Minggu, 30 Oktober 2016

Makalah untuk PIBSI XXXIII 11—12 Oktober 2011 Universitas Negeri Semarang Semarang



MEMBACA KEYDO:
Membaca Semangat Zaman
Memantapkan Peran Sastra dalam Membangun Karakter Bangsa










Heru Marwata
Jurusan Sastra Indonesia FIB UGM
Yogyakarta





Makalah untuk PIBSI XXXIII
11—12 Oktober 2011
Universitas Negeri Semarang
Semarang
Jawa Tengah


MEMBACA KEYDO:
Membaca Semangat Zaman
Memantapkan Peran Sastra dalam Membangun Karakter Bangsa

Heru Marwata
(Jurusan Sastra Indonesia FIB UGM)


Abstrak

            Perubahan dunia berlangsung begitu cepat. Berbagai fenomena dan pemikiran silih berganti menempatkan diri sebagai kecenderungan umum dalam kehidupan. Di tengah derasnya bermacam arus perubahan, karya sastra masih setia mengambil peran sebagai penyegar dan alternatif penting dalam proses pendewasaan cara berpikir dan bertindak. Dinamika estetika dalam sastra begitu lentur dan mudah menyesuaikan diri dengan segala pergeseran yang terjadi di luar dirinya. Karya sastra telah mengisi sebagian relung kehidupan dengan cara yang kadang-kadang tidak bisa dilakukan oleh sarana lain, dengan tingkat elegansi yang menawan, dengan keanggunan yang kadang tidak terlawan. Demikianlah salah satu peran yang telah dimainkan oleh Keydo, sebuah novel Tatty Elmir.
           
Membaca Keydo adalah petualangan membaca semangat zaman dan sekaligus melakukan proses perjalanan menuju pengakuan tak terungkapkan betapa karya sastra bisa berperan, dengan caranya yang spesifik, membangun karakter bangsa. Barangkali ini ungkapan yang berlebihan. Namun, setidaknya, dalam tingkat tertentu, pembaca akan menemukan betapa masih relevannya karya sastra, seperti novel Keydo, dengan berbagai aspek kehidupan.

            Sebagai sebuah novel yang notabene hanyalah fiksi, karya imajinatif, Keydo telah (dan mampu) menyentuh sisi-sisi kehidupan manusia dengan cara yang sangat manis. Membaca Keydo adalah membaca semangat zaman, membaca semangat anak zaman, dan membaca peran karya sastra dalam proses pendewasaan bangsa.

Kata kunci: Keydo, peran sastra, semangat zaman, membangun karakter bangsa

Reading KEYDO:
Reading the Spirit of the Age
Establishing the Roles of Literature in the Nation Character Building

Heru Marwata
(Indonesian Department, Faculty of Cultural Sciences, Gadjah Mada University)

Abstract
            The world changes so quickly. Diverse phenomena and thinking alters incessantly, putting their positions as common propensities in daily life. In the midst of the various flows of changes, literary works still take their roles persistently as vigor and an important alternative in the process of maturation in the way of thinking and acting. The aesthetic dynamics in literature are so flexible and adaptable to all the external changes. Literary works has filled up a part of life niches in the way that occasionally the other devices cannot perform, in the level of incomparable attractive elegances. This is one of the roles that Keydo, a novel by Tatty Elmir, has performed.
            Reading  Keydo is a sort of adventures of reading the spirit of the age and travelling to the undeclared acknowledgment that literary works do take a role, through their specific ways, toward nation character building. This might be a hyperbolic expression. However, at least in certain levels, readers will find that literary works, such as the novel Keydo, are still relevant to many aspects of the life.
            As a novel, which is fictional and imaginary, Keydo has (and able to) touched many sides of human life in such a delightful way. Reading Keydo is reciting the spirit of the age, the spirit of children of the age, and reciting the roles of literary works in the process of the nation maturation.

Keywords: Keydo, roles of literature, spirit of the age, nation character building


Pengantar Pembenar
            Apa pun alasannya, kitab apa pun pedomannya, yang jelas saat ini kita akan beramai-ramai melakukan pemujaan, bahkan mungkin pengultusan atas bahasa dan sastra. Dengan kerangka berpikir dan demi tujuan itu, kita—sepakat atau tidak—akan menyatukan energi diri bersinergi bersama-sama mengucapkan mantra-mantra sakti untuk bermufakat menyeru bahwa bahasa dan sastra, dengan dan dalam kadar tertentu, memiliki peran suci melontargelontorkan wacana yang sangat relevan dengan kehidupan. Bahasa dan sastra adalah penyemat semangat yang memiliki daya rekat serta kemampuan untuk mengemban peran yang tidak bisa dipikul oleh “pahlawan-pahlawan” kehidupan lainnya. Salahkah?
            Tentu saja tidak ada salahnya menggalang kekuatan untuk mengangkat kembali pilar-pilar jembatan kehidupan yang pernah tegak kokoh kuat menjadi penyangga dan sekaligus penjaga hamparan dunia harapan berbangsa. Bahasa dan sastra, dari sisi pemikir dan penggemar serta penjaganya, pastilah dapat berperan sebagai penyumbang besar asupan gizi bangsa menuju pertumbuhkembangan menuju kedewasaan. Lewat berbagai cara dan rupa, bahasa dan sastra telah (minimal pernah) merasuki aliran nadi dan getar edar pendar jiwa kehidupan berbangsa dan bernegara. Agar alur jalur yang terjulur tidak saling “singkur” dan bertumpang tindih, biarlah tulisan ini mengambil salah satu aspek, aspek sastra dari dua sisi bahasa dan sastra sebagai bahasan utama dalam kerangka besar kehidupan berbangsa dan bernegara.  Sementara itu, aspek bahasanya biar menjadi materi diskusi para penggemar di batas sisi tipis seberang sastra: bahasa, lengkap dengan linguis dan peminat-peminatnya.

Mari Kita Jelajah Bongkah Bingkai Rangkai Sejarah
Dalam sejarah sastra dunia—khususnya Amerika—Uncle Tom’s Cabin (Life Among the Lowly) Harriet Beecher Stowe pastilah salah satu karya yang sangat layak disebut betapa nyatanya korelasi positif antara novel, karya sastra, dunia imajinasi, dengan kehidupan, dengan dunia nyata. Salah duanya, barangkali, adalah Romeo and Juliet William Shakespeare yang pernah begitu mengesankan perbendaharaan karya sastra Inggris dan dunia. Mengapa harus berlari jauh ke negeri Paman Sam atau negeri yang pernah membenamkan kuku hegemoni di bumi persada kita seperti Britania Raya? Tampaknya sah-sah saja. Bukankah sejarah pemikiran selalu membawa pengaruh besar pada sejarah dunia dan sejarah sastra? Bukankah, diakui atau tidak, sastra Indonesia juga sangat dipengaruhi oleh sastra (dunia) Barat? Bukankah sampai sekarang kita juga masih sangat getol berjuang untuk mengukuhkan bahwa sastra Indonesia adalah warga sastra dunia yang patut mendapat tempat duduk sama empuk dengan sastra dunia?
Sastra Indonesia—yang boleh disebut sebagai bagian dari sastra Timur—pastilah belum begitu tua usianya, khususnya jika dikomparasikan dengan sastra Barat. Meskipun demikian, pasti jugalah merupakan kenyataan tak terbantah bahwa sejarah sastra Indonesia telah menorehkan kisah historis manis (dan barangkali juga melankolis dramatis) dalam mewarnai pelangi bangsa. Untuk apa pernah ada “Nota Rinkes” pada masa Balai Pustaka kalau tidak ada pandangan bahwa sastra berpotensi menimbulkan “sesuatu” dalam kehidupan masyarakat?
Kehidupan bersastra terus berlanjut. Angkatan atau periodisasi dan atau kecenderungan sastrawan pendukungnya mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Aliran dan pengaruh filosofi juga berganti-ganti. Pergeseran pastilah terus terjadi. Adakah peran yang terus dan konsisten dimainkan sastra? Pastilah ada, dan peran atau fungsi sosial sastra adalah salah satunya.

Benarkah Fungsi Sosial Sastra Itu Ada?
            Dalam khazanah sastra Indonesia pernah ada karya berjudul Keluhan Pohon Mangga karya Maria Amin. Pada masa awal kemunculan Angkatan 45 kita mengenal dan membaca Tiga Menguak Takdir karya bersama Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani. Konon, kalau jujur, nyaris tidak ada penyair Indonesia pascakemerdekaan yang tidak terpengaruh oleh Chairil Anwar. Kita pasti ingat juga bahwa pada tahun 60-an Ki Panji Kusmin menggegerkan panggung dan jagat pakeliran sastra Indonesia dengan cerpennya yang berjudul Langit Makin Mendung. Sastra pasti memiliki potensi, bahkan dalam beberapa kasus bisa saja potensi itu sangat besar.
            Bagaimanapun, kalau kita runut, karya-karya sastra Indonesia pernah menjalankan fungsi sosialnya. Dalam fungsi ini sastra pernah menjalankan peran sebagai sarana untuk mengritik, untuk mempengaruhi, menjadi petunjuk, menjadi perekam fenomena sekaligus pengedepan gagasan, dan menjadi pembawa semangat zaman. Bagaimana dengan Keydo? Apa peran yang bisa dimainkannya sebagai sebuah karya sastra? Apakah Keydo karya Tatty Elmir juga membawa semangat zaman?

Membaca Keydo Membaca Semangat Zaman
            Dalam “Sapa Sang Guru” (hlm. xi) Taufiq Ismail menulis:
“Pembaca diajak mengembara melalui plot tidak sederhana dengan pelaku banyak pula. Tokoh-tokohnya sangat beragam suku dan agamanya, dari barat sampai ke timur Indonesia, hingga ke komunitas Amish yang zuhud di Amerika Utara. Berbagai zaman bergolak dilaluinya, dengan tokoh-tokoh sosial bermacam disiplin aktivitas pula. Sungguh suatu keleidoskop berwarna-warni, sebuah konser simfoni dengan banyak instrumennya. Pembaca merasakan keindonesian yang kukuh, kesalehan dalam iman, keperempuanan yang bermakna, rasa kuat terlibat masalah masyarakat, kemanusiaan yang hangat. Dengan meninggalnya Keydo, saya ikut merasa sangat kehilangan bersama Kinang.”
            Semangat multikultural mengedepan dalam Keydo. Jakarta, Magelang, Jayapura, Padang, Amish (di Amerika Utara) adalah wilayah jelajah kisah Keydo yang cukup intensif melatari cerita. Semua membawa konsekuensi pandangan, pemikiran, pemahaman, dan aspek-aspek kehidupan dalam kerangka keindonesiaan. Kristen, Katolik, Islam, hadir dan menghiasi kisah perjalanan Keydo dan tokoh-tokoh penting Keydo. Semua hadir dengan tampilan yang bebas pretensi, membangun harmonia dan semangat kebersamaan.
            Di sampul depan Keydo tertulis “Sebuah Novel tentang Perempuan, Cinta, dan Para Pahlawan di Jalan Sunyi”. Jalan sunyi itu pulalah yang dilewati oleh pejuang selain Keydo, misalnya Sarianti.
“Bagi masyarakat Minang tahun 1800-an, peristiwa itu (perkawinan antarteman satu suku, pen.) merupakan aib besar yang tak termaafkan. Namun bagi Sarianti, ini adalah satu bentuk perjuangan untuk menempatkan adat pada posisinya, yang tidak boleh mengalahkan syariat agama.” (hlm. 174) “’Meski satu suku, jika lain daerah asal, tidak ada pertalian darah, bukan perkawinan yang diharamkan agama. Lihat Al-Quran. Berpedomanlah pada kitab suci, bukan kitab adat yang direka-reka manusia,’ Sarianti tak lelah meneriakkan protesnya.” (hlm. 175)
            Perjuangan Sarianti adalah salah satu “ … pesan pembebasan, baik dari lingkungan adat maupun ketidakadilan gender, yang disajikan dengan jeli dan mengalir seputar pergulatan budaya, politik, konflik nilai, dan pencarian makna hidup, yang kesemuanya tengah berlangsung dalam masyarakat kita yang amat majemuk ini,” kata Komaruddin Hidayat dalam endorsement novel Keydo. Demikianlah Keydo dan Keydo telah merekam zaman lengkap dengan segala gejolak dan “gairah” yang berkelebat sepanjang perjalanan sejarah. Karya sastra sebagai sebuah olah cipta imajinatif pastilah memiliki korelasi dengan kehidupan. Oleh karena itu, tentu tak mengada-ada pernyataan Fachrian Adi (lihat di endorsement novel Keydo) ini. “Kalau saja saya tidak pernah bertemu Bunda Tatty and the gank secara personal, mungkin saya akan mengira karakter-karakter di buku ini 100% imajinatif, yang tercipta untuk sekadar menoreh inspirasi ….”
            Beberapa tahun lalu pesawat Adam Air hilang dalam perjalanan dan konon sampai sekarang belum ditemukan lokasi jatuhnya (mungkin sudah bisa diperkirakan, tetapi sangat sulit dievakuasi, dan mahal biayanya). Dalam Keydo pengarang telah mematikan Keydo—istri Kinang, yang belum lama dinikahinya—dan  menghilangkannya bersama pesawat yang ditumpangi dari Padang menuju Jakarta. Pastilah ada perbedaan antara hilangnya Adam Air dengan hilangnya pesawat yang membawa Keydo. Namun, bayangan imajinatif asosiatif antarkeduanya pastilah bisa dicari. Tampaknya model “pembunuhan” tokoh lewat pesawat ini lumayan populer dalam sastra. Film berjudul Back Street (dua versi, satunya disutradarai oleh Robert Stevenson dan satunya oleh David Miller) mematikan salah satu tokoh utamanya lewat pesawat, demikian pula Burung-Burung Manyar Mangunwijaya dan Keydo Tatty Elmir. Ketiganya berasal dari semangat zaman yang berbeda (1940-an, 1970/1980-an, 2000-an). 

Belajar Cara Menerapkan Hukuman bagi Pelanggar Aturan
Di Amish, suatu wilayah di Amerika Utara, pelanggar aturan mendapatkan hukuman. Apa hukumannya?
“They are excommunicated (dikucilkan), tapi tidak dipermalukan, … kekerabatan sangat penting di Amish, jadi sebetulnya kasus pelanggaran juga nyaris tidak ada. Kalaupun ada, mereka memberlakukan hukuman dengan bijak namun tegas. Itu pun setelah melalui proses panjang dengan hasil keputusan kolektif dan suara bulat yang diamini semua jemaat. Namun si pembangkang akan diterima kembali jika mereka mengakui kesalahan dan melakukan pertobatan.”  (hlm. 231)
            Kita bisa belajar dari suku Amish lewat dua kata kunci yang ada dalam penerapan hukuman: bijak, tegas. Tampaknya semangat yang terkandung dalam dua kata kunci itu sangat penting sebagai sarana pembelajaran bagi penerapan hukum dan hukuman di Indonesia. Bukankah itu signifikan?
Saling menghargai dan memberi apresiasi adalah hal penting dalam pergaulan antarmanusia, antaragama, antarsuku, antarbudaya, dan seterusnya. Kita juga bisa belajar dari Keydo untuk soal ini. Perhatikan kutipan berikut.
“… tiga hari dua malam selalu bersama. … Keydo telah belajar zuhud dalam kerangka iman yang berbeda.  Di sini, semua orang berorientasi pada penghambaan, bukan dipertuankan. Annie telah menularkan spirit kesederhanaan, percaya diri, ketaatan pada agama, kerendahhatian, kemandirian, dan banyak lagi kearifan Amish yang mungkin dicibir oleh mata kosmopolit. ... Terlepas dari setuju atau tidaknya dia terhadap beberapa nilai, Keydo sangat menghargai perbedaan. Dia mengapresiasi keteguhan mereka semua karena keteguhan memegang nilai-nilai adalah sesuatu yang sudah luntur di luar sana.”
Apresiasi dan saling menghargai adalah sikap yang hanya akan muncul kalau ada pemahaman atau perasaan dan keinginan untuk saling mengakui dan sekaligus menerima adanya perbedaan. Kata bijak yang mengatakan bahwa “perbedaan adalah rahmat atau berkah” tampaknya hanya akan menjadi slogan kosong tanpa implementasi dalam kehidupan. Terlalu banyak perbedaan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat atau berbangsa yang multikultural seperti Indonesia, dan semua itu pasti akan memunculkan masalah jika tidak disikapi secara arif.
            Bagaimana kita menyikapi perbedaan yang berimplikasi pada kehidupan secara luas? Tampaknya kutipan berikut bisa kita pergunakan sebagai sarana introspeksi.

“Politik sekarang bukan lagi sarana untuk kebajikan. Cuma berputar-putar di persolan menang dan kalah.”
“Lalu.”
“Yang salah jadi benar  karena punya power, dan yang benar jadi salah karena kalah.” (hlm. 141)

Benarkah semangat zaman yang kita gelorakan sekarang seperti ini? Barangkali tidak sepenuhnya benar, tetapi pasti akan sangat mudah, atau bahkan terlalu mudah, untuk menemukan kasus semacam ini dalam tradisi kehidupan berbangsa kita.
Bagaimana sikap atau perilaku aparat kita dalam menghadapi perkembangan di masyarakat. Apa kata Keydo tentang hal ini? “Gue kesel, intel di mana-mana,” Keydo diam. “Masak orang ngaji aja diintelin. Emang orang ngaji bisa bikin presiden mampus, ya? Emang sarung ama peci bisa disulap jadi meriam, ya?” (hlm. 144) Terlepas dari ada tidaknya korelasi antara ironi yang disampaikan Keydo dalam Keydo sebagai realitas imajinatif-fiktif dengan realitas historis yang ada dalam sejarah Indonesia, kita pasti tahu bahwa berita semacam itu berseliweran di indera dengar dan penglihatan kita, nyaris tak tertolak.


Latar Belakang dan Latar Depan

            Jika menarik kisah fiksi dalam sejarah sastra Indonesia, kita pernah memiliki Y.B. Mangunwijaya. Salah satu karyanya adalah Burung-Burung Manyar. Novel Mangunwijaya ini bisa menjadi salah satu latar belakang bagi penciptaan Keydo. Di bagian akhir Burung-Burung Manyar akhirnya Teto (Setadewa) merawat anak-anak Atik (Larasati)—Janakatamsi yang tewas dalam kecelakaan pesawat yang membawanya ke Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji. Di bagian akhir Keydo, Kinang, suami Keydo, merawat dan menjadi ayah bagi 5 anak Kilin dan Sisil. Apakah ini bermakna? Dalam kaitan dengan cinta yang universal dan hubungan antarmanusia, pasti iya.
            Teto menjadi bapak/ayah bagi anak-anak Atik—Janakatamsi. Ini bukan semata karena Atik adalah kekasih yang tidak berhasil dinikahinya karena berbagai masalah, melainkan karena cinta antarumat manusia. Atik dan Teto pernah menjalin cinta dalam arti hubungan antara laki-laki dan perempuan. Ini berbeda, atau mengalami perkembangan dalam kasus Kinang. Kilin adalah saudara sepersusuan Kinang. Yang jelas, keduanya, Burung-Burung Manyar dan Keydo, sama-sama membawa semangat cinta antarmanusia. Semoga latar belakang cinta yang universal dan semangat zaman yang dibawa keduanya bisa menjadi latar depan yang akan membawa arah tepat bagi capaian perjalanan sejarah manusia.
            Semangat manusia adalah semangat zaman dan semangat zaman membawa pengaruh besar pada semangat manusia. Bisakah semangat Keydo ini mencerminkan dan sekaligus membawa semangat zaman?
“Melelahkan, memang. Tapi Keydo pantang menyerah. Dan ketika sampai masanya, rezeki memang takkan ke mana. Siang itu, Gina membawa formulir seleksi duta perdamaian dunia sekaligus Youth International Visitor Program (YIVP) ke kampus. Program YIVP digagas oleh USIS (United States Information Services), bagian lembaga informasi pemerintah Amerika di bawah naungan Departemen Luar Negeri.” (hlm. 205)
Kesempatan inilah yang membawa Keydo ke Amish di Amerika dan mendapatkan banyak pengalaman serta pembelajaran sebagai duta bangsa dan duta kemanusiaan. Semangat untuk belajar dan mengetahui banyak hal membuat manusia menjadi kaya warna, kekayaan yang membuat hidup lebih berarti. Mengikuti pengembaraan Keydo dan Kinang, Kilin, Sisil, dan tokoh-tokoh Keydo menjelajah ruang dan waktu seperti merangkai jembatan untuk melakukan penyeberangan ke berbagai tujuan.

Membangun Karakter Bangsa
            Fungsi sosial sastra tampaknya cukup berterima untuk memberikan argumen bahwa ada potensi korelasi dan saling pengaruh antara fiksi dengan realitas. Bagaimana dengan fungsi sosial sastra sebagai salah satu unsur pembangun karakter bangsa?  Karya sastra atau sastra secara umum adalah bagian dari hasil olah kreativitas pikiran manusia. Dalam hal ini, jika dimanfaatkan secara maksimal, pastilah sastra juga berpotensi besar menjadi sarana untuk menjaga jati diri bangsa, menjadi bagian dari identitas bangsa, dan dalam kerangka yang lebih luas bisa saja menjadi unsur penting dalam membangun masyarakat madani.
            Sastra sebagai salah satu aspek penggunaan bahasa, sebagai bagian dari kebudayaan manusia secara umum, memiliki sisi-sisi positif untuk menjadi pemandu tingkah laku dan pola pikir masyarakat penggemarnya. Tidak tertutup kemungkinan, sastra yang memiliki ciri mengajak tanpa memaksa dapat dimanfaatkan sebagai sarana membangun dan mengarahkan karakter bangsa. Jiwa dan pikiran yang jernih tokoh Keydo dan Kinang dalam Keydo bisa dijadikan sebagai salah satu contoh. Kehidupan rukun yang dijalani tokoh-tokoh Keydo yang bermacam ragam latar belakang suku dan agamanya juga bisa menjadi salah satu contoh konkret penanaman jiwa multukultural dalam diri pembaca.
            Sebagai sebuah karya imajinatif, Keydo telah merekam banyak sisi kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika rekaman itu disisipi misi atau visi tertentu, yang positif, dengan cara muat yang artistik, pastilah Keydo dan karya sastra pada umumnya memiliki banyak peluang untuk memainkan peran penting dalam proses pendewasaan bangsa. Melihat peristiwa tahun 1998 dengan kacamata jernih dan tanpa tendensi negatif pasti akan memperluas cakarawala berpikir pembaca sehingga bisa menganulir informasi semu yang sudah berkembang. Apalagi jika tampilannya dalam sastra, yang sefiktif apa pun, juga menyinggung aspek historis faktual yang memang nyata adanya.
            Karya sastra seperti novel Keydo telah membawa banyak pengetahuan pada pembaca. Kehidupan bangsa Indonesia yang bersuku-suku, yang berlatar belakang budaya tertentu, yang memiliki keyakinan beraneka rupa, juga konstruksi bangunan-bangunan pikiran yang beragam, telah hadir dalam fiksi yang fiktif dan imajinatif itu. Ide-ide tentang nilai universal, gagasan-gagasan mengenai cinta, perjuangan perempuan, juga berbagai aspek kehidupan dunia pikir tentang persahabatan atau pertemanan, muncul dalam Keydo lewat pergaulan dan interaksi antara tokoh-tokohnya.
Keydo dan Kinang, juga beberapa tokoh penting dalam Keydo, adalah pribadi-pribadi yang berkarakter, berpendirian, dan bisa menjadi contoh sebenarnya seperti apa karakter individu yang diperlukan untuk merepresentasikan karakter bangsa secara umum. Tokoh-tokoh Keydo telah banyak memberi tekanan tentang arti dan jalan perjuangan, makna kesetiaan, dan drama warna bangsa, serta aspek-aspek kehidupan lainnya. Kritik atas tradisi yang mestinya telah ditinggalkan, juga atas berbagai fenemena bernada “minor” muncul pula secara arif dalam Keydo. Oleh karena itu, sepanjang kita bisa memilah dan memilih, tidak melakukan justifikasi yang bermodel “gebyah uyah”, tampaknya tak akan pernah ada alasan kuat untuk menolak bahwa sastra dapat memiliki peran penting dalam proses pendewasaan bangsa, dalam proses memanusiakan manusia, dalam proses membangun karakter bangsa atau dalam membangun bangsa yang berkarakter. Insya Allah.

Daftar Pustaka
Barthes, Roland. 1990. S/Z. United Kingdom: Basil Blackwell Ltd.
Elmir, Tatty. 2011. Keydo: Sebuah Novel tentang Perempuan, Cinta, dan Para Pahlawan di Jalan Sunyi. Jakarta: Qanita.
Goldmann, Lucien. 1975. Towards a Sociology of the Novel. London: Tavistock Publication Ltd.
Holub, Robert C. 1989. Reception Theory: A Critical Introduction. London: Routledge.
Iser, Wolfgang. 1987. The Act of Reading: A Theory of Aesthetic Response. Baltimore & London: The John Hopkins University Press.
Jauss, Hans Robert. 1983. Toward an Aesthetic of Reception. Minneapolis: University of Minnesota Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar