Perubahan kebijakan, pergeseran kepentingan, dan siasat serta strategi setiap negeri menghadapi tantangan dunia baru merupakan faktor pemicu yang cukup dominan dari dalam.

Pemicu internal dan eksternal harus disikapi setiap negeri dengan usaha-usaha menempatkan diri secara proporsional. Ini pulalah yang mengubah paradigma kajian dalam dan terhadap suatu negara serta memunculkan paradigma-paradigma baru yang lebih menantang. Dengan demikian, perubahan paradigma justru akan mendinamiskan dan menawarkan masa depan kajian yang lebih prospektif, khusunya bagi Malaysia dan Indonesia.

Dari Negeri Ke Rumpun
Pastilah terlalu banyak rekam jejak sejarah yang membuktikan bahwa sebagian besar bangsa-bangsa di kawasan Asia Tenggara adalah bangsa serumpun: Melayu. Wujud konkret yang masih dengan sangat mudah kita kenali sampai kini adalah bahasa dan bangsa (Melayu). Jadi, tanpa mengesampingkan jati diri masing-masing, sebenarnya bangsa-bangsa di Asia Tenggara, khususnya Malaysia dan Indonesia dapat menempatkan diri dalam kerangka besar bangsa serumpun. Konsep serumpun itu bisa lebih ditekankan lagi untuk kepentingan yang lebih luas, misalnya ke cakupan kajian kewilayahan dan segala sesuatu yang terkandung di dalamnya. Dengan kesadaran bangsa serumpun ini kedua negara bisa saling melekatkan diri untuk kemajuan bersama, menghilangkan batas-batas klaim yang cenderung memicu perselisihan dan persengketaan. Sayang saja jika banyak energi yang terserap untuk sekadar saling menanggapi dan menangkap isu yang sebenarnya tidak produktif.

Daripada sekadar berlayar ke masa lalu untuk saling mengukuhkan diri sebagai pemilik atas sesuatu--seni, tradisi, budaya, misalnya—mengapa tidak mengalokasikan pemikiran untuk mengembangkannya menjadi kerja sama riset atau membuatnnya menjadi sesuatu yang mendunia?

Teman dan Saudara, Bukan Lawan atau Musuh

Pengembangan apa pun, termasuk dalam riset atau kajian, juga dalam bidang apa pun, pastilah akan dengan mudah dapat didorong oleh pihak-pihak yang selalu belajar menyamakan persepsi. Perseteruan, dalam konteks apa pun, bahkan dengan alasan yang kadang dikait-kaitkan dengan masalah politik (dipolitisasi) hanya akan membuang energi yang sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan bersama.

Sepanjang yang lebih dikedepankan adalah semangat pertemanan,  apalagi gairah persaudaraan, apa pun dilakukan masing-masing negeri niscaya akan memupuk rasa saling percaya dan saling menghargai. Bahwa sebagian penduduk Malaysia berasal dari Jawa, atau Madura, dan bahkan dalam jumlah besar berdarah Melayu seperti halnya saudara-saudara mereka di Aceh atau Palembang atau Sumatra bagian utara adalah sebuah realitas historis-sosiologi-kultural. Semua itu adalah kenyataan tak terbantah. Haruskah masing-masing mengorek-ngorek status kepemilikan atas suatu warisan seni atau budaya untuk sekadar memuaskan diri sebagai pemilik sah dan tunggal? Mengapa tidak memilih paradigma baru dengan menempatkan seni budaya itu sebagai perekat hubungan antarmanusia dan antarbangsa sebagai saudara? Mengapa tidak memilih bekerja sama mengembangkan seni budaya itu dengan saling melengkapi dan memromosikannya sebagai kekayaan budaya bersama ke berbagai penjuru dunia? Daripada mengadakan pertemuan ilmiah untuk saling melacak asal usul yang melahirkan klaim penabur ketidakpercayaan atau kebencian, mengapa tidak memilih mengadakan sarasehan bersama untuk saling menjajagi kemungkinan pertukaran dan pengembangan sebagai bagian-bagian yang diikat oleh kesatuan dan kebersamaan?

Bolehlah masing-masing saling mengalahkan dan menjatuhkan dalam suatu pertandingan. Namun, harus selalu diingat bahwa dalam setiap pertandingan apa pun selalu ada nilai yang dikedepankan: kejujuran dan sportivitas, bukan keculasan dan pemicu kebencian. Teman atau sahabat atau bahkan saudara bisa saja berhadapan sebagai lawan dalam suatu perlombaan atau pertandingan, tetapi mereka harus kembali menjadi teman, sahabat, atau saudara setelah pertandingan usai, bukan lagi lawan atau musuh. Dendam yang timbul adalah dendam dalam pengertian untuk membalas kekalahan secara sportif dengan mengedepankan aspek kejujuran atau membalas kekalahan secara jujur dengan mengedepankan sportivitas. Sportivitas dan kejujuran tidak akan pernah melahirkan dendam dan kebencian.

Gadjah Mada dan Hang Tuah

Warisan Budaya (le)Luhur

Anak Bangsa dan Anak Semua Bangsa

Memaknai Perbedaan Mensyukuri Persamaan

Mengubah Paradigma Menyongsong Masa Depan

Mengubah Paradigma Memperkaya Kajian

Mencari Titik Temu Membangun Sinergi

Melayu dibahagi kepada enam negara - Malaysia, Indonesia, Filipina, Singapura, Brunei dan Timor Timur – secara besar akibat dari pengaruh luar.
Paradigma dalam disiplin intelektual adalah cara pandang orang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkah laku (konatif).[1] Paradigma juga dapat berarti seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktik yang di terapkan dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas yang sama, khususnya, dalam disiplin intelektual [2]
Kata paradigma sendiri berasal dari abad pertengahan di Inggris yang merupakan kata serapan dari bahasa Latin ditahun 1483 yaitu paradigma yang berarti suatu model atau pola; bahasa Yunani paradeigma (para+deiknunai) yang berarti untuk "membandingkan", "bersebelahan" (para) dan memperlihatkan (deik) [3]
Paradigma adalah kumpulan tata nilai yang membentuk pola pikir seseorang sebagai titik tolak pandangannya sehingga akan membentuk citra subjektif seseorang – mengenai realita – dan akhirnya akan menentukan bagaimana seseorang menanggapi realita itu.
Istilah paradigama ilmu pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn melalui bukunya yang berjudul “The Structur of Science Revolution”. Kuhn menjelaskan paradigma dalam dua pengertian. Di satu pihak paradigma berarti keselurahan konstelasi kepercayaan, nilai, teknik yang dimiliki bersama oleh anggota masyarakat ilmiah tertentu. Di pihak lain paradigma menunjukkan sejenis unsur pemecahan teka-teki yang konkrit yang jika digunakan sebagai model, pola atau contoh dapat menggantikan kaidah-kaidah yang secara eksplisit sebagai atau menjadi dasar bagi pemecahan permasalahan dan teka-teki normal sains yang belum tuntas.
Paradigma merupakan elemen primer dalam progress sains. Seorang ilmuwan selalu bekerja dengan paradigma tertentu, dan teori-teori ilmiah dibangun berdasarkan paradigma dasar. Melalui sebuah paradigma seorang ilmuwan dapat memecahkan kesulitan-kesulitan yang lahir dalam kerangka ilmunya, sampai muncul begitu banyak anomali yang tidak dapat dimasukkan ke dalam kerangka ilmunya sehingga menuntut adanya revolusi paradigmatik terhadap ilmu tersebut. Menurut Kuhn, ilmu dapat berkembang secara open-ended(sifatnya selalu terbuka untuk direduksi dan dikembangkan). Kuhn berusaha menjadikan teori tentang ilmu lebih cocok dengan situasi sejarah dengan demikian diharapkan filsafat ilmu lebih mendekati kenyataan ilmu dan aktifitas ilmiah sesungguhnya. Menurut Kuhn ilmu harus berkembang secara revolusioner bukan secara kumulatif sebagaimana anggapan kaum rasionalis dan empiris klasik sehingga dalam teori Kuhn faktor sosiologis historis serta psikologis ikut berperan.
Paradigma membantu seseorang dalam merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan apa yang harus dijawab dan aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan jawaban yang diperoleh.
Kata paradigma berasal dari bahasa Yunani yang berarti suatu model, teladan, arketif dan ideal. Berasal dari kata para yang berarti disamping memperlihatkan dirinya.
Arti paradigma ditinjau dari asal usul beberapa bahasa diantaranya :
-           Menurut bahasa Inggris : paradigma berarti keadaan lingkungan
-          Menurut bahasa Yunani : paradigma yakni para yang berarti disamping, di sebelah dan dikenal sedangkan deigma berarti suatu model, teladan, arketif dan ideal.
-          Menurut kamus psycologi : paradigma diartikan sebagai
1.        Satu model atau pola untuk mendemonstrasikan semua fungsi yang memungkinkan adar dari apa yang tersajikan
2.       Rencana riset berdasarkan konsep-konsep khusus, dan
3.       Satu bentuk eksperimental
Kesimpulan : secara etimologi arti paradigma adalah satu model dalam teori ilmu pengetahuan atau kerangka pikir.


Secara terminologis arti paradigma sebagai berikut :
-          Paradigma adalah konstruk berpikir berdasarkan pandangan yang menyeluruh dan konseptual terhadap suatu permasalahan dengan menggunakan teori formal, eksperimentasi dan metode keilmuan yang terpecaya.
-          Dasar-dasar untuk menyeleksi problem dan pola untuk mencari permasalahan riset.
-          Paradigma adalah suatu pandangan terhadap dunia alam sekitarnya, yang merupakan perspektif umum, suatu cara untuk menjabarkan masalah-masalah dunia nyata yang kompleks.
Kesimpulan : secara terminologi paradigma adalah pandangan mendasar para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh suatu cabang ilmu pengetahuan.

The IndonesianMalaysian Confrontation during 1963–1966
IndonesiaMalaysia relations are foreign bilateral relations between Indonesia and Malaysia.
The border between the Southeast Asian countries of Indonesia and Malaysia consist of both a land border separating the two countries' territories on the island of Borneo as well as maritime boundaries along the length of the Straits of Malacca, in the South China Sea and in the Celebes Sea.
The land boundary has a length of 2,019.5 km and stretches from Tanjung Datu at the northwestern corner of Borneo, through the highlands of the Borneo hinterland, to the Gulf of Sebatik and the Celebes Sea in the eastern side of the island. The boundary separates the Indonesian provinces of East Kalimantan and West Kalimantan, and the Malaysian states of Sabah and Sarawak.
The maritime boundary in the Straits of Malacca generally follows the median line between the baselines of Indonesia and Malaysian, running south from the tripoint with Thailand to the start of the maritime border with Singapore. Only part of this boundary has been delimited through a continental shelf boundary treaty in 1969 and a territorial sea boundary treaty in 1970. The continental shelf boundary between Indonesia and Malaysia in the South China Sea is also drawn along the equidistant line between the baselines of the two countries under the 1969 continental shelf boundary.
The border in the Celebes Sea is subject to dispute between the two countries. Part of the dispute was settled by the judgement of the International Court of Justice in the Sipadan and Ligitan Case in 2002 and is now awaiting delimitation between the two countries. The two countries however still have overlapping claims over the continental shelf which Indonesia refers to as Ambalat.
There are numerous sea transport crossings between Indonesia and Malaysia, mostly between Indonesia's Sumatra island and Peninsula Malaysia but also between the Indonesian province of East Kalimantan and Malaysia's Sabah state. The only official land transport crossing point is at Entikong (in Indonesia)/Tebedu (in Malaysia). The border, both land and maritime, is relatively porous and has allowed a huge influx of illegal immigrant workers from Indonesia to Malaysia.
Pusat Studi Malindo (PSM) adalah sebuah lembaga independen, non profit dan non partisan dan yang berbasis pada komunitas akademik dan focus kegiatan pada pengembangan kajian kebijakan, ekonomi, sosial dan budaya melalui penguatan gagasan, sikap kritis serta tindakan taktis elemen masyarakat akademik, sipil society, masyarakat ekonomi dalam membangun kemitraan strategis Indonesia dan Malaysia.
Hubungan Indonesia dengan Malaya, setelah kemerdekaan Persekutuan Tanah Melayu, lebih banyak diwarnai oleh “perbedaan- pertentangan”. Setidaknya ada dua faktor utama yang berada di belakang keadan ini. Pertama faktor “Tunku Vs Soekarno” dan faktor “perang dingin antara kapitalis dan komunis dunia”.
Latar belakang sosial, kultural dan politik kedua tokoh ini, antara Tunku dan Bung Karno sangat berbeda. Tunku adalah anak Sultan Kedah dari perempuan Thai. Beliau diasuh dan hidup senang dalam lingkungan istana, terdidik dalam sistem pendidikan dan budaya Inggris. Mendapat ijazah hukum dan perundang-undangan dari sebuah universitas di Inggris. Tidak bergaul dengan rakyat dan berpandangan liberal.
Sementara Soekarno adalah anak seorang priyayi Jawa dengan seorang perempuan kasta tinggi Bali. Dari kecil hidup di tengah rakyat biasa. Dalam bidang politik dan agama diasuh oleh tokoh Sarikat Islam, Raden Haji Oemar Said Tjokroaminoto di kota Surabaya. Sejak masa mahasiswa sudah berjuang bagi kemerdekaan Indonesia.
Soekarno memandang Tunku sebagai seorang pangeran Melayu yang hidup di dalam kamp penguasa kolonial. Tunku pula tidak senang dengan Soekarno yang hidup secara flamboyant tapi revolusioner, mencurigai kedekatan hubungannya dengan blok komunis (Russia-China).  Keduanya berbeda secara sosial, kultural dan ideologi politik.
Perbedaan pendapat dan saling curiga-mencurigai itu, terutama setelah Tunku berhasrat menubuhkan negara federal Malaysia yang terdiri daripada Malaya, Singapura, Brunei, Sarawak dan Sabah. Bung Karno memandang ini sebagai proyek Nekolim Inggris, bukan pemikiran asli dari Tunku. Indonesia meminta agar diselengarakan plebisit di Borneo Utara. Tapi ditolak oleh Tunku. Indonesia marah lalu melancarkan konfrontasi (1963-1966).
Hubungan baru dibangun oleh Perdana Menteri kedua Malaysia, Tun Abdul Razak Hussein dan Presiden kedua Indonesia, Soeharto dalam bentuk yang lebih baik dan damai.
Konsep bangsa serumpun kembali bergema dengan lebih nyata. Apakah faktor yang berada di belakang persahabatan baru ini?
Seperti diketahui, Tun Razak di Indonesia terkenal sebagai keturunan Bugis, sementara Adam Malik wakil presiden kedua RI dan Tun Muhammad Ghazali Shafei adalah masih berkerabat sebagai orang Mandailing (Sumatra). Dalam hal ini, faktor semangat bangsa serumpun kembali berperan. Sementara itu Ali Moertopo yang sama-sama dengan Soeharto adalah pemimpin-pemimpin tentara yang anti komunis.
Dalam zaman Tun Razak juga, Indonesia dan Malaysia menyelenggarakan kerjasama latihan militer: Malindo Samatha, Malindo Jaya, Malindo Mini dan Kris Kartika. Kerjasama dalam bidang pendidikan dan kebudayaan pun dipertingkatkan. Indonesia dan Malaysia muncul sebagai penaja organisasi ASEAN.
Selat Melaka pula diistiharkan sebagai perairan bukan-internasional tapi berada di bawah kawalan Indonesia dan Malaysia. Tidak seperti Tunku, Tun Razak tidak banyak menyimpan kecurigaan kepada Indonesia.
Zaman pemerintahan Razak, adalah zaman kecemerlangan hubungan serumpun Indonesia-Malaysia. Kiprah Tun Razak kemudian dilanjutkan oleh Perdana Menteri ketiga Malaysia, Tun Hussein Onn.
Pada zaman Tun Razak, Malaysia mengundang guru dan dosen dari Indonesia mengajar di Malaysia, terutama di Jabatan Pegajian Melayu bertujuan untuk mempertingkatkan kesusteraan Melayu. Di antaranya yang terkenal adalah Sultan Takdir Alisjahbana.
Hubungan akrab kedua negara pada zaman Dr Mahathir Mohamad (Perdana Menteri Malaysia keempat) mulai agak terkikis. Ada faktor Mahathir berperan dalam penurunan taraf hubungan ini.
Mahathir adalah seorang pemimpin yang mempunyai karakter tersendiri. Di bawah kepimpinannya ekonomi Malaysia maju pesat dan secara politik pula Malaysia mulai berperan di arena internasional. Mahathir bahkan muncul sebagai jurubicara dunia ketiga. Kondisi ini menghujat kepimpinan Indonesia di bawah Soeharto.
Konflik status Sipadan dan Ligitan muncul ke permukaan secara serius untuk pertama kalinya. Mulanya disepakati kedudukan status quo untuk pulau-pulau ini, tapi kemudian Malaysia membangun fasilitas pelancongan (pariwisata, red) di pulau tersebut. Akhirnya perselisihan disepakati untuk diselesaikan oleh Mahkamah Internasional (Internasional Court of Justice tahun 2002), kemudian ternyata perselisihan ini dimenangkan oleh Malaysia. Berbagai masalah perbatasan muncul pada masa Mahathir ini, yang terus diwarisi oleh Abdullah Badawi (Perdana Menteri kelima) dan Najib (Perdana Menteri keenam).
Migrasi dari Indonesia ke Semenanjung sudah biasa sejak dahulu. Pada zaman Tun Razak, Malaysia mengundang guru dan dosen dari Indonesia. Tapi corak migrasi pada zaman Mahathir, Abdullah Badawi dan Najib berbeda. Yang datang adalah pekerja-pekerja kasar, kurang terdidik, dan orang-orang miskin dari perdesaan, yang bekerja di sektor perladangan, pembangunan di perkotaan, dan sebagian lain bekerja sebagai pembantu rumah. Mereka adalah dari kelas bawah, yang dipanggil dengan sebutan “Indon” oleh orang Malaysia.
Tapi yang lebih serius daripada itu adalah masalah migran gelap, yang berperan sebagai puncak masalah sosial di Malaysia. Tahun 1981 diduga ada 100.000 migran gelap dari Indonesia, tahun 1987 mencecah 1 juta orang. Tahun 2011 diduga 2 juta orang. Efek negatif dari migran ini tidaklah main-main, kriminal, pencurian, perampokan, pembunuhan dan sebagainya. Menurut catatan, tiga puluh enam persen dari narapidana di penjara Malaysia adalah migran dari Indonesia. Padahal pemulangan migran gelap telah dilakukan berkali-kali.
Bagi Indonesia pula, masalah migran Indonesia adalah tentang perlakuan kasar majikan terhadap pembantu rumah, pemberian gaji yang kecoh oleh majikan, dan perlakuan kasar dan menghina oleh polisi dan relawan Malaysia terhadap migran Indonesia. Masalah ini menjadi salah satu puncak hubungan tidak harmoni antara kedua
negara.
Ada kecenderungan semangat bangsa serumpun makin mulai hilang di Indonesia, karena kekecewaan atas sikap “arogansi” saudara serumpunnya, Malaysia.
Satu hal pula yang perlu dicatat, penggunaan  istilah “Indon” di Malaysia punya dampak negative di Indonesia.
Istilah “Indon” di Malaysia berbeda dengan istilah “Indon” di Indonesia. Di Indonesia,  istilah ini berkonotasi negative yang dianggap sebagai ejekan atau penghinaan. Tetapi di Malaysia istilah ini merupakan sebuah singkatan yang mengacu kepada Negara atau rakyat Indonesia ,bukan yang lainnya.
Sekadar catatan, budaya Malaysia memang lebih suka dengan istilah perkataan singkat/singkatan dalam percakapan umum sehari-hari (pribadi).
Sebagaimana singkatan lainnya contohnya Banglades, di Malaysia lebih popular dengan istilah “Bangla“ juga mempunyai makna sama seperti di atas, yaitu sebuah singkatan yang mengacu kepada bangsa/rakyat Banglades. Begitu juga istilah KL= Kuala Lumpur. Di Malaysia lebih populer dengan istilah KL daripada Kuala Lumpur-nya.
Karenanya, jika hal-hal kecil tidak menjadi perhatian, boleh jadi kerasian hubungan dua negeri serumpun ini akan terus makin jauh. Adalah suatu yang kurang masuk akal, jika dua Negara yang punya ‘hubungan darah’ terlibat konflik hanya karena urusan bola,  atau urusan-urusan lebih kecil lainnya. Padahal, jika dua kekuatan serumpun ini bersatu, bukan tidak mungkin akan menjadi kekuatan baru, sebuah kawasan Negara Melayu berpenduduk Muslim yang kuat yang disegani di Asia dan dunia.
Sumber : http://www.hidayatullah.com/read/26329/12/12/2012/menanti-bangsa-serumpun-malaysia-indonesia-berjaya.html
Konsulat Malaysia di Pekanbaru, Riau, berharap hubungan negaranya dengan Indonesia dapat terjalin harmonis dan terpupuk hingga mencapai tujuan yang sejalan.
“Hal ini karena Indonesia dan Malaysia merupakan dua negara saling berdampingan. Segala upaya kemajuan ekonomi bisa dipacu dengan baik antarkeduanya,” kata Konsulat Malaysia, Azizan Ismail, di Pekanbaru, Sabtu.
Malaysia tengah bersiap merayakan Hari Nasional-nya (sama dengan peringatan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia), sebentar lagi. Berbagai persiapan telah dilakukan secara simultan sejak beberapa waktu lalu.Dia menyatakan, Malaysia dalam kebangkitan bernegara juga tidak hanya mengukuhkan dan meningkatkan kemakmuran dalam negara sendiri, namun juga berupaya mempererat hubungan internasional.
Salah satunya, demikian Azizan, Malaysia selalu senantiasa mengeratkan hubungan dan kerja sama dengan negara-negara asing khususnya negara jiran seperti Indonesia.
“Hubungan yang terjalin rapat sejak turun-temurun diantara dua jiran tetangga terdekat ini, sesungguhnya mempunyai hubungan dua hal yang sangat aktif, mencakup berbagai bidang,” katanya.
“Termasuk juga hubungan rakyat kedua negara ini. Diharapkan pula semangat persaudaraan dan kesetiakawanan perlu terus dijadikan landasan hubungan yang baik antara Malaysia dengan Indonesia kedepan,” katanya.Hubungan harmonis kedua negara ini, demikian Azizan, merupakan arah tujuan positif bagi masa depan bangsa yang tiada tara.
“Untuk itu pula, jangan ada iri hati beserta dengki atas apa yang di raih saat ini. Padukan kebersamaan bangsa untuk terus maju,” katanya.
Beberapa waktu lalu, kemesraan hubungan Indonesia dengan Malaysia itu sempat terganggu akibat “klaim” Malaysia atas beberapa kekayaan budaya Indonesia, juga wilayah perairan nasional. Ini juga menjadi pekerjaan rumah serius bagi Indonesia untuk lebih menata diri.
Sumber: http://www.antaranews.com/berita/330666/malaysia-ingin-hubungan-harmonis-dengan-indonesia

Transformasi Isu Konflik dan Hubungan Indonesia-Malaysia
Oleh
Prof. Madya Dr. Ahmad Martadha Mohamed and Dr. Suyatno
School of Government – COLGIS
Universiti Utara Malaysia
Pendahuluan
Memanasnya hubungan Indonesia-Malaysia sepertinya menjadi ritual tahunan dan selalunya bisa dikatakan hangat-hangat tahi ayam. Cepat muncul tapi juga cepat lenyap seiring dengan bergantinya isu-isu seksi lainnya yang bisa menggeser perhatian pada isu yang menyebabkan konflik. Sebagaimana beberapa tahun sebelumnya, iaitu isu Tari Pendet akhirnya lenyap ditelan bumi hanya dalam hitungan beberapa minggu saja dan diganti dengan isu Bank Century, yang juga lenyap diganti dengan sederet isu seksi lainnya seperti pornografi Ariel Peterpan, remisi koruptor dan terakhir isu korupsi yang dilakukan kader Partai Demokrat yang menghebohkan mengubur isu-isu yang membuat panas hubungan kedua negara tersebut.
Namun demikian seolah tak pernah kehabisan bahan untuk menyulut bara konflik kembali, isu terakhir tentang Tari Tor Tor dan Gorda Sambilan yang oleh komunitas di Malaysia didaftarkan sebagai bagian budaya Malaysia, menjadi isu terkini yang memanas. Ini menyusul isu penembakan terduga pelaku tindak kriminal terhadap 3 (tiga) warga Indonesia, di Negeri Sembilan oleh Polis DiRaja Malaysia. Sejumlah elit Indonesia seolah berebut menunjukkan patriotisme dan semangat nasionalisme dengan memberikan komentar yang kadang terdengar konyol karena tidak dilandasi oleh argumen sosio-politik budaya yang memadai. Lihat saja komentar latah dalam isu ini seperti yang diutarakan oleh Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Taufik Kurniawan, yang mengusulkan mengganti film Upin-Ipin dengan film si Unyil (DeTik.com, 2010). Sepertinya konsumen film Indonesia adalah konsumen yang bodoh yang dengan seenaknya bisa ditukar-tukar seleranya oleh elit dengan mengabaikan variabel pasar dan globalisasi. Atau lebih ekstrim lagi pernyataan Wakil Ketua Komisi I DPR, yaitu Hayono Isman, yang juga merupakan anggota Dewan Pertimbangan Partai Demokrat, yang tiba-tiba mengajak perang dengan Malaysia kalau masalah Ambalat masih dipersoalkan oleh pihak Malaysia (Lensa Indonesia.com, 2012). Ini pernyataan yang membuat banyak pihak terkejut dan bertanya-tanya, karena dibuat sehari setelah berbagai pihak mempertanyakan urgensi kunjungan resmi anggota Komisi I DPR ke Jerman dan sorotan masyarakat atas banyaknya keterlibatan kader Partai Demokrat yang terlibat sangkaan korupsi yang sedang diusut oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pemetaan konflik Indonesia-Malaysia yang dibangkitkan oleh isu-isu sensasional perlu diketengahkan agar bisa mewujudkan peluang untuk mentransformasikannya dalam bentuk perdamaian yang langgeng. Mengingat konflik ini rutin terjadi dan seolah tak pernah kehabisan isu untuk dipertengkarkan. Untuk itu upaya transformasi konflik amat perlu didorong, karena dapat mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif dari peperangan menjadi kekuatan sosial dan politik yang positif.
Transformasi Konflik dan Transformasi Isu
Reinmann menyatakan bahwa transformasi konflik merujuk pada hasil, proses dan struktur yang ditujukan pada usaha membina perdamaian yang berkelanjutan, yang bertujuan secara sungguh-sungguh untuk mengatasi budaya dan struktur kekerasan. Transformasi konflik merupakan suatu yang tanpa batas, jangka panjang dan merupakan proses dinamis yang secara nyata memperlebar ruang lingkup pelaku yang terlibat (C.Reimann, 2001). Sementara Lederech (Lederach, 2003) menjelaskan bahwa transformasi konflik adalah sebuah proses penanganan konflik dengan cara mengamati dan menanggapi pasang surutnya konflik sosial sebagai kesempatan pemberian diri untuk menciptakan proses-proses perubahan yang konstruktif, yang mengurangi kekerasan, meningkatkan keadilan dalam interaksi langsung dan struktur sosial dan menanggapi masalah-masalah riil kehidupan dalam relasi-relasi yang manusiawi. Adapaun penjelasan lebih terperinci diberikan oleh Miall dkk (Miall, et.al.,1999) yang menyatakan bahwa terdapat 5 aspek transformasi konflik, yaitu transformasi konteks, transformasi struktural, transformasi aktor, transformasi isu dan tranformasi kelompok dan personal.
Dari uraian ini nampak jelas ketika pemetaan konflik bisa dilakukan maka akan jelas adanya peluang-peluang untuk melakukan perubahan konstruktif dengan memberikan tekanan serta prioritas kepada aspek-aspek yang mana yang bisa dikedepankan untuk ditransformasikan dengan segera. Dalam memahami konflik Indonesia – Malaysia, aspek transformasi isu adalah yang krusial untuk dibahas dan sekaligus memiliki peluang untuk meredakan dan merubah konflik ke arah yang konstruktif relatif lebih cepat. Mengingat transformasi isu adalah manakala konflik ditentukan oleh kedudukan para pihak dalam menghadapi suatu isu/masalah, apabila mereka mengubah posisinya, atau ada isu baru maka terjadilah perubahan pada konflik itu (Vayrynen, 1991).
Untuk itu usaha mentransformasi isu konflik Indonesia-Malaysia bisa dimulai dengan mengimbangi isu yang muncul dan sensasional dengan memunculkan realita positif yang ditimbulkan oleh hubungan keda negara tersebut. Tak kalah menariknya fakta atau masalah yang secara substansial memiliki kemiripan dengan isu yang memantik konflik, seperti misalnya isu klaim budaya, yang dimiliki oleh bangsa Indonesia juga adalah bentuk usaha bijaksana untuk melahirkan sikap otokritik yang mendalam sebelum menuduh negeri Jiran melakukan hal yang sama. Juga menjelaskan istilah-istilah yang salah kaprah, seperti Hak Paten Budaya yang memang tidak dikenal dalam literatur studi hukum, tetapi menjadi tema sentral yang dibahas oleh media dan masyarakat Indonesia.
Implikasi Positif Hubungan Indonesia-Malaysia
Suka atau tidak, hubungan Indonesia-Malaysia diibaratkan benci tapi rindu. Benci karena dianggap sering memunculkan masalah-masalah yang sensitif, tetapi pada saat bersamaan muncul juga rasa rindu karena berhubungan dengan Malaysia banyak menjanjikan keuntungan dari berbagai aspek. Aspek ekonomi adalah salah satu aspek yang terbesar yang dipetik oleh Indonesia secara langsung. Terlepas banyak nada miring dengan realita pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) yang dianggap banyak pihak merendahkan martabat bangsa karena hanya mampu mengirimkan tenaga kasar, tetapi Malaysia tetap menjadi pilihan utama para pencari kerja tersebut. Jumlah TKI yang bekerja di Malaysia menurut data resmi Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) mencapai 1,2 juta orang. Angka tersebut disusul Arab Saudi yang menempati urutan kedua yaitu tercatat 927.500 orang. Selain itu, dari sisi jumlah TKI yang bekerja di luar negeri hingga awal Februari 2010 jumlahnya mencapai 2.679.536 orang. Untuk pemasukan devisa yang dihasilkan dari remitansi yang dikirimkan TKI sampai akhir tahun 2009 mencapai US$ 6,615 miliar (Detikfinance, 2010). Ini menggambarkan Malaysia masih diandalkan sebagai negara penyumbang devisa negara terbesar di sektor pengiriman tenaga kerja.
Yang menarik pada aspek pendidikan dan tenaga kerja adalah bahwa Malaysia kini menjadi incaran para pelajar dan mahasiswa Indonesia untuk belajar di sana dan para dosen Indonesia mencari peruntungan di negeri jiran tersebut. Menurut keterangan Atase Pendidikan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kuala Lumpur, Rusdi MA, terdapat sekitar 4.000 warga Indonesia menjadi dosen dan peneliti di perguruan tinggi di Malaysia. Mereka tersebar di seluruh negari mulai dari Selangor, Johor, Kedah ataupun Melaka dengan jumlah bervariasi. Keterlibatan para dosen Indonesia di kampusnya termasuk dalam bentuk penelitian dan pengajaran, namun soal kebijakan penting masih dipegang oleh pihak Malaysia. Sementara itu, mahasiswa Indonesia yang kuliah di perguruan tinggi di negeri ini baik yang kuliah di universitas negeri ataupun swasta cukup banyak yaang mencakup jenjang pendidikan S1, S2, bahkan untuk program S3. Berdasarkan data KBRI Kuala Lumpur, jumlah mahasiswa Indonesia di Malaysia dalam beberapa tahun terakhir ini masih cukup banyak terutama pada tahun 2008 yang mencapai 14.359 orang. Pada 2009, jumlahnya turun drastis menjadi 10.392 orang, namun pada tahun 2010 (sampai Mei) kembali naik menjadi 13.627 mahasiswa. Ada beberapa alasan para mahasiswa Indonesia berkuliah di Malaysia seperti biaya yang lebih murah dibanding Eropa dan Amerika Serikat, bahasa dan budaya yang banyak kesamaannya ataupun kemudahan transportasi publik sehingga memperlancar aktivitas belajar mereka. Sementara jumlah mahasiswa Malaysia di Indonesia memang tidak sebanyak mahasiswa Indonesia, tapi dari sisi jumlah juga menunjukkan tren meningkat dari 2.344 mahasiswa di tahun 2005 menjadi 5.788 mahasiswa di tahun 2009. Bahkan pada 2010 (sampai Mei), jumlahnya mencapai 6.086 mahasiswa (AntaraNews, 2011).
Di bidang pariwisata, terdapat optimisme besar ketika pemerintah Indonesia kian bersemangat memancing wisatawan Malaysia untuk lebih banyak lagi datang. Pemerintah Indonesia menargetkan jumlah wisatawan asal Malaysia pada tahun 2012 meningkat sebesar lima hingga 10 persen dibandingkan tahun lalu yang mencapai 1,03 juta orang. Para wisatawan tersebar di berbagai objek wisata di Aceh, Medan, Padang, dan sejumlah tempat di wilayah Sumatera. Demikian pula untuk wilayah Jawa mulai dari Bandung, Garut, Solo, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Bali hingga lombok serta Makassar. Di Yogyakarta sendiri pada tahun 2011 jumlah wisatawan asal Malaysia menempati urutan keempat terbesar setelah Belanda, Jepang dan Prancis dengan jumlah sekitar 17.500 orang, sedangkan Belanda sekitar 26 ribu orang (antarasumut.com, 2012). Ini adalah fenomena menarik ketika sebagian masyarakat Indonesia menghujat Malaysia sebagai respon munculnya konflik tetapi pada saat bersamaan tren kedatangan wisatawan Malaysia cenderung meningkat.
Lebih menarik lagi ketika ramai isu penembakan 3 (tiga) WNI yang diduga pelaku krimal oleh Polis DiRaja Malaysia, dan menimbulkan sejumlah demonstrasi di beberapa daerah, khususnya daerah Lombok dimana ketiga korban tersebut berasal, ada informasi yang seolah tenggelam oleh isu konflik tersebut. Padahal secara substansial isu tersebut sangat menguntungkan masyarakat Lombok. Kompas memberitakan bahwa Pemerintah Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, belum bisa memenuhi permintaan lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK) jurusan elektro dari Malaysia. Hanya sekitar 300 orang yang bisa dikirmkan ke Malaysia, padahal kebutuhan disana mencapai 5.000 orang. Ini disebabkan lulusan jurusan elektro memang sedikit. Ironinya pemberitaan ini terdapat dalam pemberitaan media surat kabar Kompas, dalam kolom yang sangat kecil (Kompas, 2012).
Ini adalah beberapa aspek yang bisa diketengahkan sebagai realita positif hubungan Indonesia-Malaysia. Tentunya banyak sisi positif yang lain yang bisa menunjukkan fakta bahwa berhubungan dengan Malaysia tidak sekedar menebar dan memperoleh kebencian serta permusuhan semata tetapi juga bisa melahirkan banyak manfaat bagi kedua belah pihak. Jadi mentransformasi isu konfllik kearah penunjukkan fakta-fakta positif sebagai implikasi hubungan menjadi urgens untuk dilakukan, tidak saja untuk mengimbangi obyektitifitas berita tetapi menunjukkan realita apa adanya.
Klaim Budaya, Hak Paten dan Hak Cipta
Perselisihan budaya adalah isu yang sering muncul dan menimbulkan konflik yang cukup hangat antara Indonesia-Malaysia. Mulai dari isu penjiplakan lagu kebangsaan Malaysia terhadap lagu Indonesia, lagu Rasa Sayange, Tari Reog, makanan Rendang, Angklung, Tari Pendet, Batik, dan yang terakhir Tari Tor Tor dan Gondang Sambilan. Ini sebenarnya adalah implikasi wajar dari sebuah bangsa yang dulunya bermukim dalam satu wilayah Nusantara sebelum kedatangan penjajah. Hibridisasi atau bahkan penjiplakan adalah bentuk respons wajar dari pertemuan budaya yang memang tidak mengenal batasan geografis seiring dengan mobilitas penggunanya selama bertahun-tahun.
Konflik yang muncul sering hanya mengedepankan atau bahkan menempatkan Malaysia pada posisi yang dianggap sebagai pihak yang bersalah. Hal ini muncul karena Malaysia dianggap memantik persoalan dengan mengklaim budaya komunitasnya sebagai budaya negara Malaysia. Padahal yang sering terjadi adalah kesalahpahaman seperti misalnya dalam isu klaim budaya Tari Tor Tor dan Gondang Sambilan. Komunitas etnis Mandailing yang sudah ratusan tahun bermukim di wilayah semenanjung Melayu yang kini bernama negara Malaysia, memerlukan pengakuan negaranya agar warisan budaya tersebut dapat dipelihara oleh pemerintah dalam bentuk kebijakan yang mendukung kelestariannya melalui Section 67 UU tentang warisan budaya nasional tahun 2005.
Adalah tindakan bijak kalau otokritik sebaiknya juga dikemukakan secara lebih luas bahwa tuduhan-tuduhan yang dilakukan sebagian masyarakat Indonesia terhadap perilaku Malaysia yang suka klaim atau suka memfoto kopi budaya ternyata juga telah lama hingga kini juga dilakukan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Ini penting untuk mentransformasi isu bahwa apa yang berlaku di negeri jiran rupanya juga menjadi kebiasaan disini.
Isu tentang tuduhan bahwa lagu kebangsaan Malaysia, “Negaraku”, merupakan lagu yang berasal dari Indonesia, yaitu “Terang Bulan”, dikemudian hari ditemukan fakta, sebagaimana dinyatakan oleh pengamat musik Remy Silado, bahwa lagu aslinya berasal dari Perancis yang diciptakan oleh Pierre-Jean de Beranger (1780-1857), “La Rosali” pada abad 19. Perdebatan yang lain adalah seputar keaslian lagu kebangsaan Indonesia sendiri, ketika banyak pihak meragukan karena adanya data bahwa Lagu “Indonesia Raya” menjiplak lagu Willy Derby yang berjudul “Pinda Pinda Lekka Lekka”. Perebatan muncul karena masih belum jelas siapa menjiplak siapa karena terdapat bukti bahwa WR Supratman memperdengarkan lagu ini pertama kali pada tahun 1928 ketika Kongres Sumpah Pemuda, sementra Willy Derby menyanyikannya pada tahun 1930-an. Sementara bukti lain menujukkan lagu ini sudah populer tahun 1910-an (VoA Islam, 2011). Hal ini memerlukan riset lebih jauh agar memperoleh kejelasan.
Pada budaya yang berkembang di Indonesia sejak lama banyak ditemukan aspek orisinalitas sering kali diragui benar-benar berasal dari Indonesia. Makanan Palembang pempek berasal dari Kunming, China. Congklak sendiri berasla dari Afrika, 5000 tahun yang lalu. Kesenian tradisional katrilli (Manado) berasal dari kata quadrille (Prancis). Kereta Sado (batavia) berasal dari kata Dos ά dos (Prancis) yang bermakna duduk saling memunggungi. Bahasa Indonesia yang ditetapkan sebagai bahasa persatuan merupakan serapan dan campuran dari 30% bahasa Arab, 30% bahasa Eropa (Belanda, Portugis, Inggris) dan 40% bahasa Melayu (Kompas, 2009).
Menarik lagi kalau ternyata Ramayana oleh UNESCO dinyatakan sebagai seni tak benda (intangible cultural heritage) India, tetapi malah dijual dalam paket pariwisata Indonesia dan diakui sebagai budaya Jawa Tengah. Bahkan wayang yang dinyatakan UNESCO sebagai seni tak benda Indonesia adalah budaya kombinasi dari India dan persia. Jadi tidak asli dari Indonesia ((Kompas, 2009). Bahkan batik yang menjadi kebanggaan Indonesia ternyata asal usulnya bukanlah asli dari Nusantara melainkan dari para bangsawan India yang mengajarkan seni ini kepada para bangsawan kerajaan Jenggala di daerah timur pulau Jawa (Kompas, 2000).
Belum lagi karya-karya seni populer dewasa ini yang sulit menyatakan bahwa itu semua merupakan seni budaya Indonesia karena kalau bukan meniru malah menjiplak karya asing. Anehnya banyak diantara masyarakat yang tak tahu bahwa lagu yang begitu populer di tengah masyarakat ternyata adlah versi “terjemahan” saja dari lagu berbahasa Inggris ke lagu berbahasa Indonesia. Seperti misalnya lagu karangan Ahmad Dhani yang populer, “Cintaku Kandas di Malaysia” yang merupakan versi terjemahan dari lagu tahun 1973 yang dibawakan oleh group rock asal Belanda, Kayak, dengan judul lagu “Ruthless Queen”.
Lebih ironi lagi ketika elit pemerintah dan media serta masyarakat tak memahami makna sesungguhnya dari istilah Hak Paten dan Hak Cipta. Hak Paten diperuntukkan untuk temuan-temuan baru dalam bidang teknologi, sementara yang berkaitan dengan budaya dikenal dengan Hak Cipta. Jadi terasa janggal kalau sampai ada istilah hendak mematenkan budaya kepada UNESCO, karena ini menggambarkan ketidakmengertian secara mendasar dalam bidang hukum tetapi sudah menjadi salah kaprah yang dibiarkan terus menerus.
Seperti yang telah diketahui bersama bahwa UNESCO merupakan badan dunia yang mengurus kebudayaan, pendidikan, dan ilmu pengetahuan. Fokus kerja UNESCO dalam bidang kebudayaan yang mengurus ihwal pendaftaran suatu bentuk kebudayaan menjadi warisan budaya tak benda (Intangible Cultural Heritage/ICH). merumuskan tujuan kegiatannya untuk: (1). Menjaga warisan budaya tak benda; (2). Memastikan penghormatan terhadap warisan budaya tak benda yang dimiliki oleh masyarakat, kelompok, serta individu yang bersangkutan; (3). Meningkatkan kesadaran lokal, nasional, serta internasional mengenai pentingnya warisan budaya tak benda, dan apresiasinya satu sama lain; sehingga; (4).Memberikan kerjasama dan bantuan internasional (unesco.org, 2012). Jadi disini jelas ICH hanya sekedar memfasilitasi kelestarian warisan budaya tak benda dengan meningkatkan kesadaran hingga skala internasional, sehingga dapat memunculkan kerjasama dan bantuan internasional untuk mengusahakan kelestarian warisan budaya tak benda tersebut. Tidak ada urusannya dengan Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Apalagi seolah-olah budaya bisa dipatenkan.
Penutup
Dari penjelasan diatas, penulis beragurmen bahawa munculnya isu konflik Inondesia-Malaysia adalah sesuatu yang lumrah terjadi. Alasan sejarah dimana kedua negara tersebut pernah hidup serumah dan “diceraikan” oleh penjajah adalah salah satu faktor munculnya tumpang tindih persoalan sosial dan budaya diantara keduanya. Ini adalah realita yang tidak boleh ditampik. Namun begitu bahawa ada sisi positif dari kedua hubungan tersebut adalah juga realita yang harus dikemukakan dan didorong. Sudah banyak terbukti banyak aspek yang diuntungkan oleh adanya hubungan tersebut. Maknanya memberikan persoalan yang seimbang dalam persepktif yang beragam sangatlah penting karena ini juga merupakan usaha transformasi isu yang konstruktif.
Usaha transformasi isu yang lain bisa dilakukan dengan menunjukkan betapa budaya yang sering mengalami konflik diantara kedua negara ini, adalah wilayah yang sedari dulu berhubungan satu sama lain, baik secara lokal, antar lokal maupun global. Konsekuensinya, jika tidak terjadi hibridisasi maka terjadi pengaruh satu sama lain, atau bahkan kemungkinan negatif terjadinya proses penjiplakan budaya. Sebelum marah dengan apa yang terjadi di Malaysia yang diterjemahkan sebagai klaim budaya oleh sebagian masyarakat Indonesia, maka berkaca diri dalam sejarah budaya sangatlah penting untuk didorong terus menerus.
Media dan pemerintah serta elit politik memiliki peranan vital dalam memelopori usaha ini, bukannya malah memprovokasi masyarakat. Banyak masyarakat tidak memahami bagaimana substansi persoalan yang sesungguhnya. Anehnya ini dimanfaatkan oleh media untuk membakar isu murahan menjadi konflik baru. Jadi kalau ada ungkapan bahwa kalau ada orang digigit anjing bukan berita tetapi kalau anjing digigit orang baru berita nampaknya masih menjadi paham bersama sebagian besar media di Indonesia. Padahal di era global seperti sekarang ini, fakta-fakta baru bisa ditemukan yang menunjukkan perilaku yang sama dengan tuduhan kepada Malaysia yang dianggap suka memfoto kopi budaya. Ibaratnya seperti kisah baru yang dipaksakan muncul yaitu si Tukang Foto Kopi (Malaysia) dan Penjual CD bajakan (Indonesia) di wilayah Asia Tenggara. Ini akan membuat lebih malu bangsa ini karena semakin dianggap aneh oleh bangsa-bangsa lain.***
Rujukan:
Buku-Buku:
• 1000 Tahun Nusantara, 2000, Kompas, Jakarta.
• C.Reimann, 2001, Towards gender mainstreaming in crisis pre-vention and conflict management. Guidelines for Ger-man technical co-operation, Eschborn.
• Hugh Miall, Oliver Ramsbotham, Tom Woodhouse. 1999. Contemporary Conflict Resolution: The Prevention, Management and Transformation of Deadly Conflicts. Polity Press.
• Lederach, John Paul. 2003. “Conflict Transformation.” Beyond Intractability. Eds. Guy Burgess and Heidi Burgess. Conflict Information Consortium, University of Colorado, Boulder.
• Raimo Vayrynen, ed. 1991. New Directions in Conflict Theory. Sage Publications, London.
Internet:
• ” Indonesia Targetkan Wisatawan Malaysia Naik 10 Persen”, Antara Sumut, dalam http://www.antarasumut.com/pariwisata/indonesia-targetkan-wisatawan-malaysia-naik-10-persen/ (Diunduh 15 Mei 2012)
• “Konflik Perbatasan, Hayono Isman: Malaysia Kurang Ajar, Perang!”, Lensa Indonesia.com, Selasa, 8 Mei 2012, dalam http://www.lensaindonesia.com/2012/05/08/hayono-isman-malaysia-kurang-ajar-perang.html (diunduh 15 Mei 2012)
• “Lagu “Indonesia Raya” Menjiplak Lagu “Pinda Pinda Lekka Lekka”?”, VoA Islam, dalam http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2011/02/17/13365/lagu-indonesia-raya-menjiplak-pinda-lekka/ (diunduh 15 Mei 2012).
• “Lagu Kebangsaan Malaysia Menjiplak ”Terang Bulan”, Suara Merdeka.com, 1 Septembe 2009, dalam http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2009/09/01/78830/Lagu.Kebangsaan.Malaysia.Menjiplak….Tera (diunduh 15 Mei 2012).
• “Malaysia Menjadi Primadona TKI Mencari Uang di Luar Negeri”, Detikfinance, Minggu, 28 Pebruari 2010, dalam http://finance.detik.com/read/2010/02/28/180153/1307974/4/malaysia-menjadi-primadona-tki-mencari-uang-di-luar-negeri (Diunduh 15 Mei 2012)
• “Malaysia Minta 5.000 Lulusan SMK Elektronik”, Kompas, 29 Juni 2012
• “Ribuan Dosen Indonesia Mengajar di Malaysia”, AntaraNews, Rabu, 9 Maret 2011, dalam http://www.antaranews.com/news/249275/ribuan-dosen-indonesia-mengajar-di-malaysia (Diunduh 15 Mei 2012)
• “Salah Kaprah Paten Budaya”, Arif Havas Oegroseno, Kompas, 9 Oktober 2009.
• “Wakil Ketua DPR: Ganti Film Upin-Ipin dengan Si Unyil”, Detik.com, Senin 30 Agustus 2010, http://news.detik.com/read/2010/08/30/091241/1430749/10/wakil-ketua-dpr-ganti-film-upin-ipin-dengan-si-unyil?nd992203605 (diunduh 1 Mei 2012).
• http://unesco.org/culture/ich


Tidak ada komentar:

Posting Komentar