Minggu, 30 Oktober 2016

Mencoba adalah ukuran keberanian










MENULIS MENULIS MENULIS

MENCOBA ADALAH UKURAN KEBERANIAN


Pengantar Singkat

        Pada dasarnya ada dua keterampilan berbahasa yang sebaiknya dimiliki setiap orang secara seimbang: keterampilan TULIS dan LISAN, MENULIS dan BERBICARA. Tentu sangat ideal jika seseorang memiliki keterampilan untuk menuliskan sesuatu secara lancar, terstruktur, sistematis, dan memenuhi standar tulisan yang baik,  serta sekaligus mempunyai keterampilan dalam menyampaikan informasi, gagasan, atau pikirannya secara lisan. Bisakah orang memiliki dua keterampilan itu secara seimbang bersamaan? Kenapa tidak!
        Terampil adalah tingkat tertinggi yang bisa dicapai lewat proses yang disebut latihan. Artinya, setiap orang yang rajin berlatih memiliki kesempatan untuk menggapai tingkat tersebut, atau minimal mempertinggi tingkat keterampilannya. Yang paling diperlukan dalam proses latihan menuju terampil adalah ketekunan dan keberanian mencoba. Mencoba adalah ukuran keberanian seseorang. Asalkan tekun berlatih dan tidak pernah bosan mencoba, siapa pun berpeluang meningkatkan diri.
        Memang kadang-kadang tidak ada korelasi positif antara pengetahuan dan keterampilan. Pengetahuan yang baik tentang berbagai aspek kebahasaan tidak menjamin seseorang memiliki keterampilan untuk mendayagunakan pengetahuannya itu secara tertulis. Latihan adalah kuncinya. Hanya latihan yang intensiflah yang akan membuat seseorang menjadi master. Tentu saja akan sangat ideal jika keterampilan itu dilandasi dan dipadukan dengan pemahaman yang baik serta pengetahuan yang memadai.
        Untuk menyemangati diri, mari kita yakini dan kita tanamkan  dalam diri bahwa “jika orang lain bisa, kita juga pasti bisa”, dan “di dunia ini tidak ada hal yang sulit, kecuali bagi para pemalas”, serta “tidak ada usaha yang sia-sia karena juga hampir tidak ada keberhasilan yang cuma-cuma”. Konon, resep orang sukses adalah melihat orang lain yang sukses, mempelajari dan mencari tahu mengapa orang itu sukses, kemudian menandingi dan mengalahkannya. Siapkah kita? Konon (lagi), setelah kesulitan pasti ada kemudahan. Jadi, mengapa kita harus takut menghadapi kesulitan? Bukankah kesulitan adalah bumbu racikan yang membuat makanan dan perjalanan usaha kita terasa lebih nikmat? Menunggu mimpi menjadi narator tak akan pernah benar-benar membuat kita memiliki kemampuan beretorika. Apa yang kita perlukan?
Buku bisa kita baca. Teori bisa kita hafalkan. Metode bisa kita pelajari. Namun, teori dan praktik adalah dua hal yang kadang-kadang sangat berbeda. Jadi, jika ingin terampil, sekali lagi, hanya ketekunan berlatih, hanya keberanian mencoba, dan hanya usaha maksimallah yang akan membimbing kita untuk mencapainya, yang akan memberi kesempatan atau menciptakan peluang pada kita untuk meraihnya: menjadi seorang master. Jika demikian, sudah selayaknyalah kita segera mulai: berlatih, mencoba, dan berupaya tanpa kenal kata menyerah. “Kalau tidak sekarang, kapan lagi?” demikianlah ungkapan yang sering kita dengar.
Bahan yang saya sampaikan ini hanya pemicu kecil. Isinya juga hanya catatan ringan. Akan tetapi, jika mendayagunakannya secara maksimal, dan kemudian (juga) memraktikkan teori atau metode sederhana yang disertakan, saya yakin Anda sudah mulai berlatih, Anda sudah mulai mencoba dan berupaya, dan pastilah suatu saat Anda akan memanen hasilnya. Semoga.
Menulis Kreatif, Kreatif Menulis
       Memulai sesuatu, termasuk menulis, kadang-kadang memerlukan strategi tersendiri. Banyak orang yang begitu sulit menemukan pemicu dalam diri untuk mulai menulis. Bahkan, ada yang merasakan betapa susah dan jarangnya ide atau inspirasi menghampiri dirinya. Sementara itu, ada,  bahkan banyak, orang yang tampaknya begitu mudah menemukan ide dan menggali inspirasi. Lalu? Pada akhirnya, pengalamanlah yang akan banyak berperan, dan pengalaman menulis adalah sebuah rangkaian dari proses yang disebut sebagai gerakan membiasakan diri. Gerakan inilah yang secara umum dikenal sebagai latihan, latihan menulis secara kreatif dan kreatif menulis.
        Tak dapat disangkal bahwa kemampuan dan keterampilan menulis sangat berkaitan dengan kemampuan dan keterampilan membaca. Oleh karena itu, banyak ahli yang bersepakat bahwa penulis yang baik adalah pembaca yang baik. Sayangnya, tidak semua pembaca yang baik akan dapat secara otomatis menjadi penulis yang baik. Sekali lagi, latihan adalah kata kunci. Kapan kita bisa/harus berlatih?
        Menunggu ide atau inspirasi muncul bukanlah cara bijak untuk mulai menulis. Ide atau inspirasi itu harus dipicu atau diciptakan. Untuk proses ini pun, lagi-lagi, kita memerlukan latihan, dan kalau sudah berbicara mengenai latihan, tingkat keintensifanlah yang akan menentukan. Bagaimana memicu ide/inspirasi?
        Konon, cara termudah memicu ide atau inspirasi adalah dengan membaca, banyak membaca, dan menggunakan ide orang lain sebagai model. Bolehkah? Tidak pernah ada larangan untuk menjadikan ide atau tulisan orang lain sebagai model. Pada saat seseorang mencapai tingkat pemahaman yang baik atas sesuatu, dalam banyak kasus, ide yang sederhana pun bisa dijadikan bahan tulisan yang baik, dan tulisan sederhana pun bisa dijadikan sebagai model. Mari kita cermati contoh sederhana ini.
TIGA SAHABAT SETIA
Tugas Mata Kuliah Bahasa Indonesia Esty Wiria S.
(dengan beberapa perbaikan HM)
Mahasiswi FIPB Universitas Indonesia Jakarta
Dosen:  Felicia N. Utorodewo
Alkisah di Negeri Bahasa hiduplah tiga orang sahabat yang bernama Meskipun, Walaupun, dan Tetapi. Walaupun tidak tinggal berdampingan, mereka selalu hidup rukun karena tidak pernah mencampuri urusan masing-masing.
Dalam hidup bermasyarakat, Meskipun, Walaupun, dan Tetapi selalu membantu keluarga-keluarga kalimat yang membutuhkan pertolongan mereka dalam penggunaan kalimat-kalimat penegasan atau pertentangan. Suatu hari Pak Kalimat datang menemui Tetapi. Ia membutuhkan bantuan Tetapi dalam kalimat "Kami ingin datang, ..... hujan deras menghalangi niat kami".
Di lain waktu, Meskipun dimintai pertolongan oleh Pak Kalimat. Pada saat itu Pak Kalimat membutuhkan Meskipun untuk menyempurnakan kalimat "... dia menolak, saya tetap memaksanya". Sayangnya, Meskipun sibuk membantu keluarga kalimat lain sehingga ia menawarkan penggantinya, Walaupun. Pak Kalimat tidak keberatan karena ia mengerti Walaupun dan Meskipun dapat saling menggantikan dalam sebuah kalimat penegasan. Akhirnya, kalimat tersebut menjadi sempurna karena bantuan Walaupun. Kalimat tersebut menjadi "Walaupun dia menolak, saya tetap memaksanya".
Pada suatu hari negeri yang tenang itu terganggu akibat kedatangan Raksasa jahat. Sang Raksasa iri melihat kerukunan Walaupun, Meskipun, dan Tetapi. Oleh karena itu, mereka pun dihasut oleh sang Raksasa.
"Hai, Meskipun dan Walaupun, tidakkah kalian bangga dapat berkedudukan di depan sebuah kalimat? Kalian adalah pemimpin. Di lain pihak, kalian pun dapat berada di tengah-tengah. Walaupun berada di tengah, kedudukan kalian masih terhormat karena kalian adalah faktor penjelas sebuah kalimat. Ingatlah, kalian terlahir tidak untuk menjadi  yang terbelakang," tambah Raksasa.
"Ya, Raksasa, kami mengerti," jawab Meskipun dan Walaupun serentak.
"Jika kalian mengerti, seharusnya kalian musnahkan Tetapi," bujuk Raksasa.
"Apaaa.... ? Memusnahkan Tetapi?” tanya Meskipun terkejut dan diikuti kerutan di wajah Walaupun yang manandakan ia tak mengerti maksud Raksasa.
"Ya, memang itu saranku. Tak ada gunanya dia berada di negeri ini," tegas Raksasa. "Kalian bisa menggantikan kedudukannya di tengah kalimat," lanjutnya.
"Aku benar-benar tak mengerti jalan pikiranmu, Raksasa. Selama ini kami bertiga selalu dapat bekerja sama membantu keluarga-keluarga kalimat. Ada saatnya kami tidak bisa membantu kalimat-kalimat. Pada saat itulah, mereka membutuhkan kehadiran Tetapi," jelas Meskipun.
"Ah, nonsense! Itu omong kosong! Kalian tak memerlukan bantuan Tetapi!" sahut Raksasa.
"Wahai, Rakasa! Alangkah sombongnya kami kalau merasa bahwa kedudukan kami lebih penting dibanding kedudukan Tetapi. Mari kuberi engkau sebuah contoh kalimat. 'Hujan telah reda, ... kami masih malas pergi.' Pada saat seperti itu kami tidak bisa membantu kalimat tersebut. Hanya Tetapi yang sanggup melakukannya,"  kata Walaupun.
Raksasa mulai sadar bahwa ia tidak berhasil menghasut Meskipun dan Walaupun, tetapi ia tidak kurang akal. Ia beralih mencoba mengajak Tetapi untuk membenci kedua sahabatnya.
"Hai, Tetapi! Dari manakah engkau?" tanya Raksasa.
"Aku  baru saja membantu kalimat 'Saya cerdas, tetapi malas,'" jawab Tetapi.
Raksasa mulai menghasut, "Apakah kau tak merasa bosan selalu berada di tengah kalimat? Tidakkah kau sadar betapa serakahnya kedua sahabatmu? Mereka selalu berebut tempat di depan. Mereka tidak pernah memberimu kesempatan untuk berada di awal kalimat. Bahkan, posisimu yang hanya di tengah pun kadang-kadang ditempati mereka."
"Raksasa, tak pernah terpikirkan olehku iri kepada kedua sahabatku. Sudah menjadi takdirku untuk selalu berada di tengah. Betapa tak pantasnya aku menjadi pemimpin sebuah kalimat," jelas Tetapi bijaksana.
"Bagaimana dengan posisimu yang dirampas oleh mereka?" tanya Raksasa yang terus mencoba menghasut Tetapi.
"Walau mereka berada di tengah, tujuan kami berbeda. Tujuanku untuk menunjukkan pertentangan, sedangkan tujuan kedua sahabatku adalah penegasan," jawab Tetapi dengan tenang.
Akhirnya Raksasa sadar tak mungkin baginya mencerai-beraikan ketiga sahabat yang saling setia itu. Oleh karena itu, ditinggalkannya Negeri Bahasa dengan segudang kekesalan di hatinya.
Sepeninggal Raksasa Negeri Bahasa kembali tenang, dan ketiga sahabat itu, Meskipun, Walaupun, dan Tetapi menjadi semakin menghormati satu sama lain. Meskipun dan Walaupun tetap dapat saling menggantikan, dan mereka juga tetap tidak mencampuri urusan Tetapi.
Catatan:
Cerita seperti ini hanya bisa ditulis oleh orang yang benar-benar menguasai masalah kata, khususnya yang berkaitan dengan fungsi dan kedudukan kata penghubung ”meskipun, walaupun, dan tetapi”. Jika memahami inti cerita di atas, pastilah kita tidak akan pernah salah menggunakan kata “meskipun, walaupun, dan tetapi”.
        Kita lihat mahasiswa Fak. Psikologi UGM yang menulis cerita dengan menggunakan cerita di atas sebagai model.
Jalan Terbaik
Ashifa Zahra (tanpa perbaikan sedikit pun)
11/311953/PS/06109

Dahulu di suatu desa hiduplah tiga orang gadis cantik bernama Motivasi, Stres dan Depresi. Namun karena kecantikan dan kebaikan hati Motivasi dalam memberi  jalan keluar pada permasalahan yang ada kepada masyarakat desa, mereka merasa sirik dan membencinya. Mereka suka mengganggu kehidupan manusia dan selalu hidup bergantung pada Masalah, mereka tidak bisa hidup mandiri.
Suatu hari Masalah mendapat kesulitan dan membutuhkan bantuan Motivasi. Ketika Masalah ingin menemui Motivasi, Stres mencegahnya. “Masalah, kamu akan pergi ke mana?” Tanya Stres. “Aku sedang bingung, temanku si manusia membebankan cobaannya kepadaku,” jawab Masalah. “Oh, jadi seperti itu, kamu tetaplah di sini biar aku temani, akulah yang selalu setia saat manusia sedang menghadapi cobaan,” kata Stres. “Stres maaf, mengapa aku tidak merasa nyaman kepadamu? Aku semakin terasa berat bila bersamamu,” kata Masalah. “Tidak Masalah, itu hanya sementara saja, setelah ini pasti manusia akan menerima keberadaanmu dan aku dalam kesedihan mereka,” kata Stres. “Masalah, Stres apa yang sedang kalian bicarakan? Akulah yang kalian butuhkan saat kalian berada dalam kemurungan,” ucap Depresi.  “Tapi, maaf aku tidak nyaman dengan kalian, aku tidak tenang hidup berdampingan dengan kalian,” ucap Masalah.
Dengan seketika Motivasi datang ke Masalah. “Mengapa kau datang Motivasi? Masalah tidak membutuhkanmu,” jawab Depresi. Motivasi tidak menghiraukan perkataan Depresi dan halangan dari Stres. Motivasi mencoba memanggil Masalah yang tengah disembunyikan oleh Depresi dan Stres. Akhirnya ia menemukan letak Masalah. Motivasi mencoba berbicara dan melakukan pendekatan dengan Masalah, memberi satu kunci keberhasilan agar ia dapat tenang di tengah manusia yang selalu menyalahkan kehadirannya. Motivasi mencoba membawa pergi Masalah ke satu tempat di mana ia tinggal dan hidup dengan tenang dan tanpa bayang-bayang Depresi dan Stres.

Supply & Demand : Tragedi Harga
Erick E.A. (315703/FEB)

Pada suatu waktu di sebuah kota yang makmur bernama kota kurva, hiduplah dua orang kakak beradik yang  sangat berpengaruh di negeri itu. Sang kakak bernama Demand. Sejak kecil, Demand memang telah menjadi anak kesayangan banyak orang. Dia tampan, pintar, gagah, dan selalu menjadi idaman wanita. Saat beranjak dewasa Demand yang memiliki jiwa sosial tinggi menjadi kepala polisi di kota itu. Prestasinya pun luar biasa. Dia selalu berhasil menumpas kejahatan yang terjadi di kota Kurva. Sementara itu adiknya, Supply, sejak kecil memang anak yang nakal. Dia suka menggoda teman – temannya, mencuri uang belanja ibunya, dan berbagai kenakalan lainnya. Tak heran setelah dewasa Supply terjerumus kedalam lembah hitam. Mulai dari narkoba, perampokan, sampai pembunuhan semua pernah dilakukannya. Supply pun menjadi pimpinan gembong mafia paling berkuasa di kota itu.
        Demand selalu berhasil menggagalkan rencana – rencana jahat Supply sehingga equilibrium kota dapat selalu terjaga dan kota dapat selalu aman terkendali. Namun Supply pun tak putus asa, dia selalu mencoba berkali – kali rencana – rencana jahatnya. Pun demikian dengan Demand, dia tak kenal lelah menumpas rencana – rencana jahat Supply. Suatu kali, ketentraman kota kurva berubah seketika. Hal ini berawal dari kedatangan Price. Price adalah teman Demand dan Supply semasa SMA. Dia baru saja pulang dari luar negeri untuk belajar ilmu ekonomi. Dulu Demand begitu menyukai Price. Dia tergila – gila akan kesederhanaan, kecantikannya yang alami, dan keramahannya. Namun alangkah kagetnya Demand ketika melihat Price yang telah berubah. Sekarang Price senang berbusana mahal, dia menyukai gaya hidup glamor, dan tingkah lakunya sudah bak artis ternama. Melihat itu perasaan Demand pun mulai hilang ketertarikannya akan Price pun menurun. Tapi hal ini berbanding terbalik dengan Supply. Dulu Supply memandang Price dengan sebelah mata. Price yang dulu terlalu “culun” baginya. Kesederahaan Price dianggap tak sesuai seleranya. Namun sekarang berbeda. Perubahan Price membuatnya tergila – gila. Perhatian Supply pada Price menjadi meningkat.
        Permasalah muncul ketika Supply tahu bahwa Price hanya menyukai Demand sejak dulu. Apapun yang dilakukan Supply untuk menarik perhatian Price selalu menemui kegagalan. Akibatnya pun fatal. Amarah Supply pada Demand memuncak, ditambah dengan keberhasilan Demand yang selalu dapat menggagalkan rencana jahatnya. Supply pun mendatangi rumah Demand, berpura – pura hendak meminta maaf. Namun apa daya, amarah telah menguasai Supply. Ia tidak lagi mempedulikan fakta bahwa Demand adalah kakak kandungnya. Diambilnya sebilah pisau dari balik jaket kulitnya. Supply pun gelap mata. Ketika Demand lengah, ditikamnya dia dari belakang, tak cukup sampai disitu, ditikamnya kembali Demand berulang – ulang. Untuk menghilangkan jejak, Supply menyembunyikan jasad Demand di dalam lemari es. Tak ada yang mengetahui keberadaan Demand semenjak hari itu.
        Setelah meninggalnya Demand keadaan menjadi sangat kacau. Supply seperti menjadi penguasa kota. Apapun yang dikehendakinya, harus dan pasti terlaksana. Kejahatan hampir dapat ditemui di setiap penjuru kota. Perampokan, penjarahan, seperti menjadi pemandangan biasa. Pak HM selaku walikota pun tak mampu lagi berbuat apa–apa. Sekarang kota Kurva sudah tidak akan lagi mengenal keadaan ekuilibrium.
Menggali Inspirasi dari dalam Diri
       Sebenarnya, kalau bisa dibangkitkan dan diolah, inspirasi itu menumpuk dalam diri kita. Berikut ini beberapa contoh sederhana ketika saya terinspirasi oleh sesuatu dan kemudian mencoba mengolah serta mengekspresikannya dalam tulisan yang juga sederhana.
MENCIPTA DUNIA MULIA MELALUI DUNIA KATA
Heru Marwata
Kata merupakan unsur bahasa yang sangat penting. Kata merupakan sarana untuk menyatakan semua konsep, ide, dan atau gagasan. Dengan kata-kata kita berpikir, menyatakan perasaan, menyampaikan informasi, dan mengemukakan gagasan. Kata-kata dapat menjadi sarana menjalin persahabatan, mengadakan perjanjian, mencapai kerja sama, dan lain-lainnya, tetapi kata-kata juga dapat menjadi pemicu kerusuhan, peperangan, dan kejadian-kejadian buruk lainnya. Pernahkah Anda bayangkan betapa sulitnya orang berkomunikasi seandainya tidak ada kata-kata? Apa yang Anda lakukan untuk menyatakan isi hati Anda seandainya tidak ada kata CINTA? Bisakah Anda hidup dalam dunia tanpa kata?
Kata dan kata-kata bisa dikatakan dengan kata-kata. Kata yang BENAR dapat menyebabkan KEBENARAN demikian BENAR dan BENAR-BENAR dapat DIBENARKAN menurut ukuran KEBENARAN yang mana pun. Namun, kata yang SALAH dapat menyebabkan KESALAHAN, perilaku SALAH, tindakan SALAH, dan bahkan silang sengketa berkepanjangan. Benar dan salah juga bisa dikata-katakan.
            Kata begitu berguna. Kata begitu berjasa dalam kehidupan kita. Oleh karena itu, manfaatkan kata-kata secara maksimal sehingga Anda mendapatkan faedah darinya. Akan tetapi, berhati-hati pulalah mempergunakannya karena kata memiliki kekuatan yang kadang-kadang tidak kita duga atau kita bayangkan.
            Seorang pemuda menabrak kereta api yang dikiranya tumpukan jerami hanya karena baru saja mendengarkan sebuah kata dari pujaan hatinya. Kata yang baru saja didengarnya adalah PUTUS. Seorang mahasiswa semester 5 tiba-tiba saja mengambil uang cukup banyak lewat ATM dan menraktir teman-teman pondokannya hanya karena baru saja menerima SMS yang berisi satu kata saja. Kata itu berbunyi YA, sebagai jawaban atas pertanyaan ”Maukah kau jadian denganku?” yang diajukannya kepada teman seangkatannya. Itulah kata. Kadang-kadang penuh makna. Kadang-kadang penuh misteri. Kadang-kadang demikian gamblang, tetapi kadang-kadang demikian remang. Sungguh, dunia kata adalah dunia yang kadang-kadang penuh tanda tanya. Yang jelas, kata-kata kadangkala demikian dahsyat pengaruhnya.
            Satu kata yang berbunyi SERANG, misalnya, dapat menyebabkan puluhan, ratusan, bahkan ribuan nyawa melayang. Satu kata yang berbunyi BAKAR, misalnya, bisa menyebabkan orang, rumah, pertokoan, bahkan kawasan yang cukup luas berkobar-kobar dan bahkan berubah menjadi bara dan abu. Siapa yang tidak takut dicap melakukan tindakan SUBVERSIF pada rentang waktu antara tahun 70-an hingga 90-an? Namun, konon, sebuah orde yang pernah berjaya di negeri ini juga tumbang hanya karena banyak orang  meneriakkan kata REFORMASI di jalan-jalan. Kata MONARKI pernah menjadi bahan diskusi hangat setelah diucapkan SBY (saat itu masih menjadi Presiden RI) dalam konteks Keraton Yogya dan menimbulkan masalah baru. Demikianlah, kata (kata-kata) begitu hebatnya.
            Banyak hal positif bisa dibangkitkan dengan kata-kata. Sebaliknya, banyak pula hal negatif bisa dimunculkan lewat kata-kata. Terlepas dari kemungkinan penggunaan yang salah, orang yang menguasai  kata akan mampu menyampaikan informasi secara lebih baik, mampu mengomunikasikan gagasan secara lebih tepat, dan mampu mengolah serta mendayagunakan kata-kata sedemikian rupa sehingga kata-kata itu seolah selalu "membantu" dan "berpihak" kepadanya. Kata adalah pencipta suasana. Kata (kata-kata) bisa menyebabkan orang menangis, marah, bahagia, bahkan bunuh diri. Mengapa tidak kita pakai kata untuk kebaikan?
            Jadi, mari kita mencoba  masuk ke  dunia kata, kita kenali wilayahnya, kita jelajahi arti dan maknanya, kita kuasai seluk beluknya, dan kemudian kita berdayakan segala potensi yang ada agar lebih bermanfaat dalam usaha mulia MENCIPTA DUNIA YANG LEBIH BERMARTABAT. Setuju?
Mari kita galang semangat untuk bersama-sama membaca mantra sakti agar kata-kata tidak pernah meninggalkan kita

 

 

 

BULANKU BULANMU BULAN MADU KITA
Oleh Heru Marwata (Album, dari FB) · Diperbarui lebih dari setahun yang lalu · Diambil di GZ ·
BULANKU BULANMU BULAN MADU KITA
Istriku, sore tadi kupotret bulan. Cantik di langit Guangzhou, tersenyum di atas Baiyunshan. Ronanya sungguh menggoda, mengingatkanku padamu nun jauh di sana. Bulan itu, tentu saja bulan yang sama dengan yang biasa kita tatap di langit Yogya saat kita berjalan-jalan bergandeng tangan menyusuri masa dalam bahtera cinta. Menari-nari dia di lautan mega dan mengirimkan sinyal kangen yang biasa kita rasakan saat tak jumpa.

Istriku, sore tadi kuabadikan purnama di langit China. Ketika kutarik di antara perbukitan Awan Putih, ia mengikuti arah kakiku dan mengajak bersenda gurau. Kutaruh di antara tiang lampu, dia tetap anggun. Kujadikan penghias di ujung penyangga neon, dia tetap tersenyum. Kusembunyikan di balik pohon, dia tetap memesona dengan tebaran sinarnya. Aku geser ke atap wismaku pun dia senantiasa meraja angkasa.

Istriku, bulan itu bulanku, bulanmu, dan bulan madu kita. Dia mengirim banyak berita tentang kerinduanku dan keinginanmu untuk segera bertemu, memadumaknai perjumpaan kita agar bertambah manis. Bulan itu, istriku, bulanku, bulanmu, bulan madu kita.

Istriku, pasti tak banyak yang bisa kukatakan karena kata-kata kadang tak mengatakan apa-apa dan justru saat kita tak saling berkata-kata, terasakan semua makna yang biasa dilabuhkan kata-kata. Perjumpaan adalah kata-kata yang akan mewakili segala rasa yang bersemayam di masing-masing sanubari dan pikiran kita. Bulan itu, bulanku, bulanmu, bulan madu kita.

Istriku, aku menunggu dan kau menunggu, dan hanya pertemuanlah yang mengakhiri setiap penantian. Istriku, bulan itu kan kupersembahkan untukmu sebagai hadiah atas kesabaran dan penantianmu. (HM, Guangzhou, 1/2/11)

Lebaran di Negeri Orang
CATATAN KECIL UNTUK ISTRI DAN ANAK-ANAKKU DI YOGYA
oleh Heru Marwata pada 10 September 2010 jam 8:27
Istriku, anak-anakku, lebaran kali ini pastilah berbeda dengan biasanya. Jika biasanya pagi-pagi kita saling membangunkan, ngopyak-ngopyak, kali ini kalian saling opyak bertiga tanpa aku. Jika biasanya kita berempat pergi ke Lapangan SD Deresan atau Halaman Masjid Nurul Ashri Kompleks Perumahan Dosen UNY, kali ini kalian pergi bertiga.
Jika sehabis sholat ied kita pulang bersama, kali ini aku tidak menemani kalian. Jika sesampai di rumah kita berempat saling berjabat tangan dan berpelukan serta saling memaafkan, nanti kalian bertiga saja melakukannya. Setelah itu kita akan makan bersama dengan menu andalan kupat dan opor ayam, dan nanti kalian akan makan bertiga tanpa aku. Paling-paling aku hanya akan memeluk kalian dan kemudian makan bersama lewat kamera.
Istri dan anak-anakku, lebaran kali ini memang beda. Ketidakhadiranku di antara kalian pasti membuat suasana menjadi lain. Demikian pula ketidakhadiran kalian di sampingku. Cerita memang harus bervariasi. Kisah tak harus selalu sama. Jalan juga tak harus yang itu-itu saja. Aku yakin Tuhan telah mengaturnya. Bukankah dengan begitu kita justru saling merasakan makna kehadiran kita? Bukankah dengan begitu kita justru makin merasakan bahwa kita saling membutuhkan? Bukankah dengan begitu kita justru makin menyadari bahwa kita saling melengkapi.
Pasti semalam Yogya penuh gema takbir, sementara di sini tak sekali pun kudengar selain yang kulantunkan sendiri dalam hati. Pasti semalam Yogya hiruk pikuk menyambut lebaran, sementara di sini “sepi di dalam, sepi di luar” (meminjam istilah seorang penyair). Dunia memang berbeda-beda. Berbagai belahan bumi juga macam ragam ceritanya. Yogya nanti penuh orang saling kunjung mempererat tali silaturahmi, di sini biasa saja, semua biasa saja (meminjam cuilan lagu Indonesia). Beruntunglah bahwa beberapa hari yang lalu aku sudah mendapatkan SMS Pak Achmad Dahlan dari KJRI Guangzhou:
“Warga Indonesia Yth., Harap hadir dalam acara OPEN HOUSE / Lebaran, Jumat 10 September 2010 di Wisma KJRI pukul 11.30—15.00. NB: Disediakan bus antaran yang siap di Dong Fang Hotel jam 10.30.”
Alhamdulillah, dengan semangat mudik yang menyala, pasti nanti aku akan memenuhi undangan yang sangat simpatik itu.
Bagaimanapun, bertemu sesama orang Indonesia di rantau memang terasa beda. Sesama perantau biasanya bisa menjadi demikian akrab. Apalagi pasti nanti hampir semua hidangannya Indonesian Cuisine. Bertemu dengan teman-teman Indonesia, berbicara dengan bahasa Indonesia dan Jawa, menyantap masakan Indonesia: pastilah ini dapat mengurangi kerinduan pada keluarga. Di rantau semua orang menjadi keluarga, keluarga besar, begitulah.
Istri dan anak-anakku, baik-baiklah kalian di rumah. Istriku, insya Allah nanti aku juga akan merasakan opor ayam meskipun pasti tidak sedahsyat masakanmu yang kautambah dengan ramuan cinta dan bumbu pesona. Anak-anakku, nanti aku pasti bertemu dengan anak-anak Indonesia (yah, sebagian besar memang anak-anak remaja usia sekolah/kuliah dan aku pasti masuk kategori tua), seperti kalian juga, bedanya aku tak bisa memeluk mereka seperti memeluk kalian (lha neh geger), tetapi lumayanlah untuk memupus kerinduanku pada kalian. Baik-baik kalian di rumah ya. Kalau bisa bersilaturahmi ke sanak famili handaitaulan ya baguslah, yang penting minimal ke Bapak/Ibu dan Kakek/Nenek. Kalian juga harus saling memaafkan satu sama lain. Berpelukan!! Kompak. Ok?
Istri dan anak-anakku, aku juga harus bersiap-siap nih. Perlu waktu sejaman untuk sampai Dong Fang Hotel dari kampus GDUFS. Kita ketemu lagi nanti ya. Peluk sayangku untuk kalian bertiga.
Guangzhou, 10 September 2010
selamat pagiiiiiii kekasihku
adakah teh hangat di cangkir cintamu
yang kau ramu dengan segenap rindu
dan kata-kata memanja
untuk melulur lidahku
... dengan kecipak bibir
yang saling berpagut

di sini aku sendiri
merenda sepi
menjadi janji
untuk menggenapkan pelukku
atas kuasa tubuhmu
dan menenggelamkannya
dalam gairah
yang membakar
(Gz, 16/1/11)

TEMBANG RINDU BUAT KEKASIHKU DI RUMAH     
                 
pagi buta kekasih membuatku menggelegak dahaga
katakan padaku sayang, dengan bahasa kalbu
bahwa aku bisa mereguk teh hangat dari bibirmu
atau menyeruput kopi manis dari lidah panas yang membelai di mulut magmamu, dan katakan sayang, bahwa kau akan menyediakan minuman paling mesra di seluruh tubuhmu

kekasihku
kurasakan gesekan angin saat kau mendekat
ada getar bara yang tidak biasa
menyuruhku terdiam dan aku pun patuh
luruh aku karena mantra rindumu
membelai kedalaman isi dadaku
aku menerimamu kekasihku
menerima asupan kangenmu
dengan menyerahkan tubuhku untuk kau jelajahi
menuntaskan
laparmu dan dahagaku
dalam berkali-kali tegukan dan kunyahan
memaknai kata saling
dalam gemulai tarian pagi
menghabiskan malam tanpa sisa
tanpa kata-kata
dahaga telak dan lapar yang mengerak
kita selesaikan
di anyaman kasih
di balik kelambu penuh cinta

kekasihku
aku menginginkanmu
tanpa syarat apa pun
dan kuberikan duniaku
padamu
dengan gaya serupa
(HM, Gz, 9/1/11)

AKU INGIN MENGEMBARA LAGI (link ke video baca puisi)
Aku ingin mengembara lagi.
Menyusuri gua-gua gelap dan rawa-rawa perawan.
Melabuhkan setiap hasrat.
Menderaikan rindu-rindu tak terlerai.
Mengibarkan panji-panji cinta di antara pucuk-pucuk cemara.
Menyematkan embun kasih di dahan-dahan melodi.

Aku ingin mengembara lagi.
Menjejaki alur-alir yang lama kutinggalkan.
Menikmati sensasi penemuan dan pertemuan.
Menghirup harap dalam kilau cahaya hati.
Merapatkan diri dalam setiap dekapan alam.
Menceburlabuhkan setiap luka dalam telaga warna senja.

Aku ingin mengembara lagi.
Merunuti terjalnya tebing kehidupan.
Menangkap esensi pesan semesta.
Menandai setiap keberadaan di bebatuan.
Mengguratkan sisa-sisa kisah di dedaunan.
Merayakan kecipak degup dada yang menggema.
Saling melekatkan jiwa pada jagat raya.
Bersama-sama memuja udara yang meniupkan kebebasan.

Aku ingin mengembara lagi.
Merantai ruh-ruh penjelmaan.
Menadirkan pencarian semu.
Melipatgandakan kerosak jalur nadi.
Mengombakalunkan liuk-liuk aliran darah.
Memanaskan titik-titik api di setiap sendi.
Meneriakkan nama kesayangan di sudut-sudut perhentian.
Menyibabkan perdu di deret jalur perburuan.

Aku ingin mengembara lagi.
Sebebas awan menebar angkasa.
Sebebas burung memilih bunga buah dan pasangan.

Aku ingin mengembara lagi.
Aku ingin mengembara lagi.
(HM, Yk, 20 Juli 2011)

SERANGKUM CAHAYA TEKUR KATA
(Heru Marwata)

bilik bintik ragu itu
membuka kunci-kunci yang lama terpateri
menghilangkan kerak dan karat besi
menjadikannya lorong yang benderang
mengarahkan harap dan titik pandang
dalam seleret cahaya
antara dulu kini nanti

kerlap kerlip kunang itu
mengisi derai derap hati
mengguratkan gejolak
menjadikannya cita
menyatukan visi dan jati diri
dalam serangkum senyum
menghias bibir di kulum

aku menengarai rupa
memujanya menjadi raga
ke nadinya kutiupkan jiwa
menyulut arti
merangkai makna
membingkai jantera
dalam tekur rindu sesama

ingin aku
menumpah segala rasa
menyatukan angan cita
mengristalkan butir bulir sinar
dalam genggaman
tak terlerai
kita
(Yk, 16 April 2012)

::::::mereguk sepertiga gelas malam dalam merah anggur yang menawarkan segala cercap dahaga::::::mari saling melontar kata senyampang pagi masih dalam pelukan kisah:::::mari kita putar bola mata dunia sambil mengeringkan cawan-cawan memori:::::kita bubuhkan pesona dalam setiap pusaran rindu:::::kita rajut wangi dalam semua madu bunga:::::perlahan kita petik dawai bahasa cinta:::::dalam dekapan::::: (HM, YK, 9 Juni 2012)



AKU BERIKAN NAMA PADANYA

Aku berikan nama padanya: nafsu
Aku sertakan beberapa alat penciptaan
Juga sarana untuk melanjutkan kehidupan
Agar regenerasi berjalan utuh dan sempurna
Lalu aku tiupkan ruh untuk melengkapi jasadnya
Agar ia mampu mandiri memikul beban perburuan

Aku berikan nama padanya: hasrat
Aku sertakan juga rem dan lencana kaca
Agar ia bisa berhenti dan juga melihat dirinya
Barangkali itu akan menyelamatkan tempuhannya
Menembusi gemuruh ombak dari segenap samudera
Atau mengayuh nafsu dari tengah dalam ke arah tepian

Aku berikan nama padanya: keinginan
Aku sertakan beberapa nafsu dan juga hasrat
Untuk menemaninya melenggang di jalur perpacuan
Menemukan diri, teman, kekasih, dan gadis, atau perawan
Agar bisa selalu bercengkerama, bercumbu, dan bersanggama
Lalu bersama menukikkan sayap dengan ujung paruh yang terasah

Aku berikan nama padanya: cinta
Aku sertakan di mukanya berlembar pesona
Agar ia menemukan nafsu, hasrat, dan keinginan
Untuk memadukan sukma dan menciptakan dunia baru
Dalam lingkup peraduan, ranjang, serta hamparan pemujaan
Kemudian bersatu memanjatkan doa memohon tumbuh tunas hijau

Aku berikan nama padanya: kamu, ya kamu
Agar menemukan diriku sebagai pasangan: bagimu
Dengan nafsu kita berlomba mengekang hasrat, atau membiarkannya
Dengan hasrat kita berlomba mengekang keinginan, atau menggelorakannya
Dengan keinginan kita berlomba mengekang cinta, atau memanasbakarbarakannya
Dengan kamu selalu menjadi istimewa karena ada nafsu, hasrat, keinginan, dan cintamu
(Gz, 24/12/10)

Pada saat sedang ingin berkata-kata tanpa makna untuk menyempurnakan PERBURUAN PAGI, aku menulis ini.

Aku sedang menyetubuhi pagi bersamamu, menikmati erangan rona yang terpancar dari bibirmu, mendengarkan jerit kerinduan yang paling rumit, mengelopakkan asmara di dadamu, mengembarakan layar imajinasi menjelajahi tubuhmu, mereguk cinta panas surya yang kau tebar lewat desah nafas dan denyut pemijat surgamu, menggeleparkan bara janji untuk saling mencumbu, mengibarkan panji kutang kekasih, memasuki alam bawah kawahnya, merengkuh segala puja, mencipta lenguh peradaban sempurna, memacu ujung hasrat runcing menembus kulit dan daging, mengisap semesta jagat raya yang kau sajikan di antara kedua pualammu, dan melesakkan semua lewat pandang mata berkelanjutan ke sentuhan, jamahan, dan persanggamaan: bersamamu memang tiada 2, dan kita salah 1 atau menjadi satu-satunya. Selalu begitu, kekasihku, bayang paling ranum di kebun buah khayalku. Teruskah? Aku mengharapnya, dan imaji kita akan selalu sama atau bertemu di setiap sudut keinginan yang kita bangun sepanjang perjalanan. (Gz, 24/12)

Tak BANYAK
orang yg bisa menerima KEKALAHAN
dg LAPANG DADA.
Kalau bisa melakukannya,
kau termasuk yg SEDIKIT jumlahnya.
Tak BANYAK
orang yg bisa menerima KENYATAAN
dg LAPANG HATI.
Kalau bisa melakukannya,
kau termasuk yg SEDIKIT jumlahnya.
Tak BANYAK
orang yg bisa menerima KESEMPITAN
dg KEBESARAN JIWA.
Kalau bisa melakukannya,
kau termasuk
yg akan mndpat
BANYAK KESEMPATAN.
Insya Allah.
(Gz-19/10/10)

Tidur adalah bangunan paling nyaman untuk ditinggali, kasur adalah mimpi paling indah untuk diulangi, kamu adalah wanita paling laut untuk dilayari, dan aku adalah nakhoda paling jago di muka bumi (hahaha kalau nggak ada lainnya lho ya, hei cowok-cowok nggak usah sewot, cuman gitu aja kok repot) (19/7/10)

Jantung tak prnah mngeluh ktika hrus slalu berdenyut memompa darah ke sluruh tubuh. Darah tak prnah mngeluh ktika hrs bkerja mngangkut nutrisi ke smua bagian badan. Nutrisi tak prnah mngeluh ktika hrs dikonsumsi mnjd asupan penopang kehidupan: jiwani & ragawi. Kehidupan tak prnah mngeluh, bhkan ktika hrs mnanggung bgitu banyak beban. Lalu aku bertanya (“karo rada maido”), “Ah, masa’ sih? Nyang buuener?” (HM, Gz, 16/9/10)

Jika mata tak ingin melihat, biarkan ia terpejam, siapa tahu dalam pejamnya justru ia mampu membaca lebih banyak daripada yang dilihatnya. Jika hati tak ingin merasa, biarkan ia berdiam diri, siapa tahu dalam heningnya justru dia menemuretaskan perasaan semesta. Jika jiwa tak ingin mencerna, istirahatkan dia, siapa tahu justru dalam diamnya ia menembus batas rentang & gelora masa yang tiada terhingga. Apa pun pasti ada hikmahnya. Jadi, nikmati & syukuri semua agar mata, hati, & jiwa kita menjadi tenteram. (Gz, 13/10/10)

MENGHADIRKANMU DALAM MIMPIKU

“Adakah mimpi yang belum kau wujudkan?”
tanya malam suatu siang.
Aku berhenti berpikir
karena pikir kadang jauh dari mimpi.

“Kenapa kau diam?”
kembali malam bertanya.
Saat itu sudah menjelang sore.
Kembali pula aku behenti merenung
karena renung kadang jauh dari mimpi.

“Apakah kau ingin mewujudkannya bersamaku?”
malam kembali bertanya.
Kali ini nadanya demikian tegas.
Saat itu memang tepat untuk menuju peraduan.
Aku berhenti berharap
karena harap kadang juga jauh dari mimpi.

“Baiklah, aku akan menemanimu malam ini”,
kata malam memecah keraguanku.
Aku berhenti melangkah,
menengadah ke langit,
memanjat doa,
dan melanjutkan perjalanan.

Entahlah
ke mana ruh membawa diri.
Ketika pagi menjelang,
aku terbangun
dalam tiga usapan mata.
Kudapati salah satu mimpiku
menjadi nyata.
Apakah itu?
MENGHADIRKANMU DALAM MIMPIKU. (HM, Gz, 14/10/10)

SATU RASA DUA DUNIA
Oleh: Heru Marwata


Setali tiga uang adalah ungkapan dari duniaku. Juga dua sisi satu mata uang. Artinya, semua sama saja, dan keduanya tak terpisahkan. Jangan tanya mana yang lebih tepat. Itu sangat tergantung. Begitu juga dunia, yang konon teramat dahsyat, yang sayang hanya kukenal sepotong kecil, yang sayang juga hanya yang dekat-dekat dengan diriku, sebagai sebuah pribadi. Namun,  yang sepotong itu pun rasanya tak muat menjejali benakku, menyesaki otakku. Juga potongan dunia yang satu ini, yang tidak aku kenali secara ragawi, tetapi aku jelajahi secara jiwani, yang mengawali ‘potongan’ kisah ini.

Seperti kebiasaanku kalau mulai bertutur kata, apalagi yang berbau susastra, kupilih pilahlah kata yang menurutku enak didengar.

Saat itu aku sedang berjalan di antara tegak dan hijaunya pohon cemara. (Sekali lagi, sengaja kupilih pohon cemara karena konon lebih puitis daripada pohon pisang, dan lebih merdu daripada deretan pohon melinjo atau rumpun-rumpun salak pondoh. Itulah yang terjadi kalau memori sudah telanjur tercekoki oleh bait-bait puisi dan baris-baris melodi dari dunia sastra. Semua serba harus ditimbang, tidak realistis, terlalu sok egoestetis. Munafik!)  Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja (aku memang suka mengawali kisah dengan mesin dewa-dewa dari Yunani kuno, biar saja dicap jelek atau lemah oleh para strukturalis) ada seorang gadis yang memegang tanganku erat sekali dan kemudian melayang membawaku terbang di antara awan-awan serta membeberkan kisah lain dari dunia yang berbeda.

Mas,  aku tahu istrimu cemburu.
Oh ya, dari mana kau tahu?
Itulah instingku sebagai wanita.
Tapi, kamu kan cuman ciptaanku, kreasi, tiruan dunia ide, bohong-bohongan, karanganku.
Ya justru itulah kelebihanku. Aku telah berkembang melampaui imajinasimu.
Oh ya? Bagaimana caranya?
Aku tumbuh suburkan semangat mimetikku dengan menyemaikan seluruh benih gagasan yang kau tuangkan ke benakku.
Wauw (mestinya sambil koprol 69x) ... hebat sekali. Apa kau lebih pintar dariku?
O, tentu tidak. Sepandai apa pun aku dan semenjulang apa pun imajinasi yang dapat kubangundiritegakkan di dunia angan, sesungguhnya tak akan pernah melebihi ketinggian khayalmu mengembangkan dunia maya yang aku labuhi.
Tapi, kau tahu istriku cemburu.
Ya, itu hanya gagasan balasan atas kisah yang kau jalankan atasku.
Maksudmu?
Aku begitu istimewa di matamu, kau begitu mengagungkan cintaku, kau menempatkan aku di relung terdalam dan termanis romantis di lubuk hatimu, siapa yang tak kan mencemburuiku, Mas?
Lho, sebentar, itu kan relung hati laki-laki yang kuciptakan untukmu, bersamamu, itu tidak nyata, itu bukan aku.
Ya, kau boleh bilang begitu, tetapi coba tanyakan ke hati nuranimu. Temukan jawaban pertanyaanku, apakah kau tak berharap istrimu seperti aku?
Ya ... ya, memang, kau adalah istriku dari dunia ide.
Nah, ngaku kan?
Tapi, istriku tak pernah membaca karyaku, bagaimana ia tahu?
Kamu salah Mas, kau suntuk membuat kisah kasih dan jalan hidupku kan? Kau menghabiskan banyak waktu untukku kan? Bahkan, kau mengenali setiap lekuk liuk kecil dalam detail jiwa ragaku kan?
Iya memang, tetapi kan istriku tidak tahu?
Kamu salah lagi Mas, di mana kau simpan aku?
Di flash disk.
Lalu, di mana lagi?
Di hard disk, kepingan CD,  tapi istriku tidak pernah membuka file-file simpananku.
Iya memang, lalu di mana lagi Mas?
Di mana ya ...? Tidak ada lagi. Hanya itu.
Salah Mas, salah lagi, kau simpan juga aku dalam mimpimu.
Tidak! Jangan mengada-ada ya!
Akuilah Mas, dua hari yang lalu apa yang kau lakukan dengan istrimu?
Biasa, kami bercumbu, bermesra, bercinta, itu biasa, minimal memang satu atau paling telat dua hari sekali kami harus melakukannya, santapan rohani, pupuk gairah jiwani, rutin, bahkan otomatis seperti mesin. Kata temanku itu artinya sama dengan memperbarui cinta. Lalu, kenapa? Apa hubungannya?
Ya itulah .... Mas.
Iya, kenapa?
Ingat-ingatlah Mas!
Gak ada apa-apa. Biasa. Normal. Tak ada masalah.
Andai kau rekam Mas, pasti kau tahu?
Iiiihhh gila. Bocor sampai internet bisa kacau duniaku, karierku, rumah tanggaku, ih amit-amit.
Coba ingat lagi. Ini PR untukmu, Mas.
No way. Tidak ada PR-PR-an. PR adalah yang biasa aku berikan pada tokoh-tokoh imajinerku.
Nah, giliranmu Mas, sekarang coba rasakan beban PR yang biasa kau berikan kepada kami.
Kami? Kalian?
Ya, kami, aku, dan insan-insan imajiner ciptaanmu lainnya.
Tidak, katakan saja, Nur, jangan bikin aku penasaran.
Nah, itu sudah kelihatan kan?
Apanya?
Mas panggil aku apa?
Nur, memang kenapa?
Mas panggil istri Mas apa?
Ma, Nurma, gak aneh kan?
Aneh dong ...
Apa yang aneh?
Nur dengan Ma atau Nurma ya jelas beda kan Mas.
Tidak!
Jujurlah Mas, itu sangat beda.
Lalu, kenapa?
Istri Mas itu sangat peka, sangat sensitif, ia adalah belahan jiwa, tahu banyak tentang  jiwa yang belahan satunya. Perubahan kecil saja pada Mas pasti terasakan, terdeteksi, Mas, oleh radar-radar tercanggih ciptaan-Nya.
Meski hanya Nur dan Ma atau Nurma?
Ya. Pasti!
Kok kamu tahu?
Aku juga insan dari  dunia Mas kan? Jadi, aku juga banyak tahu. Termasuk ....
Termasuk apa?
Selera Mas, dong!
Masak?
Iya. Percayalah Mas, banyak sekali yang aku tahu karena sebagian besar pikiran Mas itu telah tertuanglimpahruahkan  ke pikiranku.
Lho, kok bukan ke pasanganmu dari dunia imajinerku?
Ya itu, lewat dia dan lewat aku Mas. Lewat kami. Kami juga saling bersapa lho, Mas.
Gila!
Kenapa Mas?
Lama-lama aku bisa hanya dan cukup bercinta denganmu, dong?
O,  itu tidak mungkin, Mas.
Kenapa tidak?
Karena aku maya Mas, maya, hanya seperti bayangan, seperti mimpi,  padahal Mas suka yang nyata, kan?
Tapi dengan tahu seleraku kan kamu bisa menyenangkanku?
Ya, tapi itu kan hanya dalam pikiran Mas.
Lalu tadi kau bilang istriku cemburu, bagaimana?
Ya itu tadi, Nur, Ma dan Nurma. Berapa kali Mas membisikkan nama istri Mas ketika bercinta?
Minimal 15 x, dan kutambah dengan sayang.
Hahahaha ....
Kenapa tertawa?
Lho ya jelas ketawa. Itu kan Mas di duniaku.
Tidak, eh bukan!
Nah, berarti sama kan?
Apanya?
Itu tadi, minimal 15 x, ditambah kata sayang, persis kan?
Terus?
Ingat Mas, Nur adalah wanita ideal Mas di dunia ciptaan Mas untuk laki-laki yang juga ciptaan Mas, yang mungkin merupakan pangejawantahan Mas, sementara Ma atau Nurma adalah wanita ideal ciptaan Tuhan untuk Mas di dunia nyata, di dunia ciptaan-Nya.
Astaga.
Bukan begitu Mas ungkapannya.
Apa?
Astaga itu di duniaku. Di dunia Mas biasanya Mas bilang Astaghfirullah.
Ya, ya, campur aduk.
Nah, itulah yang membuat istri Mas cemburu.
Oh my God.
Ya Allah, Mas.
Ya Allah ....
Nah, begitulah. Lain kali hati-hati Mas.
Apakah berarti aku harus atau telah menciptakan wanita khayalan persis istriku?
Ya terserah Mas. Cuman, aku memang merasa seperti istri Mas lho.
Tapi kamu tidak pernah MELAWAN, kamu kan manut saja seperti keinginanku. Itu berbeda Nur.
Ah, masak. Aku juga sering melawan.
Tapi kan tidak padaku?
Ah, masak, lalu pada siapa?
Pada laki-laki khayalanku.
Tapi, siapa laki-laki yang Mas khayalkan itu?
Ya laki-laki imajiner.
Seberapa imajiner?
Sangat.
Oh ya? Coba Mas ingat lagi semua hal tentang laki-laki yang menjadi pasanganku di dunia ciptaan Mas itu.
Lalu ...
Ya, ingat-ingat saja, mirip atau tidak?
Tidak, tidak mirip.
Ya pasti tidak mirip.
Nah, kan. Lalu?
Lha iya jelas tidak mirip, lha wong persis kok, Mas. Plek!

Aku merenung, membayangkan laki-laki imajiner yang kulemparlontarkan ke dunia yang kuciptakreasikan dalam khayalanku untuk Nur. Aku runut namanya, asalnya, kisahnya, ya ampun ..... ya, ya persis sekali. Mana bisa? Tapi, nyatanya memang bisa, begitulah adanya. Mungkin benar kata pujangga bahwa kalau ingin menulis mulailah dengan dunia yang paling kaukenali agar jalannya lancar dan mulus. Benar juga, ya!

Aku selami lagi dunia ideku. Aku tanyai setiap orang yang berpapasan denganku. Aku cari informasi tentang aku dan tentang tokohku. Ajaib ... sungguh, plek, sama persis. Gila.

Bagaimana Mas?
(Aku tak bisa menjawabnya.)
Sama kan?
(Aku masih diam.)
Persis kan?
(Aku tetap membisu.)
Nah, sekarang mau bilang apa?
(Aku tetap tak dapat berkata-kata. Mataku nanar menatapnya. Wanita cantik yang membawaku terbang. Rambutnya panjang, legam. Tingginya semampai, tetapi bukan semeter tak sampai, lho. Degup jantungnya menggema. Denyut nadinya menggelinjang, membawa aroma panas dan bara cinta. Senyumnya menggoda. Bibirnya merah, menantang kejantananku (mungkin juga kejantanan setiap pria. Ssssst, istriku juga kudapatkan setelah memenangkan pesona sekian banyak pria lho, hahaha ....), dan kerlingannya, sungguh menghanyutkan aku di danau matanya yang biru, membawa aku berlayar di samudera hatinya, memuncultenggelamkan aku dalam gelombang cintanya, menghempaslemparkanku ke tepian, dan menyeretku lagi di tengah kedalaman, lalu melontarkan anganku tinggi-tinggi melayang di antara bulan bintang, merengkuhku kembali dalam ikatan yang nikmat, dan mendekap aku di antara petir dan halilintar, mendekapku lagi dalam pusaran badai dan tiupan taupan, berlayar, mengayuh, berenang, berpeluk lepas berdegup rampas, lalu memasuki dunia mimpi para dewata, dewa-dewa cinta, dalam riak riuh rendah aliran hangat darah merah anak cucu Adam-Hawa .... oh, siapakah kamu sebenarnya? Nur, Ma, atau Nurmakah, sayang?)

Pondok Kanthil, Jogja, Medio Oktober 2007

Contoh Tulisan (Artikel) Untuk Surat Kabar

KIAT MENEMBUS PTN
Oleh: Heru Marwata
Pengantar
        Pada tahun 1984 dikenal istilah SIPENMARU (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Beberapa tahun kemudian SIPENMARU berubah menjadi UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Setelah itu,  tamatan SMU yang ingin melanjutkan ke PTN (Perguruan Tinggi Negeri) mengikuti SPMB (Seleksi Perimaan Mahasiswa Baru). Khusus untuk masuk UGM, tahun ini lulusan SMU bisa mengikuti UM (Ujian Masuk) dan SPMB. SIPENMARU, UMPTN, SPMB, dan UM bertujuan menjaring lulusan SMU yang berkualitas. Berkaitan dengan itu, pertanyaan berikut dapat diajukan.
        Benarkah lulusan SMU yang lulus ke PTN hanya yang berkualitas? Apakah standar kualitas yang dimaksud? Dapatkah peserta ujian mengecek kualitas dirinya secara dini? Adakah cara yang dapat dipakai oleh peserta tes untuk memprediksi kans keberhasilannya? Apakah yang sebaiknya dimiliki peserta tes agar mampu bersaing?
Persaingan dan Kiat Jitu
        Satu hal yang harus dicatat oleh lulusan SMU adalah makin ketatnya persaingan untuk memasuki PTN. Ketatnya persaingan itu diakibatkan oleh banyaknya jumlah lulusan/peminat (mencapai ratusan ribu) dan relatif tetapnya daya tampung PTN (hanya puluhan ribu). Oleh karena itu, seleksi masuk PTN memiliki nilai prestisius. Artinya, lulus ujian PTN, apalagi PTN terkenal, merupakan prestasi yang membanggakan. Bahkan,  kadang ada yang secara ekstrem menganggap lulus ujian PTN sebagai awal langkah sukses dalam menapaki salah satu "proses kehidupan" akademik dan karier.
        Tingkat persaingan di atas harus dipahami oleh peserta ujian. Tidak dapat disangkal bahwa sampai saat ini--meskipun PTS bermutu semakin banyak jumlahnya--secara umum PTN tetap menjadi pilihan utama sebagian besar lulusan SLTA, khususnya  jika dikaitkan dengan pertimbangan kualitas dan biaya. Oleh karena itu, agar dapat "melenggang" ke PTN pilihan, seyogyanya tamatan SMU menyiapkan kiat supaya mampu meraih peluang yang memang demikian sulit diperoleh atau diciptakan.
        Ada  kiat  yang dapat diterapkan untuk menembus PTN. Kiat itu dikaitkan dengan pertimbangan minat/bakat dan kemampuan peserta, kualitas sekolah, dan nilai pilihan (jurusan/fakultas dan PT).  Rumus sederhana yang paling mudah diaplikasikan adalah dengan membandingkan antara jumlah N1 (Nilai Kemampuan Peserta + Nilai Prestasi Sekolah = NKP + NPS) dengan jumlah N2 (Nilai Jurusan + Nilai PTN = NJ + NPTN).
Minat, Bakat, dan Kans Lulus Masuk PTN
        Minat adalah kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu. Peserta ujian yang memiliki minat besar terhadap bidang politik, misalnya, akan pas jika memilih salah satu jurusan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
        Bakat adalah dasar kepandaian, sifat atau pembawaan seseorang yang dimiliki sejak lahir. Banyak siswa SMU yang sejak awal sudah menunjukkan bakat tertentu. Oleh karena itu, sebaiknya peserta ujian mempertimbangkan minat dan bakat yang dimilikinya. Minat yang bersinergi dengan bakat akan merupakan perpaduan yang elegan untuk sebuah pencapaian keinginan.
        Namun, pada era seperti sekarang ini sebaiknya minat atau bakat itu juga diselaraskan dengan prospek dan orientasi pasar kerja. Tidak jarang pula semua itu harus direlevankan dengan biaya, kemampuan orang tua, masa studi, dan lain-lainnya. Tentu sangat baik jika sebelum menentukan pilihan peserta ujian memiliki proyeksi tentang kebutuhan tenaga kerja pada saat ia lulus PTN. Pendeknya, minat dan bakat itu harus dilihat secara realistis dengan melihat kenyataan kini dan masa depan secara komprehensif.
        Sangat baik pula jika ketika menentukan suatu pilihan, peserta ujian telah memiliki "bayangan" tentang apa yang dapat diperoleh dari studi pilihannya itu, dan dapat diarahkan ke mana bekal yang dimilikinya setelah lulus tersebut. Bahkan, kadang-kadang lulusan PTN masih harus memikirkan bekal “plus” agar daya saingnya meningkat. Penguasaan bahasa asing dan komputer, misalnya,  merupakan salah satu nilai “plus” yang wajib dimiliki.
Nilai Kemampuan Peserta dan Nilai Prestasi Sekolah
        Kans lulus tidaknya peserta ujian dapat diprediksi dengan memperbandingkan antara N1 dengan N2. Penjelasan rincinya adalah sebagai berikut. Nilai Kemampuan Peserta (NKP) ujian dapat dihitung dengan melihat prestasi di kelasnya. Sebagai patokan dapat digunakan klasifikasi sederhana ini. Siswa yang menempati ranking 1 s.d. 5 mempunyai NKP = 1; 6 s.d. 10 NKP = 2; 11 s.d. 15 NKP = 3; dan seterusnya.
        Sementara itu, Nilai Prestasi Sekolah (NPS) peserta ujian dapat dikalkulasi dengan melihat jumlah alumnus yang diterima di PTN. Jika jumlahnya antara 75--100% NPS = 1, jika 50--75% NPS = 2, bila 25--50% NPS = 3; dan seterusnya.
        Berdasarkan rumus sederhana di atas, siswa yang menempati ranking 2 di kelas dari sebuah sekolah yang alumnusnya 80% diterima di PTN memiliki N1 = 2 (NKP = 1 + NPS = 1); siswa ranking 14 dari sekolah yang alumnusnya 30% diterima di PTN memiliki N1 = 6 (NKP = 3 + NPS = 3). Jadi, jelas di sini bahwa jumlah N1 siswa  yang sama-sama menempati ranking 1 di kelas dapat sangat berbeda jika keduanya berasal dari sekolah yang kualitasnya berlainan.
 Nilai Jurusan dan Nilai PTN
        Nilai Jurusan (NJ) dan Nilai PTN (NPTN) dihitung dengan mempertimbangkan tingkat kefavoritan jurusan dan PTN tempat jurusan itu berada. Hal ini harus diperhatikan karena makin favorit suatu jurusan, makin tinggi pula tingkat persaingan untuk memasukinya. Nilai kefavoritan jurusan ini berbeda-beda untuk setiap PTN. Artinya, sebuah jurusan yang sangat favorit di suatu PTN belum tentu memiliki nilai kefavoritan yang sama di PTN lain. Meskipun demikian, secara umum, berdasarkan survei dan data jumlah peminat, kriteria berikut dapat dipakai sebagai patokan.
        Untuk kelompok IPA rankingisasinya adalah sebagai berikut. Jurusan atau Fakultas Kedokteran Umum/Kesehatan Masyarakat, Farmasi, Ilmu Komputer, dan jurusan-jurusan di Fakultas Teknik umumnya berada di ranking 1; Teknologi Pertanian, Kehutanan, dan MIPA (Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam) di ranking 2; Kedokteran Gigi, Biologi, dan Pertanian/Perikanan di ranking 3; kemudian sisanya seperti Geografi, Kedokteran Hewan (KH), dan Peternakan di ranking 4.
        Sementara itu, untuk kelompok IPS ranking 1 ditempati Psikologi, Hubungan Internasional, Akuntansi, dan Sastra Inggris; ranking 2 diisi oleh Hukum, Administrasi Negara, Manajemen, Antropologi, dan Sastra Asing (Prancis, Jepang); ranking 3 meliputi Sosiologi, Sosiatri, Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Arkeologi, Sejarah, dan Sastra Asing (Jerman/Cina); ranking 4 mencakup Sastra Asia Barat, Sastra Daerah, dan Filsafat.
        Rankingisasi Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia dikaitkan dengan "kebesaran", usia, serta "status”-nya sebagai PTN nasional, regional, dan lokal. Yang menempati ranking 1 adalah PTN nasional, terkenal, tua, dan besar. Dalam kelompok ini terdapat PTN yang dahulu tergabung dalam SKALU (Sistem Koordinasi Antar-Lima Universitas), yakni UI, UGM, ITB, IPB, dan UNAIR.
        Ranking 2 ditempati PTN regional yang cukup terkenal seperti UNDIP, UNPAD, USU, UNIBRAW, dan UNUD. Sementara PTN semiregional seperti Universitas Negeri Surakarta (UNS), UNAND (Padang), dan UNEJ Jember berada di urutan 3. Yang bernilai 4 adalah PTN lokal seperti Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purwokerto, serta PTN lain di luar Jawa dan beberapa universitas leburan dari IKIP Negeri.
        Dengan melihat rankingisasi jurusan dan PTN di atas dapat ditemukan jumlah N2 atau nilai pilihan seorang peserta ujian. Sebagai contoh, jika seorang peserta memilih Jurusan Teknik Elektro di UI, N2 =  2 (NJ T. Elektro = 1 + NPTN UI = 1). Peserta yang memilih FKG UGM memiliki N2 = 4 (NJ KG = 3 + NPTN UGM = 1). Peserta yang memilih Sastra Inggris di UNS memiliki N2 = 4 (NJ S. Inggris = 1 + NPTN UNS = 3), dan seterusnya.

Cara Menghitung Kans
        Kesempatan untuk lulus ujian dapat dihitung dengan membandingkan N1 dan N2. Misalnya ada tiga siswa: Baping, Mita, dan Joko. Baping ranking 3 di kelas (NKP = 1). Lulusan sekolahnya 90% diterima di PTN (NPS = 1). Ia ingin masuk ke Jurusan Akuntansi (NJ = 1) UI (NPTN = 1). Mita ranking 9 di kelas (NKP = 2). Alumni sekolahnya 40% diterima di PTN (NPS = 3). Pilihan utamanya adalah Kedokteran Gigi (NJ = 3) UNS (NPTN = 3). Joko ranking 1 di kelas (NKP = 1) dari sebuah SMU yang 45% lulusannya diterima PTN (NPS = 3). Pilihannya adalah Kehutanan (NJ = 2) UGM (NPTN = 1). Berdasarkan uraian tentang N1 dan N2 tersebut, kans ketiganya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.



Nama Peserta
NKP
NPS
N1
NJ
NPTN
N2
N1:N2
Kans Kasar Lulus (%)
Baping
1
1
2
1
1
2
2 : 2
50%
Mita
2
3
5
3
3
6
5 : 6
60--70%
Joko
1
3
4
2
1
3
4 : 3
40%

        Dengan memperhatikan perbandingan N1 dan N2 mereka tampak bahwa kans Baping dan Mita lebih besar dibandingkan dengan kans Joko. Peserta ujian sebaiknya mengusahakan agar nilai N1-nya lebih kecil daripada N2-nya untuk meningkatkan kans lulus. Ibarat petinju, makin tinggi peringkatnya (N1), makin besar pula kemungkinannya untuk menang melawan petinju peringkat di bawahnya (N2). Makin kecil N1-nya makin bagus, makin besar N2-nya makin terbuka kesempatan.
        N1 adalah nilai yang hampir pasti karena tidak bisa diubah, sementara N2 adalah nilai yang dapat diubah-ubah dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi peserta. Kans Baping, misalnya, akan makin besar jika ia memilih Akuntansi UNDIP (N2 = 3) atau tetap di UI, tetapi pilihannya Administrasi Negara (N2 = 3). Kans Joko juga bisa ditingkatkan jika ia mengubah pilihannya, misalnya menjadi KH UGM (N2 = 5) atau Pertanian UNS (N2 = 5).
        Karena setiap peserta ujian berhak mengambil kelompok IPC yang berarti dapat memilih tiga jurusan/pilihan, ia dapat mengatur agar salah satu pilihannya memiliki kans besar diterima. Caranya adalah dengan mengombinasikan antara pilihan jurusan dengan PTN tujuan. Ia dapat mengatur, misalnya, agar pilihan satunya tinggi, pilihan duanya sedang, dan pilihan tiganya agak rendah untuk berjaga-jaga.
        Satu hal lagi yang harus diingat adalah bahwa ternyata banyak peserta berbasis kelompok IPA yang turut memperebutkan tempat di kelompok IPS dan nyaris tidak terjadi hal yang sebaliknya. Sementara sekarang pemerintah justru memberi kelonggaran pada PTN untuk menambah kuota kursi di kelompok IPA. Ini merupakan ancaman serius. Apalagi, secara umum memang biasanya yang berbasis kelompok IPA memiliki kelebihan dibandingkan peserta dari kelompok IPS. Peserta kelompok IPS juga boleh mendaftar untuk kelompok IPA, tetapi rasanya akan sangat berat untuk memenangkan persaingan. Berdasarkan data di UGM, misalnya, sebagian besar mahasiswa kelompok IPS adalah lulusan SMU berbasis IPA (A1 dan A2). Untuk itu, sebaiknya peserta mencari informasi tentang jumlah peminat dan daya tampung pilihannya.
Apa Yang Sebenarnya Diperlukan?
        Perlukah mengikuti bimbingan tes? Jawabannya bisa perlu bisa tidak. Perlu karena di bimbingan tes siswa dapat belajar secara pasif (mendengarkan dan melihat saja, bandingkan dengan belajar sendiri yang menuntut aktivitas dan konsentrasi), dapat mengenali calon saingannya (siswa bimbingan biasanya berasal dari berbagai sekolah), dapat melatih kecepatan dan kebiasaan mengerjakan soal (oleh tentor biasanya diberi trik-trik menjawab soal secara cepat, dengan soal-soal ujian sebelumnya sebagai model atau contoh), dan dapat segera mendapatkan solusi jika ada permasalahan (bertanya kepada tentor). Namun, bimbingan tes tidak menjadi keharusan untuk siswa yang aktif belajar dan memiliki kemandirian serta kepercayaan diri.
        Yang sebenarnya diperlukan oleh peserta ujian tentu saja tidak hanya  N1 yang bagus dan perbandingan N1 dan N2 yang tepat. Ia juga harus memiliki kesiapan lain. Untuk dapat mengerjakan soal secara tepat dan cepat, yang diperlukan peserta ujian bukan hanya kecerdasan atau kepandaian, melainkan juga kesiapan mental dan psikologis, ketenangan dan kematangan emosional, serta kemampuan mengalokasikan waktu dan pikiran untuk "membereskan" semua soal secara maksimal.
        Tentu saja peserta juga tidak boleh hanya menghitung-hitung kans tanpa membekali diri untuk menghadapi ujian. Tidak boleh dilupakan pula bahwa kadang-kadang faktor nasib pun ikut berperan. Untuk itu, sebaiknya peserta ujian  mempersiapkan diri secara baik, menentukan pilihan secara tepat, dan selalu berdoa serta mendekatkan diri kepada Yang Maha Memberi agar nasib baik berpihak kepadanya.
        Lulus ujian masuk PTN memang bukan satu-satunya tolok ukur kualitas lulusan SMU. Akan tetapi, tidak dapat diingkari bahwa kelulusan itu merupakan sesuatu yang membanggakan: diri sendiri, orang tua dan keluarga, juga sekolah atau almamater. Bagaimana kalau tidak lulus? Jangan mencari kambing hitam, apalagi “menghitamkan” kambing orang lain. Lihat teman yang sukses, pelajari mengapa ia sukses, kemudian jangan sungkan-sungkan untuk menandingi dan bahkan mengalahkannya. MENCOBA adalah UKURAN KEBERANIAN SESEORANG. Jika belum pernah mencoba, sebaiknya  Anda tidak berprasangka (apalagi terhadap diri sendiri) bahwa Anda tidak mampu, tidak bisa, atau tidak akan sukses. Jika imbauan ini cukup menggoda, selanjutnya terserah Anda.

Contoh Resensi Buku (Novel/Trilogi Novel)
RESENSI TRILOGI NOVEL

Mahligai Gadis Tangsi dari Kerajaan Raminem:
Trilogi Suparto Brata yang Memukau


(Brata, Suparto. 2004. Gadis Tangsi. Jakarta: Kompas. (373 Halaman); Brata, Suparto. 2006. Kerajaan Raminem. Jakarta: Kompas. (468 Halaman); Brata, Suparto. 2007. Mahligai di Ufuk Timur. Jakarta: Kompas. (487 Halaman)
Oleh: Heru Marwata
Staf Pengajar Jurusan Sastra Indonesia FIB UGM Yogyakarta



Akhirnya, Teyi, gadis tangsi dari Tangsi Lorong Belawan, Medan, atau Den Rara Teyi dari Kerajaan Raminem di Ngombol, atau Putri Teyi (dalam bayang-bayang Putri Parasi) menikah dengan Gusti Bandara Raden Mas Kus Bandarkum dari Istana Jayaningratan, Solo. Mereka menjalani hidup bersama dan berbahagia untuk selama-lamanya.

        Begitulah kira-kira akhir novel Trilogi Gadis Tangsi karya Suparto Brata. Tentu saja jika—meminjam istilah Jauss (1983)—horison harapan pembaca ”tidak dikecewakan” oleh pengarang. Mengapa demikian? Ternyata Suparto Brata tidak menyelesaikan kisah tokoh utama trilogi novelnya sampai karya ketiga (terakhir) Mahligai di Ufuk Timur (2007) mencapai ujungnya. Akhir kisah tokoh Teyi, Den Rara Teyi, atau Putri Teyi tampaknya sengaja diserahkan penyelesaiannya kepada pembaca. Barangkali strategi ini dipakai Suparto Brata untuk menghilangkan ciri-ciri komik (yang biasanya berakhir dengan kebahagiaan tokoh-tokoh utamanya) pada trilogi novel historisnya. Meskipun demikian, agar pembaca tidak terlalu meraba-raba dalam memperkirakan akhir kisah tokoh-tokohnya, Suparto Brata telah menyiapkan tanda-tanda yang mengarahkan ke mana akhir kisah akan menuju: sebuah enigma yang pasti akan terjawab menurut terminologi Roland Barthes (S/Z, 1990).
        Tidak berbeda dengan trilogi yang pernah mewarnai dunia kesusastraan Indonesia (sebut saja misalnya trilogi karya Ahmad Tohari atau Mangunwijaya), karya Suparto Brata juga menghadirkan sosok wanita sebagai tokoh utama. Jika pembaca menemukan Srintil dalam trilogi Ahmad Tohari, Mendut dan Lusi Lindri serta Genduk Duku dalam trilogi Mangunwijaya, dalam trilogi Suparto Brata pembaca akan menjumpai tokoh Teyi. Hanya saja, dari segi jelajah geografis, tampaknya trilogi Suparto Brata memang lebih unggul. Lihat saja novel pertama Gadis Tangsi (2004) yang banyak menggunakan latar tempat Sumatra. Pada novel kedua, Kerajaan Raminem (2006), latar Sumatra baru mulai bergeser ke Jawa. Akhirnya, pada novel ketiga, Mahligai di Ufuk Timur (2007), latar tempatnya baru benar-benar berpindah ke Jawa (khususnya Jawa Tengah, lebih khusus lagi sekitar Ngombol, Bagelen, Purworejo, dan Surakarta).
        Sesuai dengan sebutannya, Trilogi Gadis Tangsi, karya Suparto Brata ini mulai berkisah di Tangsi Lorong Belawan. Di sinilah jalan hidup Teyi, gadis tangsi (Lorong Belawan, Medan) mulai dirintis. Teyi adalah putri pertama—dari dua bersaudara yang semuanya perempuan (adiknya bernama Tumpi)—pasangan Sersan Wongsodirjo-Raminem. Bapaknya seorang serdadu kumpeni (Belanda) dan ibunya seorang penjual pisang goreng. Bapak dan ibunya orang Jawa, berasal dari Purworejo. Mereka tinggal di Tangsi Lorong Belawan karena Sersan Wongsodirjo bertugas di sana.
        Yang elok, meskipun berada di tangsi Belanda di wilayah Medan, Sumatra, teman bergaul keluarga Sersan Wongsodirjo adalah orang-orang Jawa. Teman-teman Sersan Wongsodirjo adalah Lik Urip, Lik Manguntaruh, Suradigdaya, Sapardal, Darmin, Samidi, Saimin, Suparmin, dan lain-lainnya. Nama-nama teman bermain Teyi adalah Keminik, Jemini, Ceplik, Tukiyem, Sumbing, Kamdi, Gepeng, Dumilah, Suwarti, dan nama-nama Jawa lainnya. Oleh karena itu, meskipun berada di luar Jawa, atmosfir kejawaan masih kental di Tangsi Lorong Belawan yang notabene berada di wilayah Sumatra. 
        Suasana kebelandaan terbangun oleh munculnya nama-nama dan penyebutan tempat, misalnya Ndara Tuan Kapten Dapenpur dan Ndara Tuan Kapten Depries (keduanya perwira Belanda), Landa Dawa (peniup terompet), dan rumah loji di Kampung Landa (tempat tinggal para perwira Belanda). Sementara itu, kehidupan di luar tangsi menciptakan gambaran mengenai aspek di luar kejawaan. Sebut saja misalnya nama-nama tempat seperti Tanah Aceh, Lhosukon, Lhose, Lhonga, Meurudu, atau Medan. Juga nama-nama di kota Medan seperti Simpang Lama, Pasar Medan, Toko Kuala Deli, Toko Antimahal, dan Toko Emas En Hong. Terlepas dari suasana dan nama-nama itu, rona Jawalah yang lebih menonjol. Apalagi dalam kehidupan keluarga Teyi.
        Hal yang sangat menentukan dalam perjalanan hidup tokoh Teyi adalah ambisi Simboknya, Raminem. Raminem, istri Sersan Wongsodirjo mempunyai ambisi untuk menjadi kaya, kaya raya. Keinginan ini dilandasi oleh ’dendam’ kesumatnya pada kemiskinan yang membuatnya begitu terhina di mata (atau lebih tepatnya sangat dihinakan oleh) Yu Camik, istri kakak suaminya (Wongsodrono). Kemelaratan membuat kehadirannya tidak diterima di rumah ’besar’ Wongsodrono di Bagelen. Kata-kata sinis dan menyakitrendahkan yang terlontar dari bibir Yu Camik benar-benar menjadi ’tenaga pemompa’ semangat Raminem untuk menjadi kaya. Menjadi kaya raya merupakan obsesinya setelah memilih meninggalkan Bagelen bersama suaminya yang bersedia mengalah darinya untuk mendaftar menjadi serdadu kumpeni dan dikirim ke Sumatra. Keinginan Raminem adalah pergi segera dari Bagelen agar tidak mendapatkan caci maki dan segala macam penistaan, kemudian mengumpulkan harta kekayaan agar menjadi kaya raya dan bisa kembali ke Ngombol, tempat kelahirannya untuk mendirikan Kerajaan Raminem dengan membeli sawah-sawah nomor satu di sana.
        Keinginan, atau tepatnya semangat atau obsesi, menjadi kaya begitu besarnya sehingga kalau ”Bercerita tentang desa asal suaminya, Raminem selalu bersemangat tinggi. Sangat jelas ada nafsu balas dendam dan ingin kaya, kayaaaa sekali melebihi Yu Camik,  ...” (Gadis Tangsi, 2004: 16). Apalagi jika mengingat sumpah serapah Yu Camik ketika Suratman (Wongsodirjo), suaminya, diterima menjadi serdadu kumpeni dan harus segera berangkat ke Sumatra. ”Sana, minggat sana! Cari makan di seberang lautan sana! Paling-paling berangkat kelapa pulang kelapa. Ah, untung kalau begitu. Kalau tak untung, pergi kelapa pulang jomblong! (cumplung, pen.) (Gadis Tangsi, 2004: 16). ”Adddduuh, sakiiit hatiku mendengar ucapan Yu Camik itu. Oh, Teyi, aku harus kaya. Aku akan pulang menjadi minyak goreng!” (Gadis Tangsi, 2004: 16).
        ”Aku disumpahi oleh Yu Camik. ‘Pergilah! Pergilah minggat bersama suamimu jadi serdadu kumpeni! Jadi istri serdadu kumpeni sampai bungkuk, masa bisa pulang ke kampung membawa sawah ladang. Mana mungkin! Kamu hanya perempuan Ngombol, perempuan pemalas! Mana ada perempuan asal Ngombol yang kaya? Rata-rata pemalas dan ditakdirkan jadi kere!’ Ah, sakiiiit hatiku disumpahi Yu Camik demikian. Tidak! Aku bukan pemalas! ... Akan kubuktikan kepada Yu Camik. ... kita akan kaya. Kaya! Melebihi kekayaan ... Yu Camik. Teyi, kamu harus ....” (Gadis Tangsi, 2004: 17).

        Dendam Raminem itu pulalah yang menentukan jalan hidup Teyi. ”Teyi merasakan dendam kesumat yang kuat dalam ucapan Raminem. ... Bekerja keras, keras, keras! Dan, semangat itulah yang dimasukkan ke dalam jiwa Teyi” (Gadis Tangsi, 2004: 16). Kaya, harus kaya, kaya raya, itulah kata kunci dalam keluarga Raminem. Untuk mendukung usaha itulah Teyi berperan banyak: mulai ketika menjadi penjual pisang goreng di tangsi dan sekitarnya, ketika mengelola harta benda hasil usaha orang tuanya, ketika menyembunyikan (atau menyelamatkan) harta benda yang harus dibawanya pulang ke Jawa (Ngombol), dan terutama ketika merintis usaha membangun Kerajaan Raminem di Ngombol dan menjadikan ibunya ratu di kerajaan itu. Raminem memang memiliki dendam untuk kaya raya, ia menanamkan semangat untuk kaya itu kepada anak (-anaknya), tetapi tanpa Teyi usaha Raminem tidak akan berhasil.
        Teyilah yang menegarkan keluarganya ketika Sersan Wongsodirjo meninggal (atau lebih tepatnya dibunuh secara licik oleh Manguntaruh, saudara Yu Camik yang tergila-gila pada Raminem dan ternyata tidak bertepuk sebelah tangan), Teyi pula yang ’membangun’ Kerajaan Raminem dengan usaha penuh jerih payah dan ’perhitungan’, Teyi pula yang nantinya mengangkat derajat keluarga Raminem karena menjadi calon permaisuri seorang pangeran dari Istana Jayaningratan, Solo. Gadis tangsi yang berada dalam pergaulan anak tangsi, anak bengal, bergajulan, dan kurang terdidik bagaimana bisa menjadi gadis yang demikian berperan dalam kehidupan keluarga dan bahkan teman-temannya. Itulah yang disebut Suparto Brata sebagai pulung.
        Teyi yang dibekali ambisi menjadi kaya oleh ibunya ternyata menemukan keberuntungan yang tidak terduga. Pisang goreng yang dijajakannya membawa Teyi ke rumah loji, ke rumah seorang perwira kumpeni berdarah Jawa, Ndara Tuan Kapten Sarjubehi, Raden Sarjubehi. Di rumah loji inilah Teyi bertemu dengan Ninek Jidan (seorang pembantu) yang kemudian menuntunnya bertemu dengan, bahkan berteman dengan, dan bahkan kemudian menjadi anak asuh Putri Parasi (istri Kapten Sarjubehi). Pertemuan inilah yang kelak membawa kehidupan Teyi menjadi sangat berbeda dengan jalan hidup teman-teman setangsinya.
        Putri Parasi mengajarkan banyak hal kepada Teyi, hal-hal yang tidak bakalan diperoleh oleh teman-temannya di tangsi. Di rumah loji Putri Parasi mengajari Teyi cara ngadi salira dan ngadi busana, membaca dan menulis, serta bertata krama ala keraton. Di rumah loji inilah Teyi dididik dan dipersiapkan menjadi putri keraton, putri Keraton Surakarta Hadiningrat. Di situ pula Teyi belajar membaca dan menulis yang membuatnya memiliki derajat tinggi dalam pergaulan, bahkan dalam beberapa hal sejajar dengan orang Belanda. Ia bisa berbahasa Belanda. Ini sungguh hebat. Inilah salah satu bekalnya yang sangat memadai untuk melihat dunia yang lebih luas, tidak hanya seluas tangsi, tetapi bahkan seluas hamparan bumi dengan membaca buku dan majalah. Ia bisa berbahasa Jawa halus seperti putri keraton. Ini juga hebat. Inilah bekal yang akan membawanya ke Istana Jayaningratan di Solo.
        Teyi tidak akan ada, paling tidak keberadaannya pasti akan bernilai beda, tanpa Putri Parasi. Bekal yang diperoleh Teyi dari Putri Parasi benar-benar lengkap untuk menjalani kehidupan sebagai manusia yang bermartabat. Secara kebetulan pula bekal ini ditambah dengan kehadiran Bendara Raden Mas Kus Bandarkum, keponakan Putri Parasi, ketika berlibur ke Medan. Pertemuan dengan Putri Parasi dan Kus Bardarkum sepertinya memang telah direncanakan pengarang untuk memberikan jalan menuju mahligai di ufuk timur (yang terbeber dalam Mahligai di Ufuk Timur, 2007). Bekal-bekal itulah yang kelak mendukung bekal harta kekayaan setelah ia bersama ibu dan adiknya sukses membangun Kerajaan Raminem di Ngombol. Kepandaian baca tulis dan kepiawaiannya ngadi busana dan ngadi salira ala putri keraton, perjanjian cintanya dengan Kus Bandarkum, dan bekal ’kedudukan’ karena materinya yang cukup melimpah sebagai Den Rara Teyi dari Kerajaan Raminem menempatkan Teyi sebagai gadis yang sangat bermartabat. Apalagi ditambah dengan kesabaran dan keluhuran budinya yang sangat dikenal oleh teman-teman dan kerabat serta orang-orang yang hidup (bahkan ikut hidup atau menumpang hidup) di sekitarnya.
        Secara cermat pengarang telah menyiapkan tokoh utama novel ini, Teyi, menjadi wanita yang tegar, tegas, kuat, berpandangan luas, bijaksana, berbelas kasih, dan sekaligus memiliki cita-cita yang mulia. Kus Bandarkum sebagai calon suaminya pun ternyata turut membentuk kepribadian Teyi menjadi lebih mulia lagi dengan diskusi-diskusi dan rencana-rencananya untuk menciptakan berbagai sarana memajukan anak bangsa, kalau perlu dengan mengorbankan harta benda yang mereka punya. Bahkan, di novel terakhir trilogi Teyi telah memulainya dengan mendirikan lumbung padi yang sekaligus berfungsi sebagai tempat belajar baca tulis. Gagasan seperti ini tidak mungkin dimiliki oleh orang awam yang tidak terpelajar. Memang sebenarnya mereka sangat terdidik. Teyi mendapatkan berbagai pelajaran secara informal dari Putri Parasi, sementara Kus Bandarkum mendapatkannya dari sekolah formal yang dimasukinya.
        Sebagai sebuah trilogi, novel-novel Suparto Brata ini benar-benar layak dibaca. Di dalamnya banyak sekali pelajaran yang dapat dipetik. Di novel tarakhir trilogi, misalnya, tampak model klasik penghukuman pengarang atas orang-orang yang pongah dan  menista tokoh-tokoh utama trilogi tersebut. Wongsodrono meninggal setelah anaknya yang ’kurang genap’, Denta, meninggal akibat ulah Dasiyun (anak Manguntaruh). Yu Camik menjadi gila dan akhirnya meninggal secara tragis di Kali Bogowonto setelah suami dan anaknya meninggal. Manguntaruh harus membayar kejahatan-kejahatannya dengan masuk bui. Dasiyun dan anak istrinya pun meninggal dengan cara tragis karena ulah-ulah tidak terpujinya. Semua yang ”jahat” mendapatkan hukuman yang setimpal.  Bagaimana dengan okoh-tokoh yang ”baik”? Bisa dikatakan semua tokoh ”yang tidak jahat” mendapatkan jalan terang. Dikotomi hitam putih yang sederhana, tetapi disajikan pengarang dengan cara yang ’manis’.
        Trilogi Gadis Tangsi ini memang sosiologis dan historis. Oleh karena itu, orang-orang yang karena pengalaman dan usianya  ingin bernostalgia mengenang kehidupan masa Belanda dan Jepang dapat membangkitkan memori (atau bahkan mungkin emosinya) dengan membaca trilogi ini. Juga, misalnya, jika ada orang yang ingin bernostalgia dengan ungkapan makian khas Jawa, ia pun dapat memperolehnya dalam trilogi ini. Bahkan, trilogi ini pun dilengkapi dengan model pepatah petitih yang kaya makna. Cerita dalam trilogi ini begitu hidup dan membuat pembaca seolah menemukan kemudahan untuk memahaminya karena cukup banyak jejak—atau menurut istilah Iser (1987) repertoire atau realitas ekstratekstual menurut Holub (1989)—yang ditinggalkan pengarang dalam karyanya. Pesan, kesan, dan cerita yang disajikan Suparto Brata menjadi kian terhayati karena alasan-alasan berikut.
        Pertama, karena Suparto Brata memiliki referensi yang sangat selaras dengan kisah-kisah dalam triloginya. Lihat saja biografi singkat bertajuk ’Tentang Penulis’ yang disertakan di halaman-halaman terakhir novelnya.
”Suparto menikah dengan Rr. Ariyati, anak seorang petani kaya di Ngombol, Kedu Selatan. Rr. Ariyati lahir di Meurudu 1940, ketika ayahnya jadi serdadu kumpeni. Ketika Perang Dunia II meletus, ayahnya dibubarkan dari kumpeni di Bandung, sedangkan Ariyati bersama tiga orang saudaranya serta ibunya tertinggal bersama istri serdadu kumpeni lainnya di asrama tangsi Medan. Mereka dibawa mengungsi oleh tentara Belanda, tetapi terkejar oleh tentara Jepang di Blankejeren”

        Pembaca novel pertama dan kedua trilogi Suparto Brata akan menemukan paparan penggalan realitas di atas dalam karya fiksi Suparto, dalam uraian imajinatif yang lebih kaya. Barangkali ini merupakan pertanda dan bukti nyata bahwa—konon,  menurut para teoretikus—sastra tidak pernah beranjak dari kekosongan (budaya, sosial, atau karya-karya sebelumnya).
        Kedua, ”Narasumber novel Kerajaan Raminem  adalah mertua Suparto Brata” (Kerajaan Raminem, 2006: 470). Ketika kita mencermati kata ”narasumber”, terbayanglah adanya sebuah ISI yang memerlukan BENTUK. Yang disampaikan mertua Suparto adalah ISI, dan yang ditulis Suparto dalam triloginya adalah BENTUK itu, yang lengkap dengan isinya dalam bentuk yang agak lain. Di sini ada dua realitas yang berbeda. Yang disampaikan mertua Suparto (kemungkinan besar) adalah realitas historis, sementara yang di-jlentreh-kan Suparto dalam triloginya adalah realitas fiksional. Oleh karena itu, kiranya pesan di sampul belakang Kerajaan Raminem (2006) bahwa “Pecinta sastra, mahasiswa sastra, pengamat sastra, serta mereka yang menaruh perhatian pada sejarah sosial dan bahasa Indonesia patut membaca novel ini” bukanlah imbauan yang mengada-ada sebagai promosi belaka.
        Ketiga, ”Narasumber novel Mahligai di Ufuk Timur ini adalah kesaksian, pengalaman, dan pengamatan Suparto Brata sendiri, asli dan murni” (sampul belakang Mahligai di Ufuk Timur, 2007). Novel ketiga ini memang tampak lebih matang dari segi ide dibandingkan dua novel sebelumnya. Jika novel pertama dan kedua banyak memuat cerita beraroma fisik, novel ketiga lebih menonjolkan atmosfir pemikiran, ide, atau gagasan. Salah satu gagasan besar yang ada adalah yang dibangun Suparto dengan memadukan gagasan Putri Teyi dari Kerajaan Raminem di Ngombol dengan pemikiran-pemikiran Bandara Raden Mas Kus Bandarkum dari Istana Jayaningratan di Keraton Solo. Kisah memang belum selesai, tetapi ibarat hari, pagi pasti kan menjelang: mentari tak pernah ingkar janji, apa pun yang terjadi besok pagi ufuk timur pasti akan merekah dengan sinar surya yang cerah.
        Demikianlah trilogi Suparto Brata menggelar kelir pewayangan dengan tokoh-tokoh di luar cerita Mahabharata atau Ramayana. Novel yang memuat informasi historis ini sangat baik dibaca sebagai alat pembelajaran nalar budi dan media analisis struktur ala Stanton (lihat karya Robert Stanton yang berjudul An Introduction to Fiction (1964)) atau model-model pendekatan struktural. Bagi orang yang tertarik (dan belum pernah) menulis novel historis (atau novel sejarah), tampaknya model trilogi Suparto Brata ini juga bisa menjadi acuan (di samping, misalnya, model-model Pandir Kelana atau Arswendo Atmowiloto). Akhirnya, selamat membaca dan menikmati Trilogi Gadis Tangsi karya Suparto Brata yang mengagumkan ini.    
       
DAFTAR PUSTAKA

Brata, Suparto. 2004. Gadis Tangsi. Jakarta: Kompas.
_______. 2006. Kerajaan Raminem. Jakarta: Kompas.
_______. 2007. Mahligai di Ufuk Timur. Jakarta: Kompas.
Barthes, Roland. 1990. S/Z. United Kingdom: Basil Blackwell Ltd.
Holub, Robert C. 1989. Reception Theory: A Critical Introduction. London: Routledge.
Iser, Wolfgang. 1987. The Act of Reading: A Theory of Aesthetic Response. Baltimore & London: The John Hopkins University Press.
Jauss, Hans Robert. 1983. Toward an Aesthetic of Reception. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Stanton, Robert. 1964. An Introduction to Fiction. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc.

PENUTUP
STATUS DI FB TANGGAL 6 Desember 2012: Akhirnya ....
Semua kisah adlh lagu. Merdu tidaknya tergantung pd cara menyanyikannya. Semua momen adlh melodi. Manis tidaknya tgt pd cara mengartikulasikannya. Semua peristiwa adlh mozaik seni. Artistik tidaknya tgt pd cara memadukannya. Semua rasa adalah bumbu. Menggigit tidaknya, maknyus tidaknya, tgt pd cara mengolah dan menyajikannya. Cara sangat menentukan hasil. Semoga kita sll menggunakan cara yg baik & benar. Aamiin. (HM, Yk, 6 Des. 2012)
Halo teman-teman .... Bagaimana perasaan Anda? Cukup tertantang? Masih merasa bahwa menulis itu sulit? Ayo segeralah mencoba karena, sekali lagi, mencoba adalah ukuran keberanian seseorang. Jangan harap bisa melakukan sesuatu, apa pun itu, jika Anda tidak pernah mencoba melakukannya. Menulis adalah aksi, bukan aktivitas dalam hati. Salam tulis-menulis. (HM)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar